Mohon tunggu...
Maheido
Maheido Mohon Tunggu... Penulis - Blogger Animasi

Penggemar karya animasi dan komik. Blog pribadi: www.maheidoku.web.id

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pers Indonesia, Elang Bermata Minus

10 Februari 2022   12:01 Diperbarui: 10 Februari 2022   12:10 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Geranoaetus melanoleucus. Lewis Hulbert/Wikimedia Commons

Mereka adalah pemangsa, makanan utamanya adalah teriakan-teriakan masyarakat, makanan sampingannya adalah peristiwa viral, makanan ringannya adalah konten pesanan, minumannya adalah pengetahuan dan keunikan.

Layaknya air, untuk dapat tetap eksis, pers juga perlu beradaptasi menyesuaikan perubahan zaman, lingkungan tempatnya berada, dan selera target audiensnya. Meskipun Ia mungkin sudah tidak semurni dulu lagi.

Pers dan setiap insannya punya pemikirannya sendiri. Bagi mereka, setiap harinya adalah medan tinju untuk saling bersaing berebut mangsa dibawa pulang. Menang adalah keharusan dan waktu adalah ringnya.

Di suatu tempat, mereka dipuji sebagai pilar utama Demokrasi. Berperan penting menjadi teropong publik menjelajahi lautan informasi. Konon katanya, kehadiran mereka vital sebagai penyeimbang sang pemegang kuasa.

Bagi mereka, kepercayaan adalah nyawa dan kebenaran adalah nadinya. 'Apa','Kapan', 'Dimana', 'Siapa', 'Kenapa', dan 'Bagaimana' adalah mantranya. Mereka berkata bahwa itu semua adalah hal yang wajib dijaga.

Tetapi rupanya mereka juga tersadar bahwa kebenaran dan kepercayaan bukan satu-satunya. Dunia bukan hanya soal keadilan yang pada akhirnya mudah dilupakan. Perkawanan, kekuasaan, dan kekayaan juga ikut menentukan.

Tidak jarang, mereka sering kewalahan oleh dilema saat tiba di tengah titik simpang. Dari banyak jalan yang ada, banyak dari mereka yang memilih hanya memandang dari pinggiran. Kini, lisan aksara mereka telah keruh.

Mereka bilang itu tidak asal-asalan dan sudah dipikirkan. Sebagai bentuk komitmen, mereka menciptakan pembatas yang disebut 'bingkai', 'agenda', dan 'neraca'. Sehingga tidak ada yang perlu dirugikan.

Dengan begitu mereka percaya masih layak menjadi mata masyarakat namun, di sisi lain masih bisa berkawan baik dengan semuanya sekaligus menghasilkan. Daripada berjalan lurus, mereka lebih suka menyamping.

Masyarakat marah karena kepercayaan mereka tidak dianggap yang utama. Kini mereka mencaci, "Kebenaran mana yang kau sampaikan?". Mereka menjawab, "Hei...! Ini yang terbaik untuk kita semua, mengertilah!".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun