Ayu menatap kosong ke luar jendela, memandangi hujan yang turun rintik-rintik. Suara tawa bayi dari kamar sebelah membuatnya tersenyum getir. Dia bisa membayangkan pemandangan di balik pintu itu - Dewi, kakaknya, sedang berbaring di tempat tidur, sementara Didy menggendong bayi mereka yang baru berusia dua bulan.
Didy. Nama itu selalu membuat jantung Ayu berdebar tak karuan.
Dengan tangan gemetar, Ayu membuka buku hariannya. Halaman-halamannya sudah penuh dengan curahan hatinya selama setahun terakhir. Dia mulai menulis:
"Hari ke-372 mencintaimu dalam diam, Mas Didy. Aku melihatmu menggendong bayimu hari ini. Kamu tersenyum begitu lembut, matamu berbinar penuh kasih. Andai saja tatapan itu untukku..."
Ayu menggigit bibirnya, menahan isakan yang hampir lolos. Dia ingat pertama kali jatuh hati pada Didy. Saat itu, Dewi baru saja melahirkan dan harus bedrest. Didy dengan setia merawat Dewi, bahkan rela cuti dari pekerjaannya.
"Kamu beruntung banget punya suami kayak Mas Didy," Ayu ingat pernah berkata pada Kakanya, Dewi.
Dewi tersenyum lemah. "Iya, Yu. Aku bersyukur banget. Eh, tolong ambilin minum dong."
Saat itulah Didy masuk ke kamar, membawa segelas air. "Udah aku bawain, sayang. Ayu, makasih ya udah jagain Mbak ya."
Senyum Didy saat itu membuat dunia Ayu seakan berhenti berputar. Sejak saat itu, dia mulai memperhatikan Didy lebih seksama. Kebaikan hatinya, kesabarannya, bahkan caranya tertawa - semua itu membuat Ayu jatuh cinta sedikit demi sedikit.
Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Ayu. "Yu, bisa tolong jagain Nayla sebentar? Aku mau mandi dulu," suara Didy terdengar dari balik pintu.