Mohon tunggu...
Mas Teddy
Mas Teddy Mohon Tunggu... Buruh - Be Who You Are

- semakin banyak kamu belajar akan semakin sadarlah betapa sedikitnya yang kamu ketahui. - melatih kesabaran dengan main game jigsaw puzzle. - admin blog https://umarkayam.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Kebo Nyusu Gudel"

9 Februari 2018   15:07 Diperbarui: 9 Februari 2018   16:24 3050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebagian contoh hasil karya anak saya (foto dok. pribadi)

Salah satu kelebihan bahasa Jawa dibandingkan dengan bahasa Indonesia adalah, dalam bahasa Jawa, anak binatang pun punya nama. Beberapa contohnya, antara lain :

  • Anak asu (anjing)                     : kirik
  • Anak kucing                                : cemeng
  • Anak pitik (ayam)                     : kutuk
  • Anak manuk (burung)            : piyik
  • Anak sapi                                     : pedhet
  • Anak kebo (kerbau)                 : gudel
  • Anak jaran (kuda)                    : belo
  • Anak wedhus (kambing)        : cempe
  • Anak gajah                                  : bledug
  • Anak cecak                                 : sawiyah
  • Anak tikus                                   : cindhil
  • dll

Sedikit intermeso, kata 'bledug' dalam bahasa Jawa selain bermakna 'anak gajah' juga bermakna 'debu'. Jadi bisa dibayangkan 'debu'nya saja sudah segede 'anak gajah', batunya akan segede apa?

Terkait dengan nama-nama anak binatang tersebut ada pepatah dalam bahasa Jawa yang berbunyi, 'Kebo Nyusu Gudel'. Kalau diterjemahkan secara harfiah adalah 'Kerbau minta (air) susu ke(pada) gudel'. Pepatah ini untuk menggambarkan orang tua yang meminta nafkah kepada anaknya. Bisa juga untuk menggambarkan orang dewasa atau orang tua yang minta diajari (sesuatu) oleh orang yang lebih muda atau anak-anak. Atau guru yang minta diajari (sesuatu) oleh muridnya. Kyai yang minta diajari (sesuatu) oleh santrinya. Direktur atau manajer yang minta diajari (sesuatu) oleh stafnya. Dan contoh lainnya yang seperti itu, yang menggambarkan situasi seseorang yang seharusnya lebih tahu dan lebih mampu (biasanya dianggap demikian) belajar, menimba ilmu atau minta tolong kepada atau dari orang yang dianggap belum tahu apa-apa.

Situasi seperti 'Kebo Nyusu Gudel' itulah yang beberapa waktu lalu terjadi antara anak perempuan saya dengan salah seorang ibu gurunya.

Semuanya berawal ketika Hari Guru. Di sekolah anak saya ada kebiasaan, pada setiap Hari Guru murid-murid memberi kado atau bingkisan kepada bapak atau ibu gurunya. Kado atau bingkisannya pun bukan sesuatu yang mahal, tetapi yang terjangkau oleh uang saku anak-anak. Bisa secara perorangan atau secara kelompok atau patungan. Biasanya yang mendapat kado atau bingkisan adalah guru favorit masing-masing murid atau wali kelas masing-masing. Pada Hari Guru tahun 2016 yang lalu anak saya memberi bingkisan dompet dari benang rajutan kepada bu guru wali kelasnya dan bu guru ketrampilannya.

Beberapa hari kemudian anak saya dipanggil oleh bu guru ketrampilannya. Bu guru ketrampilan menanyakan seputar dompet rajutan tersebut, yang menurut penilaiannya unik dan bagus. Ketika anak saya menjelaskan bahwa dompet rajutan itu hasil karyanya sendiri (meski finishing-nya bagian istri saya yang kerjakan) bukan beli di toko, bu guru nampak terkejut. Bu guru setengah tidak percaya anak saya bisa membuat dompet rajutan yang menurut penilaiannya cukup susah dan rumit untuk ukuran seorang anak kelas 6 SD. Saat itu juga bu guru ketrampilan minta tolong pada anak saya supaya mau dan bisa mengajarinya membuat kerajinan benang rajut. Karena saat itu sedang sibuk persiapan untuk UN anak klas 6, maka bu guru minta waktu sehabis UN saja belajar merajutnya. Anak saya pun menyanggupi.

Akhirnya, pada saat liburan, beberapa hari menjelang dan sesudah lebaran tahun 2017 kemarin bu guru ketrampilan datang ke rumah saya untuk belajar merajut pada anak saya. Sebagai wanita berdarah Bali, bu guru tentu sudah sangat akrab dengan segala bentuk seni kerajinan. Terbukti tidak butuh waktu lama buat bu guru untuk belajar merajut. Hanya tiga kali pertemuan di rumah saya bu guru sudah menguasai cara membuat kerajinan dari rajutan benang.

Saya salut dengan sikap bu guru anak saya yang tidak merasa gengsi atau malu untuk belajar kepada anak saya yang nota bene berstatus sebagai muridnya di sekolah. Meski di sekolah sebagai guru ketrampilan tetapi dalam hal merajut anak saya justru menjadi 'guru' bagi bu gurunya. Bu guru berpendapat dalam hal mencari ilmu tidak ada istilah tua-muda, orang tua-anak atau guru-murid. Yang ada siapa yang tahu dan menguasai lebih dulu mengajari yang belum tahu atau belum menguasai.

Situasi ini tentu sangat berbeda dengan ketika saya masih SD dulu. Dalam bahasa Jawa seorang guru sering diasosiasikan dengan 'diguGU lan ditiRU' (didengar/dipatuhi dan ditiru/dicontoh). Guru adalah sosok panutan yang disegani. Jika ketemu dengan guru di luar jam sekolah badan langsung gemetar. Tidak berani menatap wajah sang guru. Guru betul-betul 'uber alles' terhadap muridnya di dalam dan di luar sekolah. Jangankan 'ngajari' guru, membantah saja sudah dibilang "kurang ajar", "tidak tahu sopan santun", dan lain sebagainya.

Zaman terus bergulir. Interaksi antara orang tua-anak atau guru-murid sudah semakin cair. Kemajuan teknologi pun begitu cepat terjadi. Banyak hal, produk dan kreasi-kreasi baru bermunculan yang belum atau bahkan tidak terpikirkan oleh generasi orang tua kita. Para orang tua dan guru sering kali kalah cepat dalam mengikuti kemajuan teknologi dibandingkan anak-anak atau murid-murid. Akhirnya muncullah dengan apa yang disebut dengan 'orang tua atau guru gaptek'. Untuk bidang ini harus diakui banyak orang tua yang 'nyusu' ke anaknya atau guru yang 'nyusu' ke muridnya. Para orang tua dan guru sekarang sudah tidak gengsi dan malu lagi untuk 'nyusu' ke anak atau muridnya, tanpa khawatir kehilangan wibawanya sebagai orang tua dan guru. Saat ini sudah semakin jarang guru yang masih punya perasaan 'uber alles'.

Hanya satu yang sedikit disesalkan oleh bu guru ketrampilan, kenapa kemampuan rajut anak saya tidak diketahui pada saat ada lomba kerajinan antar SD, beberapa bulan sebelumnya. Jika pada saat ada lomba tersebut hasil karya anak saya bisa ditampilkan mewakili sekolah, pasti menang. Bu guru sangat yakin, karena hasil kerajinan yang tampilkan dari sekolah lain dinilai biasa-biasa saja, tidak ada yang unik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun