Usut punya usut, kerusuhan itu disulut aksi pembakaran kitab suci Al-Qur'n oleh seorang tokoh politik garis keras sayap kanan Denmark di sana.
Ironisnya, bukannya mengecam, otoritas pemerintah setempat malah melindungi dengan dalih "kebebasan berekspresi".
Selang beberapa hari sejak peristiwa pembakaran itu terjadi, lagi-lagi isu diskriminasi umat islam muncul lagi di Eropa.
Kali ini isu tentang Hijab dan Islamisme yang diangkat menjadi bahan debat perhelatan Pilpres di Prancis antara Emmanuel Macron (Petahana) dan Marine Le Pen (Penantang).
Sang penantang dalam acara debat mengutarakan niatnya untuk melarang pemakaian hijab berbau islamisme di Prancis jika terpilih nanti.
Dengan dalih "pengekangan" terhadap perempuan, Le Pen memandang itu perlu demi "membebaskan" perempuan islam.
Tentu saja di tengah-tengah itu diselipkan juga isu-isu radikalisme, ekstrimisme, terorisme Islam yang telah lama terdengar.
Hal ini tentu sangat disayangkan untuk sekelas Eropa yang katanya menganut "liberalisme" dan sering menggembar-gemborkan "toleransi".
Jangankan di Eropa, di negara Indonesia sendiri yang notabene mayoritas islam terbesar di dunia pun belakangan ini mendapati kondisi serupa.
Bedanya, di Indonesia isu islamisme itu dibenturkan dengan istilah "toleransi" dan "pancasila", entah sampai kapan masalah ini bisa hilang.
Sampai-sampai melahirkan istilah-istilah baru yang belum pernah terdengar sebelumnya seperti 'kadrun', 'cebong', dan 'buzzeRp'.