Mohon tunggu...
Ahmad Junaldi
Ahmad Junaldi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Waktu kuliah suka bermain angka (jurusan manajemen keuangan) tetapi sekarang lebih suka bermain kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Itu Aku

3 Oktober 2022   21:09 Diperbarui: 3 Oktober 2022   21:13 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada seorang lelaki yang sedang berdiri menatap kejauhan pada garis pemisah antar langit dan bumi. Tatapannya fokus pada satu titik disana, tidak ada yang lain. Terkadang kosong diperlihatkan oleh tatapan sayu itu. Aku terus saja memperhatikan lelaki itu, bersiap untuk menolong andai saja tiba-tiba dia terjun ke jurang di depannya. Tak sekalipun kucoba untuk berbicara dengannya, seperti ada dinding yang dibangun di sekeliling lelaki itu. Tak tersentuh. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Masa bodohlah, mungkin sedang mengenang masa lalu, atau mungkin sedang meratapi hidupnya yang suram. Persetan, urusan hidupku saja sudah membuat kepala ini pecah. Kenapa repot mengurusi hidup orang?

Semakin lama aku perhatikan tubuh lelaki itu bergetar ringan. Mungkin karena terlalu lama berdiri di ujung tebing ini, atau mungkin juga lelaki itu sedang menangis. Tetapi aku ragu jika lelaki itu menangis, bisa-bisa tubuhnya yang kekar itu tertawa mengejek dirinya. Entahlah. Hanya aku yang pernah menangisi hidupku, persis pada saat aku berdiri di posisi itu.

Di sore yang begitu tanggung disebut senja, disaat matahari menerpa tubuh lelaki itu, tanganku gatal ingin mengabadikan siluet keindahan ini. Siapa tahu pengikut di nista menyukai fotoku. Tapi aku lupa dimana kamera kesayangan yang selalu menemaniku. Terakhir kali seingatku kamera itu rusak, entah dimana kesayanganku itu sekarang.

Baca juga: Ketika Bicara Cinta

Orang-orang berlalu lalang di tempat yang lumayan hingar bingar seperti di pasar ini. Tetapi lelaki itu tetap saja diam tak peduli dengan kegaduhan di sekitarnya. Dibiarkan saja mereka ini bersuara tak jelas menurutku. Lagi pula tidak seorangpun yang memperhatikan lelaki bertubuh besar itu berdiri disana, seolah dari semula dia tak pernah ada. Mungkin hanya aku saja yang memperhatikan lelaki itu dari tadi.

Lelaki itu perlahan melangkahkan kaki ke depan, menuju bibir jurang itu. Pelan tanpa suara hingga anginpun tak sadar dia bergerak. Aku bersiap dan berdiri, bagaikan aba-aba lomba lari, berusaha menyelamatkan nyawa lelaki yang aku tahu akan mengakhiri hidupnya itu. Tiba-tiba dia berhenti satu langkah dari bibir jurang, menoleh ke belakang dengan pandangan yang masih kosong. Aku kaget, lelaki itu sepertinya pernah aku temui entah dimana. Mirip dengan seseorang yang sangat aku kenal. Kemudian dia menyeringai menatap orang-orang lalu lalang tak peduli dirinya, dengan secepat kilat dia mundur dan melompat ke dalam jurang yang ada di belakangnya.

Mati.

Ah, aku tersadar dari lamunan. Ternyata lelaki yang aku perhatikan dari tadi adalah seseorang yang memang aku kenal.
Dia adalah ...
Dia adalah ...
Aku sebelum mendatangi dunia baru.
Pantas saja tidak ada yang memperhatikan diriku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun