Dengan berbekal senter dari telepon, saya periksa bagian dalam rumah. Ada kerusakan atau tidak. Saya lihat hanya ada beberapa retakan di dinding dan sebagian kecil cat plafon yang rontok. Kemudian ada beberapa botol plastik dan mainan anak saya bergelatakan di lantai. Mungkin ini yang tadi jatuh mengenai saya.
Malam itu saya dan keluarga tidur di jalan depan rumah bersama beberapa tetangga. Tapi karena masih ada beberapa kali goyangan akibat gempa susulan, kami tidak bisa tidur nyenyak.
Hal itu ditandai dengan suara dari getaran atap garasi saya. Akhirnya getaran atap garasi itu kami jadikan 'alarm' untuk mengetahui ada gempa atau tidak.
Beredar foto-foto bangunan rusak di mana-mana. Tersebar juga instruksi dari Diknas untuk meliburkan anak sekolah selama dua hari (senin dan selasa, meski akhirnya diperpanjang sampai satu minggu).
Akibat rasa trauma yang masih belum hilang dan untuk mengantisipasi jika ada gempa susulan, saya dan keluarga memutuskan untuk tidur ngumpul di ruang tamu.
Sehingga jika ada gempa lagi tidak terlalu jauh dan lama untuk lari keluar, menyelamatkan diri. Dan benar saja, ketika baru merasa lelap sejenak, tiba-tiba saya merasakan guncangan yang cukup kuat. Segera saya bangunkan istri dan anak-anak. Kami langsung lari keluar rumah.
Saya gendong anak bungsu saya yang masih tertidur. Saya lihat para tetangga juga berhamburan keluar rumah. Saya lihat telepon, jam 23.50 WITA. Seorang tetangga langsung cek info BMKG.
"5,4 SR. Masih di Lombok Utara," katanya.
Ya, Allah ....
Malam atau lebih tepatnya pagi itu kami begadang lagi di jalan depan rumah. Suara getaran atap garasi masih sesekali terdengar, menandakan ada gempa susulan meski dalam skala kecil.
Untungnya listrik masih nyala. Tidak ikut padam seperti gempa sebelumnya. Setelah dirasa tidak ada lagi gempa susulan, kami pun masuk kembali ke rumah masing-masing. Sudah menjelang subuh.