Mohon tunggu...
ABDUL HALIM FATHANI
ABDUL HALIM FATHANI Mohon Tunggu... -

Pengamat Pendidikan. Menempuh pendidikan program sarjana di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, pada program studi Matematika (lulus 2006). Kemudian melanjutkan studi Program Magister Universitas Negeri Malang, pada program studi Pendidikan Matematika (lulus 2011). Aktivitas sehari-hari yang ditekuni -di samping mengajar- adalah membuat tulisan yang kemudian dikirimkan ke pelbagai media massa/media online maupun yang diterbitkan dalam bentuk buku. Saat ini juga aktif menjadi Editor Buku.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengembalikan Keunikan Siswa

30 Desember 2014   22:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:09 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh ABDUL HALIM FATHANI

HARIAN Kompas (14 November 2014), di halaman 11, memuat berita yang menarik direnungkan, terutama bagi pelaku pendidikan. Berita itu berjudul “Guru Harus Pahami Perbedaan Individu Siswa”. Ketika membaca berita tersebut, penulis langsung tertarik untuk membaca lebih lanjut. Sewaktu penulis menyelesaikan tesis, ketika mengambil Program Magister di Universitas Negeri Malang, penulis juga mengambil fokus penelitian tentang perlunya menghargai keunikan individu siswa.

Dalam berita tersebut, menginformasikan bahwa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung bekerjasama dengan The United States Agency for International Development-Prioritizing Reform, Innovation and Opportunities for Reaching Indonesia’s Teachers, Administrators, and Students (USAID Prioritas) menggelar Pelatihan bagi guru selama empat hari (Kompas, 14/11/14). Dijelaskan, bahwa sebagai pendidik, guru harus memahami karakteristik peserta didik supaya bisa memperlakukan mereka atau memberi tugas sesuai dengan karakternya. Siswa tidak boleh diperlakukan secara sama, tetapi harus sesuai dengan kebutuhan siswa.

Kalau kita menengok hasil riset yang dilakukan Howard Gardner, terkait kecerdasan majemuk yang menegaskan bahwa pada dasarnya setiap individu siswa itu memiliki keunikan masing-masing. Dalam diri mereka, mesti ada delapan kecerdasan, yakni kecerdasan matematik, kecerdasan linguistik, kecerdasan musik, kecerdasan spasial, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan kinestetik, dan kecerdasan naturalis. Antara individu yang satu dengan yang lain memiliki derajat kecenderungan kecerdasan yang tidak sama.

Misalnya, si A setiap kali belajar Matematika, dia selalu bisa cepat memahami materi yang dijelaskan gurunya, namun ia sangat susah memahami materi sosial, seperti Sejarah, Sosiologi, dan sebagainya. Sementara Si B, sangat senang ketika waktunya belajar ilmu sosial. Tatkala belajar Matematika atau Fisika, dia gampang sakit kepala, apalagi gurunya dikenal sebagai guru yang suka menyuruh siswanya untuk maju ke depan (mengerjakan soal di papan tulis).

Mengapa ini bisa terjadi? Ya tentu bisa. Inilah yang harus diketahui dan dipahami oleh semua guru. Bagi guru Matematika, tentu tidak bisa (baca: boleh) memaksa setiap siswa harus “pintar” matematika. Pada dasarnya, setiap siswa tentu harus memiliki keinginan untuk bisa memahami matematika. Namun, (mungkin) masih saja ditemukan ada satu atau dua siswa yang sangat sulit untuk bisa memahaminya. Menyikapi hal ini, tentu bagi seorang guru, harus menyadari bahwa kecenderungan kecerdasan siswa itu tidaklah sama. Bisa jadi siswa tersebut lemah di bidang matematika, namun unggul di bidang yang lain, seperti musik, olahraga, atau ilmu-ilmu sosial.

Tugas guru, seyogianya adalah membantu siswa untuk dapat mengidentifikasi kecerdasan apa yang menjadi kecenderungan para siswa. Lalu, tahap selanjutnya, guru harus mampu untuk memotivasi kepada siswa agar mau dan mampu untuk mengembangkan kecerdasan yang dimiliki tersebut. Atau –kalau dalam proses pembelajaran- siswa tersebut mampu menggunakan kecenderungan kecerdasannya, sebagai modalitas dalam belajar. Artinya dengan kecerdasan yang dimiliki harus dapat digunakan (dimanfaatkan) sebagai cara/gaya dalam memahami materi pelajaran.

Variasi Gaya Belajar

Sebagai contoh, seorang guru Matematika sedang bertugas mengajar di kelas yang heterogen. Ada dua puluh siswa dengan derajat kecenderungan kecerdasan yang beranekaragam. Sebanyak 5 siswa memiliki kecenderungan kecerdasan matematika, 5 siswa memiliki kecenderungan kecerdasan musik, 5 siswa memiliki kecenderungan kecerdasan spasial, dan sisanya memiliki kecenderungan kecerdasan kinestetik. Jamak diketahui, bahwa di kelas yang heterogen ini, siswa yang sangat enjoi mengikuti pembelajaran Matematika, ya hanya 5 siswa yang memang kecerdasan matematiknya sangat dominan. Sementara siswa yang lain, tentu merasa berat ketika belajar matematika.

Lalu bagaimana caranya? Melalui tulisan ini, penulis mencoba memberikan satu alternatif yang dapat dilakukan guru. Tahap pertama, guru membagi siswa dalam satu kelas tersebut menjadi 4 kelompok besar. Penyusunan kelompok ini didasarkan atas kecenderungan kecerdasan yang dimiliki. Bagi kelompok kecerdasan matematik, guru menyampaikan ulasan materi secara umum, selanjutnya siswa disuruh untuk memahami lebih lanjut secara mandiri dengan bantuan buku teks dan lembar kerja siswa (LKS). Untuk kelomok kecerdasan musik, guru memberikan “ruang” kebebasan kepada siswa agar memasang headset ketika mempelajari materi matematik ayang ada di bukunya. Perlakuan ini diberikan, agar siswa yang cerdas musik tersebut dapat secara nyaman untuk belajar matematika. Hanya saja yang perlu diperhatikan, dengan penggunaan headset tersebut tidak boleh sampai mengganggu kelompok yang lain.

Adapun untuk kelompok spasial, guru dapat membimbing siswa dalam belajar matemetika dengan pendekatan gambar-gambar yang berwarna-warni. Jadi paa kelompok ini, guru harus sudah menyiapkan sebelumnya, terkait media pembelajaran yang pas untuk siswa dengan kecerdasan spasial. Gambar, bisa juga dimaknai sebagai gambar peta konsep yang penuh warna. Adapun kelompok terakhir, kelompok kecerdasan kinestetik, guru dapat memberikan kebebasan agar siswa tersebut belajar matematika di luar kelas. Siswa jenis ini, biasanya suka jalan-jalan atau suka melakukan gerakan fisik. Apakah bisa terkontrol? Bisa saja. Siswa yang belajar di luar kelas bisa dikontrol lewat lembar kerja siswa (LKS) yang harus diisi siswa.

Dari keempat kelompok belajar tersebut, semuanya dalam satu tema, yakni belajar matematika dengan pendekatan (gaya)nya masing-masing. Harapannya, dengan memaksimalkan gaya yang sesuai dengan “kesenangannya” tersebut dapat membuat siswa lebih nyaman dalam belajar. Kalau belajar sudah nyaman, maka sangat memungkinkan hasil yang dicapai pun sangat memuaskan. Walhasil, guru harus memberi perlakuan yang “adil” terhadap masing-masing siswa (kelompok). Bagi siswa, mereka harus dapat secara cepat mengidentifikasi gaya belajarnya masing-masing, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Itulah sedikit gambaran, betapa beratnya tugas seorang guru. Tugas berat tersebut berada dalam satu bingkai, yakni dalam rangka menghargai keunikan individu siswa. Dengan keunikan individu, maka akan lahir banyak sang juara. Semoga. [ahf]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun