Mohon tunggu...
Tedd Shadynnov
Tedd Shadynnov Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menyukai Menulis Sejak Masih SMP Dan Lebih Banyak Tulisan Non Fiksi. Tapi Sekarang Mulai Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Secarik Surat, Seumur Kenangan

25 Agustus 2024   14:43 Diperbarui: 25 Agustus 2024   14:44 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore itu disebuah kafe, Karina yang seorang manager pemasaran sebuah perusahaan multinasional sedang duduk sediri dalam keheningan, menatap keluar jendela. Mata indahnya dan berbinar yang biasa tampakkan akhir-akhir ini penuh dengan air mata. Rambut yang biasa tersanggul indah kini dibiarkan terikat seadanya.  

Sementara itu, angin dingin basah mengiringi rintik hujan yang mulai turun, mulai membasahi trotoar yang mulai sepi dari lalu lalang orang. Karina menghela napas panjang, merasakan dadKarina sesak. Lagi-lagi hujan. Lagi-lagi kenangan itu datang.

"Kak, ini kopinya," suara pelayan kafe membuyarkan lamunannya.

"Oh, makasih," Karina menoleh dan tersenyum lemah.

Dia menyesap kopinya perlahan. Pahit. Padahal dulu kopi di sini selalu terasa manis. Ya, dulu. Saat Nino masih ada di sampingnya.

*flashback*

Karina teringat masa-masa dulu bersama Nino. Masa indah yang sebenarnya tidak ingin ia lalui jika akhirnya menjadi kepedihan.

Karinnnn! Coba deh kopi ini, enak banget!" seru Nino dengan mata berbinar.

Karina tertawa kecil, "Apaan sih, Mas? Lebay deh."

"Beneran! Nih, cobain," Nino menyodorkan cangkirnya.

Karina menyeruput sedikit. Hmm, memang enak. Tapi bukan kopinya yang membuat dia tersenyum. Tapi wajah antusias Nino dengan senyuman indah menawan yang selalu bisa membuatnya bahagia.

"Gimana? Enak kan?" tanya Nino penuh harap.

"Iya, enak," Karina mengangguk, "tapi tetep lebih enak liat muka kamu."

Nino tersipu, "Ih, gombal kamu!"

Mereka tertawa bersama, menghabiskan sore yang indah di kafe favorit mereka.

*kembali ke masa kini*

Karina mengerjapkan mata, mengusir air mata yang mulai menggenang. Sudah setahun berlalu sejak kecelakaan itu. Sejak hujan merenggut Nino darinya.

Dia merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah amplop lusuh. Surat terakhir dari Nino. Dibaca Karina lagi untuk kesekian kali.

"Dek, 

Maaf ya aku telat pulang. Hujannya deres banget nih. Tapi tenang, aku bakal hati-hati kok. Jangan lupa makan ya! Aku bawain oleh-oleh buat kamu. I love you, selalu.

-Yours"

Karina meremas surat itu. Andai saja dia tahu itu adalah pesan terakhir Nino. Andai saja dia bisa menghentikan Nino pergi malam itu.

"Mas... kenapa kamu ninggalin aku?" bisiknya lirih.

Hujan di luar semakin deras. Karina memutuskan untuk pulang. Dia berjalan pelan, membiarkan tubuhnya basah kuyup. Mungkin air hujan bisa membersihkan lukKarina. Mungkin.

Sampai di rumah, Karina langsung menuju kamar. Matanya tertuju pada foto besar dirinya dan Nino di dinding. Foto itu diambil saat mereka berlibur ke pantai. Mereka terlihat begitu bahagia.

"Mas, aku kangen," Karina berbisik pada foto itu, "Aku... aku gak tau harus gimana tanpa kamu."

Dia duduk di tepi ranjang, menangis tersedu. Kenangan-kenangan indah bersama Nino berputar di kepalanya. Tawa mereka, impian mereka, janji-janji mereka.

"Aku pengen banget lupain kamu, Mas. Tapi... tapi aku juga gak mau kehilangan kenangan kita," Karina terisak, "Aku harus gimana?"

Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama ibunya muncul di layar.

"Halo, Ma?"

"Karina sayang, kamu baik-baik aja? Mama khawatir nih, hujannya deres banget."

Karina terdiam sejenak. Suara lembut ibunya menyadarkannya akan sesuatu. Dia masih punya orang-orang yang menyayanginya. Dia masih punya alasan untuk melanjutkan hidup.

"Iya Ma, Karina baik-baik aja kok," jawabnya pelan.

"Beneran? Suara kamu kedengeran sedih."

Karina menghela napas, "Karina... Karina kangen Nino, Ma."

"Sayang..." suara ibunya penuh kasih, "Mama ngerti. Tapi Karina harus kuat ya. Nino pasti gak mau liat kamu sedih terus."

Karina mengangguk pelan, "Iya Ma... Karina... Karina bakal coba."

Setelah menutup telepon, Karina memandang ke luar jendela. Hujan mulai reda, menyisakan rintik-rintik kecil. Entah kenapa, kali ini hujan terasa berbeda. Bukan lagi simbol kesedihan, tapi seperti air mata yang membasuh luka hatinya.

Karina berdiri, mengambil jaket, dan keluar rumah. Kakinya melangkah ke arah yang sudah dia hafal di luar kepala. Makam Nino.

Di depan makam kekasihnya, Karina berlutut. Air mata Karina mengalir, tapi kali ini bukan air mata kesedihan.

"Mas," dia mulai berbicara, "aku... aku mau bilang makasih. Makasih udah ngasih aku kenangan yang indah. Makasih udah ngajarin aku apa artinya cinta."

Karina mengusap nisan Nino lembut, "Aku janji, aku bakal terus hidup. Bukan cuma buat aku, tapi juga buat kamu. Aku bakal wujudin mimpi-mimpi kita. Kamu... kamu akan selalu ada di hatiku, Mas. Selalu."

Karina berdiri, merasakan beban di hatinya terangkat sedikit. Dia tau ini baru awal dari proses penyembuhan. Tapi setidaknya, dia sudah berani melangkah.

Saat berjalan pulang, Karina melihat pelangi di langit. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Mungkin ini pertanda. Mungkin ini Nino yang bilang kalau semua akan baik-baik saja.

"Makasih, Mas," bisiknya pada angin, "I love you, selalu."

Karina melangkah pulang dengan hati yang lebih ringan. Hujan sudah reda, menyisakan harapan baru di hatinya. Dia tau perjalanannya masih panjang, tapi kali ini dia siap menghadapinya. Dengan kenangan indah Nino di hatinya, dan tekad kuat untuk melanjutkan hidup. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun