Mohon tunggu...
Asrul Ibrahim Nur
Asrul Ibrahim Nur Mohon Tunggu... -

Postgraduate student by current position. Researcher by passion. Backpacker by obsession

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menerawang Bayang-bayang Pancasila di Batas Negeri

28 Maret 2013   14:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:05 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah perbatasan menjadi diskursus yang dibicarakan oleh publik kurang lebih tiga tahun terakhir. Padahal daerah-daerah tersebut potensi terjadinya konflik sangat besar, masalah perbedaan kesejahteraan merupakan salah satu pemicu munculnya konflik yang bukan tidak mungkin berujung disintegrasi. Hal ini bukanlah isapan jempol belaka, putusan International Court of Justice (Mahkamah Internasional) pada 17 Desember 2002 yang memenangkan gugatan Malaysia atas Pulau Sipadan dan Ligitan adalah sebuah fakta dari latennya disintegrasi di kawasan perbatasan Indonesia. Terjadinya disintegrasi dalam sebuah negara adalah karena adanya ketidakmampuan mengelola kemajemukan etnisitas yang juga sangat terkait dengan persoalan disparitas ekonomi.

Menurut kajian ilmu geopolitik, pengertian perbatasan dapat dibedakan menjadi dua yaitu boundaries dan frontier. Perbatasan disamakan dengan frontier karena posisinya yang terletak paling depan (front) atau dibelakang (hinterland) dari suatu negara, oleh karena itu frontier dapat juga disebut dengan istilah foreland, borderland, ataupun march. Perbatasan disamakan dengan boundary karena fungsinya yang mengikat atau membatasi (bound atau limit) suatu negara. Semua yang terdapat didalamnya terikat menjadi suatu kesatuan yang bulat dan utuh serta saling terintegrasi satu sama lain. Istilah boundary sangat tepat jika digunakan dalam suatu negara yang dilihat sebagai unit spasial yang berdaulat.

[caption id="attachment_244681" align="aligncenter" width="466" caption="Sumber: koleksi pribadi"][/caption] Kondisi kawasan perbatasan menunjukkan bahwa ada kesenjangan baik itu dalam dimensi ekonomi, politik, dan sosial antara kawasan perbatasan dengan kawasan lainnya. Janji-janji kemerdekaan belum terwujud di kawasan perbatasan. Setidaknya ada empat permasalahan laten yang terjadi di kawasan perbatasan. Kawasan perbatasan Indonesia mengalami masalah kronis dalam ketersediaan infrastruktur yang diperlukan untuk hidup sehat dan sejahtera. sarana air bersih, sanitasi, akses untuk mendapatkan listrik, jaminan ketersediaan obat dan alat kesehatan, pendidikan, dan transportasi masih menjadi persoalan utama di daerah terpencil semisal perbatasan karena letaknya jauh dari episentrum kekuasaan pusat maupun daerah Pertama, mahalnya harga kebutuhan pokok karena tingginya biaya transportasi ke kota. Kedua, pengangkutan bahan kebutuhan pokok ke daerah perbatasan sangat sulit akibat kapasitas angkutan yang rendah. Ketiga, arus perpindahan penduduk dan pencari kerja ke negara tetangga sangat tinggi, sehingga kegiatan pertanian kurang diminati oleh penduduk. Keempat, potensi ekonomi desa yang ada di kawasan perbatasan belum berkembang karena rendahnya semangat masyarakat yang berprofesi sebagai petani untuk meningkatkan hasil pertaniannya akibat pasar yang tidak tersedia.

Permasalahan yang biasa timbul adalah tergerusnya rasa nasionalisme rakyat yang ada diperbatasan. Kemiskinan kultural dan struktural, keterbatasan infrastruktur, dan lemahnya koordinasi antar instansi di perbatasan turut menunjang  tergerusnya nasionalisme di kalangan rakyat perbatasan. Terjadinya kesenjangan pembangunan di kawasan perbatasan adalah karena Pancasila hanya dijadikan simbol negara saja. Pancasila tidak dijadikan working ideology sebagaimana seharusnya. Keadilan sosial sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pancasila adalah prinsip atau sikap yang menuntut persamaan, termasuk persamaan dalam pembangunan di setiap wilayah Indonesia. Kecenderungan melaksanakan pembangunan tanpa ideologi Pancasila menyebabkan tidak jelasnya arah pembangunan ke depan. Keberadaan globalisasi, krisis ekonomi, atau goncangan eksternal (dan internal) lainnya akan dengan mudah menghancurkan capaian pembangunan yang telah dilakukan. Terkait dengan kawasan perbatasan, jika konsisten dengan Pancasila terutama sila Kelima maka pembangunan yang dilakukan juga akan dilakukan dengan maksimal. Sangat miris melihat kawasan perbatasan negara tetangga pembangunannya dilakukan dengan sangat massif sedangkan di wilayah Indonesia jauh tertinggal. Oleh karena itu jika masyarakat di kawasan perbatasan hanya merasakan Pancasila sebagai simbol semata sangatlah tidak mengherankan. Hal tersebut karena mereka tidak pernah merasakan implementasi dari konsep-konsep kesejahteraan seperti yang terdapat dalam Pancasila. Konsepsi Keadilan Sosial dalam perspektif founding fathers bermakna kesejahteraan sosial, yaitu kesejahteraan masyarakat yang diutamakan bukan individu. Pemikiran tentang kolektivisme bangsa Indonesia sangat dijunjung tinggi dalam setiap pembicaraan tentang ekonomi di sidang-sidang BPUPK maupun PPKI. [caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: http://www.pusakaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/02/lomba_blog_pusakaid.jpg"]

[/caption] Membumikan keadilan sosial di kawasan perbatasan menjadi pekerjaan rumah bagi segenap elemen bangsa Indonesia, Pemerintah tentu saja harus menjadi pihak yang paling terdepan untuk menyelesaikan tersebut. Mewujudkan cita-cita luhur seperti yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 harus dilakukan oleh bangsa Indonesia dengan dukungan segenap elemen bangsa. Kebijakan yang meneyeluruh dan holistik yaitu kebijakan yang lahir dari substansi hukum yang tidak tumpang tindih dan konsistennya orang yang ada di struktur hukum untuk melaksanakan aturan hukum tersebut, selain itu juga dibutuhkan dukungan penuh dari masyarakat. Membumikan Keadilan Sosial di kawasan perbatasan sangat mendesak untuk dilaksanakan, Pancasila akan menjadi working ideology jika dirasakan implementasinya oleh masyarakat di kawasan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun