Mohon tunggu...
HADISUSILO
HADISUSILO Mohon Tunggu... Guru - Asli Java

Guru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Penilaian

18 Desember 2024   11:01 Diperbarui: 18 Desember 2024   11:01 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di akhir semester kesibukan guru adalah memberikan penilaian terhadap peserta didiknya selama satu semester. Penilaian  secara garis besar meliputi penilaian afektif, psikomotorik, dan kognitif.

Dua penilaian psikomotorik dan kognitif biasanya diambil dari penilaian tugas (baik individu maupun kelompok), praktik, tes lisan, maupun tes tulis formatif dan sumatif. Kedua penilaian ini bisa diambil dengan rata-rata atau rumus yang dibuat oleh masing-masing guru. Kedua penilaian ini diwujudkan dalam  bentuk angka mulai 0 sampai 100.

Berkaitan KKM

Penilaian yang diberikan kepada peserta didik melalui proses yang panjang. Para guru harus terlebih dahulu menentukan KKM (kriteria ketuntasan minimal). KKM sendiri ditentukan oleh beberapa aspek. Taruhlah guru menentukan KKM pelajarannya 75, berarti peserta didik yang belum mencapai nilai 75 harus menempuh remedial. Berbeda dengan KKM 65, peserta didik yang memiliki nilai 75 sudah dinyatakan lulus, tetapi dengan predikat C.

Problematika Nilai dan Skor

Dalam menentukan nilai sebenarnya ada patokan yang perlu disepakati atau digunakan. Sebelum menentukan nilai harus terlebih dahulu dipahami skor ketuntasan belajar. Misalnya skor 0 sampai 100, dengan keruntasan 0-40% remedial seluruh materi, 41-65% remedial dibagian yang belum tuntas, 66-85% tuntas, 86-100% tuntas dengan pengayaan. Apabila dikonversikan dengan nilai dengan skala 0-100, peserta didik yang memiliki skor 66 sudah tuntas.

Di lain pihak KKM yang ditentukan oleh guru didasarkan atas rata-rata dari semua aspek penentu KKM. Misalnya dari rata-rata aspek penentu 70, guru akan menentukan KKM dengan nilai 70. Dengan demikian guru harus mengkonversikan skor dari tiap pengambilan nilai.

Nilai Rapor

Nilai rapor kadang menjadi perdebatan yang berlarut-larut. Hal ini desebabkan oleh pemahaman pemberian nilai yang tak sepaham antara guru satu dengan yang lain. Padahal jikalau semua menggunakan system yang disepakati akan muncul nilai yang tak perlu menjadi perdebatan. Ada kemungkinan perbedaan nilai dikarenakan kemampuan peserta didik yang memang berbeda kemampuan kognitif di bidang yang diminatinya masing-masing.

Nilai Rapor bagi Awam

Apa yang dipikirkan oleh orang awam tentang nilai rapor yang tinggi-tinggi. Seperti angka rupiah yang besar tapi tak bernilai tinggi. Generasi boombers selalu membandingkan angka nilai dalam rapor anak sekarang dengan angka nilai rapor pada zamannya. Terlalu jomplang. Mereka juga membandingkan ilmu yang diperolehnya ketika zaman sekolah dengan pengetahuan anak zaman sekarang.

Bahkan akhir-akhir ini, ada postingan di medsos tentang pemberian nilai bagi peserta didik oleh guru. Dengan ada postingan tersebut mengakibatkan keyakinan masyarakat semakin kuat bahwa nilai yang diberikan kepada anaknya bukan hasil prestasinya. Akan lebih parah lagi jikalau yang membaca postingan adalah anak-anak yang berpotensi malas akan mengakibatkan semakin malas.

Nilai Rapor bagi Guru

Ini yang menjadikan tak bisa dipahami. Ada sebagian guru yang masih memberikan nilai di rapor berdasarkan subjektifitas. Misalnya ada peserta didik yang rajin serajin-rajinnya (sebut A) memperoleh nilai rapor (berdasarkan hasil penilaian) 80, disandingkan dengan peserta didik yang tidak rajin (sebut B), berdasarkan hasil penilaian 80. Namun ternyata ketika A diberi nilai 80, si B diberi nilai lebih rendah, dengan alasan A lebih rajin dari B. Padahal nilai sikap sudah ada penilaiannya tersendiri. Yang seharusnya justru B lah yang diberi nilai lebih tinggi dengan alasan tidak rajin saja nilainya sudah segitu, apalagi kalau rajin.

Penilaian bagi Sekolah Pinggiran

Sekolah pinggiran memiliki permasalahan yang kompleks. Peserta didik yang belajar di sekolah tersebut tidak semata-mata ingin menuntut ilmu tetapi banyak yang hanya ingin mengisi waktu, daripada nggak sekolah, menunggu waktu untuk kawin, atau alasan lain. Selain dari faktor  anak, ada faktor orang tua yang tidak memedulikan anaknya, orang tua asuhnya adalah nenek kakeknya, broken home, atau faktor lingkungan. Dengan salah asuhan dari keluarga banyak ada peserta didik yang tak bersekolah berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Mereka itu ada yang memang berada di rumah dengan aktivitasnya sendiri atau dari rumah berangkat ke sekolah tetapi tak sampai sekolah tetapi bermain entah dimana. Mereka-mereka it uke sekolah apabila dilaksanakan tes sumatif saja.

Berbagai upaya yang dilakukan sekolah seperti pembinaan oleh wali kelas dan guru BK, kunjungan ke rumahnya, pembinaan sekolah terhadap orang tua/wali bersama peserta didik yang bersangkutan, peringatan secara tertulis, namun tak membuahkan hasil.

Berkaitan dengan peserta didik yang demikian sangat membingungkan bagi guru untuk memberikan penilaian di rapornya. Bagaimana ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun