Dalam arti hukum, hate speech merupakan perilaku, perkataan, pertunujukkan ataupu tulisan yang dilarang dikarenakan mampu memicu terjadinya tindak kekerasan atau sikap prasangka baik dari pihak pelaku maupun korban dari tindakan tersebut. Menurut R.Susilo, terdapat enam macam penghinaan terhadap individu, yakni 1) Menista secara lisan; 2) Menista dengan tulisan; 3) Memfitnah; 4) Penghinaan ringan; 5) Mengadu secara memfitnah; dan 6) Tuduhan secara memfitnah.
Hate speech merupakan bagian dari marjinalisasi, yaitu penggambaran buruk bagi seseorang atau sekelompok orang (Eriyanto, 2011). Marjinalisasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni :
- Eufimisme (penghalusan makna), digunakan untuk memperhalus "keburukan". Cara ini banyak digunakan dalam media dan dipakai untuk menyebut tindakan kelompok dominan pada masyarakat bawah, sehingga dapat menipu, terutama rakyat.
- Disfemisme (pengasaran bahasa), digunakan untuk "menjelekkan" sesuatu.
- Labeling, penggunaan kata-kata ofensif pada individu, kelompok, atau sebuah peristwa atau kegiatan.
- Stereotipe, penyamaan sebuah kata yang umumnya bersifat negatif terhadap orang, perangkat tindakan, ataupun kelas. Stereotipe dapat juga dimaknakan sebagai praktik representasi dimana hal tersebut menggambarkan suatu hal dengan penuh konotasi negatif, prasanga, dan subjektif.
Dampak Hate Speech
Pada tahun 2015, Unesco melakukan studi yang berjudul "Countering Online Hate Speech" yang menyebutkan bahwa hatespeech online semakin berkembang dengan pesat dan menimbulkan masalah baik di dalam maupun di luar Eropa (Gagliardone dkk, 2015).
Penelitian yang dilakukan oleh Khelmy K. Pribadi, menyimpulkan bahwa konten negatif yang tersebar di sosial media seperti ujaran kebencian, sentimen bernada SARA, dan berita bohong berdampak pada sikap dan pola pikir generasi muda, terutama pada kalangan siswa tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).
Dampak lain dari hate speech adalah terjadinya permasalahan terhadap komunikasi verbal pada sejumlah mahasiswa seperti kurang daya konsentrasi, frekuensi, dan kesantunan di dalam lingkup akademik, selain itu juga menimbulkan rasa kurang percaya diri untuk berkomunikasi di kampus, khusunya dengan para dosen, dikarenakan mereka mempunya pelarian dengan "curhat" di dunia maya (Yohan, 2016).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hatespeech yang terjadi saat ini dapat mempengaruhi pola pikir dan sikap generasi muda, selain itu juga dapat menimbulkan permasalahan verbal pada masyarakat.
Era Post-Truth
Kata 'post-truth' pertama kali digunakan oleh Steve Tesich dalam artikelnya yang berjudul The Government of Lies di majalah The Nation pada tanggal 6 januari 1992. Berdasarkan Oxford Dictionaries, 'post-truth' dapat diartikan dengan istilah atau iklim yang berhubungan dengan atau mewakili situasi-situasi dimana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan fakta-fakta yang objektif.Â
Tahun 2016 menurut PEW Research Center, 62% dari populasi Amerika menggunakan media sosial untuk tetap mendapat informasi terbaru (Gooch, 2017). Padahal hal yang didapat dari platform itu belum tentu benar. Cara komunikasi telah berubah sejak kemunculan internet, tidak hanya dalam kecepatan, tetapi juga dalam berbaur dengan kelompok lain dengan bias yang serupa dengan mereka, sehingga keyakinan mereka kian menguat.
Â