Mohon tunggu...
Mas Say
Mas Say Mohon Tunggu... Dosen - Pemuda Indonesia

Diskusi: Kebangsaan dan Keindonesiaan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menunggu Sanksi Berat Hakim MK oleh MKMK

2 November 2023   23:52 Diperbarui: 2 November 2023   23:55 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : www.kompas.com

Baik dan buruk pada wilayah etik dari personal hakim MK ditentukan dan diputus oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Tolak ukur benar dan salahnya hakim MK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diproses dalam sidang oleh MKMK. Sampai detik ini, MKMK menjalani maraton dalam persidangan di MK. Hasil akhir akan diputus pada tanggal 7 November 2023. Akan seperti apa?. Apakah ketua MK akan dipecat dari jabatannya?. Apakah hakim MK lainnya juga akan terkena sanksi etik?. Sebelum jauh menganalisa soal MKMK, Penulis sedikit flash back tentang putusan MK yang menjadi kontroversial.

Putusan MK

Sejak Maret 2023 sampai adanya Putusan MK pada tanggal 16 Oktober 2023 ada 13 uji materi di MK soal batas umur. Ada 3 diantaranya dicabut oleh Pemohon. Saat pembacaan putusan masih ada 10 uji materi yang diputuskan. Para Pemohon dari Parpol (PSI dan Garuda), kepala daerah dan perseorangan warga negara. Pada awal pembacaan putusan MK, semua ditolak oleh MK.

Pada akhir soal uji materi pada perkara No. 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Almas warga sekaligus mahasiswa dari Solo. Semua berubah drastis dan di luar nalar. Pada awal pertimbangan hakim MK dari  putusan MK sebelumnya seolah-olah konsisten. Seketika pada putusan MK teraebut terakhir dengan kata "MENGABULKAN SEBAGIAN.....". Ini objek putusan MK yang menggemparkan hukum, demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia. Kritikan berbagai pihak muncul.

Pada gelombang awal pada 3 putusan MK (PSI, Garuda & Kepala Daerah). Grafiknya OLP (Opened Legal Policy) kuat. Apalagi saat pertimbangan hakim. Soal menafsirkan diskriminasi / tidaknya umur 35 dengan batu uji konstitusi. Dibantah hakim MK. Dengan logika terbalik diskriminasi. Keren saat itu dan berbasis hukum yang rasional dan sehat Masih dalam ruang pertimbangan hakim MK. Walau masih ada yang bersikap D0 (Dissenting Opinion) dan belum ada yang bersikap CO (Concurring Opinion).

Cara berpikir hakim MK mulai goyah ketika konsep OLP dicoba diterobos dengan penafsiran / pengecualian. Hakim MK dianggap boleh menyimpangi dengan alasan konstitualisme bagian tupoksi MK. Berpijak dari 3 putusan MK yang pernah ada sebelumnya. Pelan, tapi pasti pertimbangan hukum yang dihadirkan mulai tampak dipaksakan agar sesuai asas dan dalam koridor hukum.

Goyahnya tambah runtuh saat pertimbangan hakim MK menggunakan asas Lex Posterior. Putusan MK sebelumnya dianggap tidak berlaku lagi. Penalaran pada putusan MK sekarang / terbaru yang digunakan. Dianggap paling kuat. Ini tampak pragmatis. Oportunis atas norma hukum yang tampak dibuat permainan. Mengarah pada pemaknaan Pasal 169 huruf (q) UU Pemilu bersifat inkonstitusional bersyarat. Ada ketidak adilan soal umur. Dengan penjelasan saat pada amar putusan. Tampak dari sini. Alur pikir hakim terbaca. Ketidak konsistenan mulai nyata.

Ada variasi putusan MK. Dengan komparasi sesuai jumlah hakim dengan 5:4. Jelas menang posisi 5. Ada ketua MK sebagai penentuk kemenangan dengan "Mengabulkan Sebagian". Ada 2 hakim MK alasan berbeda (C.O) dan  4 hakim pendapat berbeda (D.O). Inkonstitusional bersyarat. Agar dipahami. Tetap minimal 40 tahun. Soal umur diserahkan OLP pada DPR. Cuma ada penambahan frasa pada amar putusan adalah kekacauan. Celah dibuat kosong. Hukum yang kosong justru diskriminasi yang dibuat hakim MK.

Mengacu dari sikap D.O yang ada dari 4 hakim MK menarik untuk dikaji dan dianalisa. Hakim MK yaitu W.A mempersoalkan terkait petitum Pemohon. Hakim MK yaitu Prof S.I terkait OLP dan diluar pokok perkara serta kejanggalan saat adanya RPH. Hakim MK yaitu A.H fokus pada pokok perkara dan hakim MK yaitu S mencermati soal tidak adanya legal standing bagi Pemohon.

Kejanggalan yang aneh bermula dari saat RPH tanggal 19 September 2023 terkait perkara No. 29-51-55/PUU-XXI/ 2023 yang dihadiri oleh 8 hakim MK tanpa adanya ketua MK. Hasilnya 6 hakim MK tetap memposisikan norma hukum dari Pasal 169 huruf q UU Pemilu tetap bersifat OLP (D.O hakim MK Prof S.I pada halaman 95-95). Konsep D.O dari Prof S.I sangat lugas dan tegas. Mudah dipahami. Konsisten dan berbasis keilmuan hukum. Tersistematis dan berbasis argumentasi yang logis dan rasional. Berusaha menjaga tatanan sistem hukum. Agar ketatanegaraan tetap pada tempatnya. Sepintas jika Penulis, analisa dari tahap ini saja titik mula keruntuhan paradigma hakim MK yang memilih posisi mengabulkan menjadi tidak ada arah hukumnya. Tidak konsisten. Terkesan dibuat secara serampangan. Berubah dalam waktu singkat. Ada apa?.

Kemudian saat pembahasan perkara No. 90-91/PUU-XXI/ 2023 dihadiri 9 hakim MK termasuk ketua MK dengan pilihan adanya "alternatif". Terpaksa diadakan dengan sidang panel dengan alasan uji materi tersebut telah ditarik dan sehari setelah ditarik diajukan kembali. Pembahasan dilanjutkan pada akhirnya mengabulkan sebagian. Patut menjadi renungan bersama saat ada kekhawatiran soal "beban politik" dan "pusaran politik" (Putusan MK No. 90 halaman 106). Celah dan keanehan ini patut menjadi evaluasi dan perbaikan serta bisa menjadi dasar adanya pemeriksaan secara kode etik hakim MK.

Hakim MK Inkonsisten

Menambahkan frasa / norma hukum baru yaitu dalam amar putusan dengan "....atau pernah/sedang" (Putusan MK No. 90 halaman 58 point kedua). Syarat batas umur Capres dan Cawapres dalam Pilpres 2024 menjadi "relatif". Bukan komulatif dengan norma hukum lainnya lagi. Terobosan pasal-pasal dibungkus dengan asas hukum justru membuat sistem dan tata negara makin tidak karuan. Kacau dan menjadi irasional.

Dampak Putusan MK

MK bermaksud bersikap progresif. Cuma tebang pilih memainkan norma hukum dalam memaknai Pasal 169 huruf (q) UU Pemilu. Jenjang kepimpinan lokal sampai nasional menjadi zig zag. Makin tidak terpola. Tugas / hak DPR sebagai positif legislator tereduksi oleh MK. Padahal menambahkan norma hukum baru pada idealnya melalui revisi UU Pemilu. Bukan dari MK.

KPU tentunya masih akan mengeluarkan PKPU soal tafsir MK tersebut. Dengan berkonsultasi dengan Komisi II DPR. Agar sebagai bagian syarat Pilpres 2024 bagi Paslon. Apalagi kepala daerah / pejabat negara izin Presiden diperlukan. Sikap KPU sangat penting agar legalitas Pilpres 2024 kuat dan tidak ada celah sekecil apa pun untuk mendelegitimasi dasar hukum yang digunakan.

Mahkamah Kehormatan MK (MKMK)

Semua sudah putusan. Kita hormati. Cuma tetap wajib kita kritisi. Biar hukum tetap sehat. Biar kita tetap bisa berpikir waras dan sehat. Agar hukum tetap menjadi panglima di Indonesia. Tidak hanya menganggukan kepala soal kebijakan yang telah ada. Kritikan keras dari publik. Dari berbagai pihak paling tidak ada ruang dan ada hasilnya untuk digelar dalam sidang oleh MKMK.

Seiring pergolakan publik dan kritik keras dari semua kalangan, akhirnya pada tanggal 23 Oktober 2023 dibentuk MKMK. Pedoman utama dari UU MK (No. 24 Tahun 2003 jo UU No. 8 Tahun 2011 jo UU No. 7 Tahun 2020) dan peraturan MKMK lebih teknis dari MK itu sendiri berupa Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi dan Tata Beracara Persidangan MKMK. Berdasarkan UU MK keanggotaan MKMK ini berasal dari 3 unsur (Pasal 27A ayat (2) UU MK).

Pemberhentian hakim MK dapat dengan "diberhentikan" dengan "hormat" dan "tidak hormat" (Pasal 23 ayat (1) dan (2) UU MK). Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PDTH) setelah berproses di MKMK (Pasal 23 ayat (3) UU MK). Dilakukan dengan Keppres atas permintaan ketua MK (Pasal 23 ayat (4) UU MK). Ini menjadi dilema ketika Presiden ada relasi keluarga dengan ketua MK. Terlepas preferensi pribadi dari masing-masing hakim MK sebagai politic of human melekat pada mereka, itu wajar. Baik pro dan kontra adanya conflict of interest, kita berikan kesempatan mereka tetap memegang teguh terhadap keilmuan dan integritasnya.

Analisa akhirnya atas putusan MKMK yang direncanakan dipercepat sebelum tanggal 8 November 2023. Rencana putusan pada tanggal 7 November 2023. Mengikuti dinamika aturan dari KPU soal penetapan Paslon dalam Pilpres 2024. Walaupun sebenarnya diberikan maksimal 1 bulan. Sampai pada sidang perdana ada sekitar 10 laporan. MKMK memeriksa dan mendengarkan alasan dari semua Pelapor tanggal 31 Oktober 2023. Ketua MK bisa dipecat dari jabatan ketua atau minimal diturunkan sebagai anggota biasa sebagai hakim MK. Maksimal MKMK berani memberikan sanksi jika terduga ada pelanggaran dalam katagori berat. Bisa diberhentikan dari hakim MK secara tidak hormat.

Sanksi dari MKMK secara umum ada 3 hal yaitu "teguran tertulis", "pemberhentian sementara" dan "pemberhentian". Jika minimal ada sanksi sampai ada "pemberhentian" marwah MK secara kelembagaan bisa terjaga. Trust publik meningkat. Sanksi etik terhadap personal hakim MK dalam arti jabatan kelembagaan. Cuma sebatas etik. Arahan dan rekomendasi. Bukan bersifat eksekusi dan memiliki daya eksekutor pemaksaan dan daya paksa.

Pada tolak ukur saat dan/atau sebab akibat melahirkan putusan MK yang kontroversial dan di luar nalar hukum pada umumnya menjadi celah bagi MKMK. Apakah MKMK sanksinya bisa menganulir sifat putusan MK?. Secara teori sulit dan tidak bisa. Sifat putusan MK final dan mengikat dalam konstitusi sulit dan tidak bisa dianulir sebatas dari sanksi dari MKMK. Apakah MKMK memiliki kewenangan progresif dan membuat terobosan baru nantinya?.

Penulis :

Saifudin atau Mas Say

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun