Waktu terus bergulir. Zaman terus berganti. Dari yang tidak ada menjadi ada, dari yang ada menjadi tidak ada. Semuanya mengalami perubahan tanpa terkecuali. Menggilas siapa saja tanpa terkecuali.
Kemajuan teknologi menyebabkan beberapa alat atau barang yang dulu sangat berguna sekarang jadi seperti barang antik. Penemuan-penemuan baru membuat alat atau barang yang dulu kelihatan sangat ‘trendy’ sekarang sudah layak masuk museum.
Teknologi komunikasi telah mengubah cara orang dalam berkomunikasi dan beraktifitas. Produk atau barang yang terlambat melakukan perubahan akan tergilas oleh produk baru (biasanya lebih praktis) yang lebih bisa diterima masyarakat.
Berikut ini beberapa alat atau barang yang hampir menjadi kenangan atau bahkan sudah tinggal kenangan.
Telepon Rumah
Memang masih banyak yang menggunakan benda yang satu ini, terutama kantor-kantor, instansi-instansi dan pelanggan lama Telkom. Tapi melihat tingkat pertumbuhan penggunanya yang sangat kecil, bahkan mungkin sudah stagnan, bisa jadi benda yang satu ini akan segera masuk museum. Biaya perluasan jaringan yang mahal menjadi kendala pertumbuhan pengguna telepon rumah. Semakin terjangkaunya harga handphone makin membuat telepon rumah ditinggalkan. Kapan terakhir kali telepon rumah Anda berdering ?
[caption id="attachment_351266" align="aligncenter" width="270" caption="(gambar dr inikabarku.com)"][/caption]
Sarana komunikasi yang dikirim melalui sandi Morse ini hampir identik dengan berita penting, darurat atau rahasia. Misal : berita duka atau kematian sanak saudara, orang tua sakit, tertimpa musibah atau rencana penyerangan dalam dunia militer. Atau bisa juga berita yang sebenarnya tidak terlalu gawat tapi jika dikirim lewat surat biasa diperkirakan akan terlambat diterima yang berkepentingan, maka telegramlah solusinya. Seperti yang saya alami ketika menerima panggilan wawancara kerja lewat telegram.
[caption id="attachment_351267" align="aligncenter" width="300" caption="(gambar dr m.kaskus.co.id)"]
Dengan makin menurunnya pamor telegram, maka salah satu ‘produk turunan’ telegram juga ikut kehilangan pamornya, yaitu Telegram Indah.
Di saat sedang boomingnya, telegram indah adalah cara yang cepat dan hemat untuk mengucapkan selamat hari raya keagamaan (Idhul Fitri atau Natal). Kita tinggal tunjuk no. desain telegram indah yang disediakan Telkom, kasih alamat yang dituju, bayar, beres. Esok harinya telegram indah sudah diterima yang bersangkutan.
[caption id="attachment_351268" align="aligncenter" width="270" caption="(gambar dr imam2701.blogspot.com)"]
Kartu Lebaran
Senada dengan telegram indah, kartu lebaran saat ini seperti sudah mati suri. Saat-saat menjelang puasa dan Lebaran adalah berkah bagi pelaku industri kreatif. Berbagai desain kartu lebaran bermunculan. Dari fotografi, lukisan hingga kaligrafi. Di era digital seperti sekarang, ‘kartu lebaran’ sudah bergeser ke arah ‘virtual’ yang bisa di-posting dan di-sharing berkali-kali di media sosial. Tapi sekali lagi, itu bukan ‘kartu’. Padahal salah satu drama ketika menerima kartu lebaran adalah, kita belum tahu siapa pengirimnya sebelum memegang amplopnya.
[caption id="attachment_351269" align="aligncenter" width="270" caption="(gambar dr fimela.com)"]
Kapan terakhir kali Anda terima surat dari pacar, teman atau keluarga ? Keberadaan surat tergeser oleh SMS dan e-mail. Padahal sensasi menerima surat dan SMS atau email sangat berbeda. Apalagi jika yang kirim surat ‘si dia’. Baru lihat tulisan tangannya saja sudah deg-deg-serr, belum membacanya. Apalagi kertasnya pakai kertas aromatik. Whoo ... tambah berbunga-bunga.
Saat ini hampir tidak ada masyarakat umum yang menulis dan berkirim surat. Tinggal instansi atau lembaga resmi saja yang masih melakukan hal tersebut.
[caption id="attachment_351271" align="aligncenter" width="270" caption="(gambar dr mmzstamp.blogspot.com)"]
Beriringan dengan surat dan kartu lebaran adalah perangko. Tanpa adanya perangko, surat dan kartu lebaran tidak akan sampai ke tempat tujuan. Saat ini jumlah pengguna perangko sudah sangat berkurang. Pihak pos pun sepertinya juga sudah jarang menerbitkan perangko baru. Jika Anda ke kantor pos, coba perhatikan, berapa banyak yang membeli perangko ? Hampir tidak ada. Yang berkirim surat pun bisa dihitung dengan jari. Bahkan layanan ‘kilat khusus’ yang dulunya diperuntukkan bagi jasa pengiriman surat sudah menjadi layanan pengiriman barang/paket. Mungkin hanya penggila filateli saja yang masih berburu perangko.
[caption id="attachment_351273" align="aligncenter" width="237" caption="(gambar dr jualperangkoku.blogspot.com)"]
Saat sedang ‘ngetrend’, para eksekutif muda dengan bangga menunjukkan pager di pinggangnya. Bisa dibilang, pager adalah pelopor ‘mobile device’. Seseorang bisa dengan mudah dihubungi kapan saja dan di mana saja, selama dia membawa pager-nya. Bagi yang sirik, sering mengatakan bahwa orang yang membawa pager di pinggangnya kayak mandor bangunan membawa meteran (biasa, alasan untuk menghibur diri karena tak mampu beli).
[caption id="attachment_351275" align="aligncenter" width="270" caption="(gambar dr en.wikipedia.org)"]
Kaset Tape
Untuk barang yang satu ini hampir seluruh keluarga saya punya koleksi sendiri-sendiri. Mulai dari jaman harga kaset Rp. 1.000,- dapat 3 biji sampai kaset seharga Rp. 20.000,-/biji, ada. Mulai dari beli di kaki lima sampai beli di Disk Tara, juga ada. Dari yang bajakan sampai yang original, semua ada. Jika koleksi seluruh keluarga digabung mungkin jumlahnya mencapai ribuan, termasuk yang hilang dan rusak.
Saat ini industri musik beralih ke format CD dan digital (downloadable).
[caption id="attachment_351277" align="aligncenter" width="270" caption="(gambar dr en.wikipedia.org)"]
Senasib dengan kaset tape adalah walkman. Dulu, rasa-rasanya gagah sekali jalan-jalan ke kota sambil dengerin musik lewat walkman. Sekarang handphone pun bisa menjadi walkman.
[caption id="attachment_351278" align="aligncenter" width="270" caption="(gambar dr telegraph.co.uk)"]
Mesin Ketik
Dulu, ketika melamar pekerjaan Anda bisa menunjukkan atau punya ijazah mengetik dengan ’10 jari’, Anda akan dengan mudah mengalah saingan yang hanya bisa mengetik dengan ’11 jari’. Perangkat yang dulu diidentikkan dengan profesi ‘carik’ atau sekretaris desa/kelurahan/kecamatan ini, sekarang mungkin tinggal kenangan. Jangankan di kota, kantor desa di daerah pelosok saja mesin ketik sudah diganti dengan komputer dan printer.
[caption id="attachment_351280" align="aligncenter" width="270" caption="(gambar dr etalasebelanja.com)"]
Itulah beberapa alat atau barang yang saat ini mungkin tinggal atau hampir menjadi kenangan. Selamat bernostalgia.
Tulisan sebelumnya :
Tulisan berikutnya :
Morpen (Humor Pendek) jilid 3
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H