Sore itu, perasaan saya nggak karuan. Handphone yang saya pesan tak kunjung dikirim, padahal seller telah mengirimkan nomor resi. Berulang kali saya mencoba mengecek nomor itu, hasilnya sama, nomor salah.
Akhirnya saya mengirim pesan kepada seller. Beberapa waktu kemudian ia menelepon yang membuat hati saya sedikit tenang. Seller cukup responsif dan berkenan membantu.
Seller tersebut memberi keterangan bahwa saya harus mengecek gangguan pengiriman melalui ATM. Perasaan kembali tak karuan, ada yang janggal, akan tetapi pada akhirnya saya menurut. Pergi ke ATM terdekat sejauh 8 km.
Setelah saya sampai di mesin ATM, saya kemudian mengabari seller yang katanya akan memandu untuk melakukan pengecekan. Ia kemudian menelepon, memandu saya untuk menggunakan mesin ATM.
Saya tak ingat benar bagaimana ia memandu saya, namun akhirnya sampai pada pengecekan nominal uang di ATM. Di rekening saya hanya tersisa uang sekitar 30 ribu rupiah.Â
Pada akhir obrolan, ia sempat memaki yang membuat hati semakin berdebar, jengkel, menyesal, dan sepertinya hidup saya telah usai sampai disitu. Saya telah memastikan bahwa saya telah tertipu.
Peristiwa itu terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu dimana marketplace belum seramai sekarang. Saya yang waktu itu masih bekerja di sebuah perusahaan kecil dengan gaji yang pas-pasan berniat untuk mencari usaha sampingan, berjualan handphone. Rencana itu akhirnya gagal, uang saya pun raib.
Beberapa waktu kemudian, saya mencoba mengecek seller tersebut melalui pencarian Google dengan kata kunci "penipuan seller" --saya lupa nama seller & tokonya--. Hasilnya begitu mengejutkan, puluhan atau bahkan ratusan orang telah tertipu seller yang beraksi di sebuah situs jejaring sosial buatan anak negeri itu.
Metode yang digunakan oleh penipu tersebut pun serupa, memanfaatkan mesin ATM untuk mengecek nomor resi. Dalam kondisi kebingungan, hal yang tak masuk akal itu saya rasa memang memungkinkan terjadi.Â
Dalam dunia cybercrime penipuan yang menimpa saya itu disebut dengan istilah social engineering (rekayasa sosial). Metode ini merupakan cabang dari hacking (peretasan) yang memanfaatkan kesalahan manusia dengan manipulasi psikologis untuk mengelabui korban.
Perihal hacking, barangkali yang paling populer adalah peretasan melalui jaringan dengan serangkaian kode yang rumit seperti di film-film. Namun demikian, peretasan yang paling berbahaya adalah social engineering ini.Â
Penipuan dengan memanfaatkan celah manusia ini memang kian marak terjadi. Warga masyarakat di sekitar saya pun telah banyak yang terjebak dengan penipuan yang serupa.
Beberapa tahun yang lalu, istri seorang kawan saya harus kehilangan uang puluhan juta rupiah. Modusnya si penipu memancing rasa belas kasihan untuk anaknya yang katanya ditinggal mati ibunya. Penipu tersebut mengaku sedang bekerja di luar negeri, sedangkan anaknya berada di rumah bersama dengan neneknya.Â
Melalui chat, telepon, dan berkirim gambar pada akhirnya rasa trenyuh istri kawan saya merelakan uang dalam jumlah yang cukup besar. Ia tak peduli lagi uang itu milik siapa. Rasa kasihan terhadap anak yang berumur sekitar 6 tahun dirasa lebih penting, bahkan dari keluarganya sendiri.
Ketika anggota keluarga yang lain menyadari bahwa ia telah tertipu, alih-alih menyadari kesalahan, istri kawan saya itu malah kian brutal dengan mentransfer sejumlah uang untuk menolong anak tersebut. Pada akhirnya, kawan saya memaksa untuk melapor kepada kepolisian dengan mengajaknya.
Menurut keterangan pihak kepolisian, perkara tersebut bukan kasus pertama. Ada sekian warga yang telah melaporkan kasus serupa dengan modus yang sama. Dari situlah istri kawan saya baru sadar kalau tertipu.
Lain lagi dengan kisah Mbah Sumijah, tetangga saya yang berusia sekitar 60 tahun itu. Seorang anaknya merantau di Jakarta sejak bertahun-tahun yang lalu. Untuk mengobati kerinduan, anaknya itu memberinya sebuah ponsel lawas.
Seseorang yang jauh disana mengabari bahwa anaknya mengalami kecelakaan. Ia terluka parah dan sedang diupayakan untuk dibawa ke rumah sakit. Katanya, ia membutuhkan pulsa untuk menelpon agar bisa terus memantau perkembangannya.Â
Mbah Sumijah menghabiskan sekitar 1,5 juta untuk membeli pulsa guna mendapat kabar dari anak tercintanya. Baginya, uang tersebut dapat menghidupinya 1 hingga 2 bulan. Namun rasa cinta kepada anaknya telah membuatnya rela membuangnya begitu saja.
Bagi si penipu, perasaan manusia seperti rasa kasihan, cinta dibalut dengan minimnya pengetahuan teknologi menjadi celah menganga untuk mendapatkan banyak hal yang ia mau.Â
Jika hacking --meretas program digital-- dapat diatasi dengan memperbaiki kode-kode penyusun program tersebut, maka perihal social engineering ini lebih rumit untuk memperbaikinya. Bagaimana tidak? Menjadi manusia yang punya rasa kasihan dan cinta merupakan title manusia yang sesungguhnya.Â
Namun demikian, penipuan dengan metode ini bukanya tak mungkin dihindari. Dari kasus yang saya alami dan saya lihat diatas, saya anggap menjadi pelajaran yang berharga.Â
Pertama, kasus jual beli online yang menimpa saya. Ketertarikan saya terhadap harga yang menggiurkan menjadi sebab pokok saya terjerumus dalam perkara tersebut. Mulai dari saat itu, saya pun lebih hati-hati dalam melakukan transaksi online.
Media sosial yang kini semakin bertransformasi menjadi tempat berjualan saya hindari untuk melakukan transaksi. Kini saya lebih memilih marketplace, itu pun harus meneliti seller atau toko dengan seksama. Komentar dan rating, terkadang bukan menjadi jaminan toko tersebut dapat dipercaya.Â
Jika harga produk yang saya inginkan tidak terlalu menguras kantong, komentar dan rating masih saya pakai. Namun untuk produk yang lebih mahal saya akan memilih toko resmi meski terkadang harganya sedikit lebih mahal.
Kedua, untuk menghindari kasus-kasus penipuan tersebut adalah dengan melakukan verifikasi. Dalam hal kasus penipuan jual beli online yang saya lakukan, kasus yang serupa telah banyak terjadi. Informasi penipuan pun telah banyak tersebar. Jika saya mau meluangkan waktu untuk mengumpulkan informasi, barangkali perkara tersebut tidak akan terjadi.
Salah satu cara yang kini sering saya gunakan adalah dengan melakukan pencarian dengan Google Search seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya. Kata kunci yang paling mudah adalah "penipuan" dan "nama toko atau seller". Jika penipuan tersebut telah terjadi berulang kali, kemungkinan besar informasinya telah tersebar.
Verifikasi juga penting dilakukan untuk kasus serupa seperti istri teman saya dan Mbah Sumijah. Jika tidak terlalu gaptek, maka metode pemanfaatan Google Search dapat dilakukan dengan melakukan pencarian mengenai penipuan serupa.Â
Namun untuk kasus seperti Mbah Sumijah yang dapat dikatakan gaptek, verifikasi terhadap orang yang kemungkinan dekat dengannya sangatlah penting. Kita bisa menghubungi kantor atau orang lain yang kenal dengan mereka.
Sebagai manusia, sikap belas kasihan dan rasa cinta tentu merupakan budaya yang patut dilestarikan. Akan tetapi, dengan maraknya kondisi penipuan yang terjadi belakangan ini, kehati-hatian adalah sebuah keniscayaan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H