Mohon tunggu...
Mas Teddy
Mas Teddy Mohon Tunggu... Buruh - Be Who You Are

- semakin banyak kamu belajar akan semakin sadarlah betapa sedikitnya yang kamu ketahui. - melatih kesabaran dengan main game jigsaw puzzle. - admin blog https://umarkayam.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Racun-racun Pendidikan (Bagian 2/2)

2 Mei 2018   12:00 Diperbarui: 2 Mei 2018   13:11 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(gambar dari nasional.tempo.co)

Saya sangat sedih, prihatin sekaligus heran ketika mendengar dan membaca berita seorang siswi SMU nekat bunuh diri karena tidak lulus ujian. Sedemikian beratnya tekanan yang harus ditanggung anak sekolah jaman sekarang, baik dari lingkungan pergaulannya maupun dari keluarga atau orang tuanya. Atau sedemikian rapuhnya jiwa anak sekarang sehingga sampai mengambil jalan pintas seperti itu. Kejadian ini pun tidak hanya sekali terjadi.

Tidak lulus ujian sekolah bukanlah akhir dari segalanya. Tidak lulus ujian sekolah bukan berarti masa depan akan suram. Jangan cengeng. Jalan untuk menggapai masa depan masih panjang. Masih banyak harapan terbentang bagi orang yang selalu optimis. Banyak contoh orang-orang yang gagal di pendidikan formal tapi bisa sukses menjalani kehidupan. Seperti salah satu teman SMA saya. Di saat yang lain bergembira merayakan kelulusannya, teman saya itu terpaksa harus mengulang lagi tahun berikutnya. Tetapi dia cukup cerdas mengendalikan emosinya, menyadari kesalahannya dan bangkit di tahun berikutnya. Sekarang, jika dilihat dari segi ekonomi teman saya itu jauh lebih sukses dari saya yang tidak pernah mengalami kegagalan dalam ujian sekolah.

  • Mafia Buku Pelajaran

Bagi masyarakat awam, mafia buku pelajaran ini bagaikan kentut, hanya bisa dicium dan didengar tapi tidak bisa dilihat dan dipegang. Tetapi, teman saya yang mantan guru membenarkan adanya mafia buku pelajaran itu.

Di tahun 80-an buku pelajaran sekolah diseragamkan di seluruh Indonesia untuk tingkat pendidikan yang sama dan bisa diwariskan ke adik kelas. Buku-buku pelajaran dipinjam dari perpustakaan sekolah. Saat ini kondisinya sudah jauh berbeda. Masing-masing sekolah memakai buku pelajaran yang berbeda. Bahkan untuk sekolah yang sama tiap tahun buku pelajarannya selalu berganti sehingga tidak bisa diwariskan ke adik kelas. Siswa 'diwajibkan' membeli dari sekolah karena perpustakaan sekolah tidak menyediakan buku-buku tersebut. Akibatnya perpustakaan sekolah saat ini semakin sepi dari kunjungan siswa. Bahkan di beberapa sekolah sudah tidak memiliki ruang perpustakaan karena sudah dialih fungsikan menjadi ruang kelas.

Pihak Departemen Pendidikan memang hanya memberikan panduan materi buku pelajaran sesuai dengan kurikulum yang sudah ditetapkan. Materi pelajaran ditulis oleh para guru. Akibatnya muncul banyak versi buku dan sepanjang itu sudah sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan, maka buku tersebut bisa dipakai.

(gambar dari nasional.tempo.co)
(gambar dari nasional.tempo.co)
Sebenarnya pihak Departemen Pendidikan sudah menyediakan buku pelajaran dalam bentuk digital atau lebih dikenal dengan BSE (Buku Sekolah Elektronik). Buku-buku tersebut bisa diunduh gratis dari halaman resmi Departemen Pendidikan di sini. Namun sayang sekali sepertinya tidak banyak sekolah yang memanfaatkan/memakainya. Sekolah lebih senang menjual buku yang ditawarkan oleh agen atau distributor buku karena sekolah akan mendapatkan fee untuk setiap penjualan buku tersebut. Jumlahnya tentu cukup lumayan karena sekarang setiap mata pelajaran setidaknya ada dua buku, buku pelajaran itu sendiri (diktat) dan buku LKS (Lembar Kerja Siswa) untuk mengerjakan soal-soal. Untuk tingkat SD saja ada sepuluh mata pelajaran, = 10 mata pelajaran x 2 buku = 20 buku.

Tingkat SMP dan SMU/SMK bisa lebih banyak lagi. Di sinilah para agen dan distributor buku saling adu pintar dan lobby ke kepala sekolah untuk mendapatkan hak 'memasukkan buku' ke sekolah tersebut.

Kebijakan Departemen Pendidikan yang tidak lagi memonopoli penulisan buku ini bagaikan dua sisi mata uang. Kebijakan ini bisa merangsang para guru untuk menulis buku yang pada akhirnya bisa menjadi sumber penghasilan tambahan untuk para guru. Selain para guru, percetakan dan penerbit buku pun ikut 'kecipratan berkah' dari kebijakan ini. Tetapi, jutaan orang tua yang menjerit karena tiap tahun ganti buku (saya pernah mengeluarkan uang buku untuk anak saya yang masih SD sebesar Rp. 480.000,-).

Jika kebijakan ini dicabut dan dikembalikan seperti tahun 80-an, para orang tua yang senang karena tidak tiap tahun harus bayar buku. Tetapi, para guru kembali tidak kreatif dan kehilangan potensi penghasilan tambahan. Bahkan mungkin ada percetakan dan penerbit yang akan gulung tikar. Untuk saat ini tampaknya para orang tua masih harus mengalah.

Untuk terbebas dari 'racun-racun' di atas bisa kita mulai dari diri kita sendiri. Tidak perlu menunggu orang lain yang melakukannya. Berat memang, karena lingkungan kita sudah terpapar sedemikian parahnya oleh racun-racun tersebut. Meski berat bukan berarti tidak bisa. Asal kita punya kemauan pasti bisa.

Di depan memberi contoh/teladan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun