1. Pernahkah terbayangkan seandainya praktek bangunan sistem haji dan umroh adalah benar sesuai hukum Al Quran demikian juga praktek hukum zakat, shadaqat, dan infak, mengapa hanya sebagian kecil saja kurang dari satu persen umat islam yang percaya yang dapat mengerjakannya dan itupun masih dipersulit/dibatasi oleh hukum buatan manusia. Tidak logis apakah Allah pilih kasih dengan produk hukumnya. Jelas praktek bangunan sistem hukum Allah telah disimpangkan. Hukum Allah adalah untuk semua manusia tidak terkendala oleh hukum manusia.
2. Wahyu Allah adalah produk hukum Allah dengan nalar idealisasi sederhana dan semua rasul Allah hadir membangun sistem praktek hukum Allah yang pasti sempurna. Al Quran adalah produk hukum bersifat mutlak (absolute), tidak memerlukan tambahan produk hukum manusia yang bersifat relatif.Â
Saat ini praktek hukum Allah dengan hubungan bersifat pribadi dengan Allah seperti puasa dan shalat hampir mendekati kebenaran, sedangkan hubungan dengan Allah yang harus melibatkan pribadi-pribadi lain dalam perkara urusan hukum atas obyek cipta Allah, seperti jual-beli, nikah, waris, dan lain-lain, hampir semua tidak terlaksana dalam arti menyimpang. Ini adalah gejala umum (hukum alam) dari bangunan sistem apapun.Â
Manusia menyepelekan semua wahyu Allah dan mengabaikan (tak sadar menganggap tak sempurna). Manusia menjadi bingung, lalu merekayasa hukum sendiri karena polanya hampir sama, dan menafsir wahyu Allah. Maka suatu kebiasaan yang banyak dianut dijadikan pembenaran praktek hukum tanpa 'reserve'dan tanda adanya pembebanan. Kembali pada hukum Allah adalah bentuk perintah kontrol. Perlu daya nalar yang tinggi, kejelian, dan kepekaan menelisik Al Quran.Â
Maka pribadi-pribadi yang brilyan dan paham hukum alam diperlukan untuk menguasai dan mengendalikan produk hukum Allah. Ciri khas praktek hukum Allah adalah tidak adanya pembebanan pada diri manusia sehingga semua manusia yang percaya dapat melaksanakan hukum-hukum Allah secara rutin dan tanpa kendala ibarat manusia naik perahu ikut aliran air dari hulu ke hilir bukan proses sebaliknya.
3. Produk hukum Allah adalah bentuk perjanjian Allah dengan ruh manusia atas status 'cipta' yang bersifat mutlak dengan cara mensucikan hak-hak Allah yaitu memenuhi perjanjian, pengakuan, dan persaksian terhadap hak cipta Allah, hak kepunyaan Allah, hak kuasa Allah, hak alih-kuasa Allah, dan hak guna oleh Allah. Manusia hanya mendapatkan hak kuasa dan hak guna atas status cipta dan kepunyaan Allah. Produk hukum Allah berdasar pada prinsip/nalar transaksional dan fakta hukum, bukan bertumpu pada perasaan kata-kata bijak untuk memperbaiki perilaku.Â
Prinsip hukum ini (pola hukum alam) ditiru manusia dalam membangun produk hukum berkelompok seperti contoh negara atas status 'warganegara', perusahaan atas status'karyawan', bank atas status 'nasabah', ataupun keluarga atas status 'anggota keluarga'. Penyelewengan manusia tanpa sadar adalah bahwa praktek sistem produk hukum Allah atas status cipta dan bersifat mutlak diarahkan pada atas status warganegara atau lainnya dan bersifat relatif. Contoh hukum haji dan umrah, hukum nikah, dan hukum waris adalah hak pengaturan ada dalam kuasa Allah, bukannya dialihkan menjadi hak pengaturan hukum negara. Pribadi-pribadi yang terkena hukum Allah berdampak pada hak hukum cipta dan kepunyaan negara atas warganegara itu.
4. Wahyu Allah memerlukan rumah yang sah dan resmi milik Allah yaitu masjid asli sebagai tempat praktek penegakan sistem hukumNya sebagaimana dicontohkan oleh para rasul Allah yaitu Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad di dalam masjid Allah hasil pemberian dari Ibrahim di Mekah dan di Yerusalem, dan hasil pemberian dari Muhammad di Madinah. Namun fakta praktek Wahyu Allah seperti mati suri di masjid itu.Â
Pola analogi yang sama, karya manusia berupa produk hukum dan bangunan praktek sistemnya pada negara yaitu rumah negara seperti rumah-rumah lembaga negara sampai kantor kecamatan atau polsek, ataupun seperti kantor bank pusat sampai ke cabangnya yang mana manusia tak ada gugatan hukum atas semua rumah itu.
5. Atas status cipta sebagai makhluk Allah yang mengalami perubahan akibat hukum Allah, manusia harus mendatangi masjid asli dalam rangka urusan perkara hukum dan hak Allah untuk mendapatkan pencatatan dan pemrosesan secara transaksional atas perubahan status cipta dan hak kuasa. Lalu manusia dapat mencatatkan dan memproseskan dampak perubahan status pada keanggotaan suatu entitas hukum buatan manusia.
6. Hukum proses masukan masjid asli milik Allah atas semua obyek ciptaan Allah disebut (menunaikan kepada Allah) zakaat dan (infak kepada Allah) semua rezeki yang terkumpul, serta denda-denda (berujung pada shadaqat) akibat melanggar hukum Allah. Obyek-obyek ciptaan Allah ditandai pada nama-nama surah dalam Al Quran. Hukum proses keluaran masjid asli disebut shadaqaat (sebagai bentuk akibat/sunnatullah).
 Proses hukum-hukum Allah seperti jual-beli obyek ciptaan Allah, nikah, waris, serahan keturunan baru manusia atau binatang, dan sebagainya di dalam masjid memerlukan persyaratan berupa pernyataan/iqra' alih kuasa kepada Allah dari pihak-pihak yang berurusan, saksi-saksi pihak Allah yang ber-syahadat (karena Allah bersifat gaib), dan adanya obyek-obyek ciptaan atau kepunyaan Allah. Akhirnya apapun hak kepunyaan Allah dialihkuasakan kembali kepada manusia (hukum shadaqah) menjadi barang pinjaman dari Allah (qardhan thayyiban).
7. Ada rentang bulan khusus yaitu syawal, dzul qaiddah, dan dzul hijjah bahwa semua manusia yang percaya harus menghadiri panggilan (haji) ke masjid-masjid asli milik Allah dimana tempat pribadinya tercatat sebagai hamba dan makhluk Allah untuk pribadinya menyelesaikan urusan semua perkara hukum Allah (umrah) sebagai bentuk penyempurnaan atas kejadian-kejadian perubahan status cipta sebagai makhluk Allah selama setahun dan rutin dilakukan untuk dibersihkan hak Allah dari kuasa manusia dalam rangka menunaikan zakaat fithrah/ciptaan dan menginfaqkan semua rezeki/totalan hitung setoran, serta denda-denda (seperti tutup pembukuan usaha tahunan).Â
Selesai urusannya dengan Allah diakhiri dengan shalat hari raya sunnatullah  mengalir (akibat zakaat fithrah/infaq rezeki/denda-denda) dan realisasi shadaqaat oleh tiap pribadi. Inilah pengertian makna tradisi mudik dalam komunitas masyarakat tertentu dan penetapan waktu (bulan) pernikahan.
8. Mewujudkan masjid asli milik Allah yang menyebar pada tiap komunitas yang terukur perlu ada dan permanen agar Allah dapat menempatkan produk hukumNya dan dapat menyelenggarakan hukum-hukumNya yang mutlak kepada manusia yang mau percaya beurusan dengan hak-hak Allah.Â
Mensucikan masjid asli adalah memuliakan, mengunggulkan (arfa'), memprioritaskan, atau mendahulukan kepentingan urusan hak-hak Allah dibandingkan dengan urusan perkara hukum relatif buatan manusia seperti undang-undang negara, AD/ART entitas apapun, atau norma keluarga. Masjid haraam adalah rumah-rumah Allah yang aturannya sangat ketat dan harus dihormati benar melebihi aturan rumah-rumah negara atau istana apapun. Manusia yang masuk ke rumah Allah harus tunduk dan patuh pada hukum-hukumNya, jangan melakukan perbuatan tercela/menjurus syirik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H