Mohon tunggu...
Mas Say
Mas Say Mohon Tunggu... Dosen - Pemuda Indonesia

Diskusi: Kebangsaan dan Keindonesiaan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Sistem Pemilu, Terbuka Vs Tertutup!

6 Januari 2023   23:36 Diperbarui: 6 Januari 2023   23:37 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Jika atas dasar adanya kelemahan dan kekurangan adanya sistem terbuka, maka idealnya kita pikirkan bersama agar lebih baik dan ada jalan terbaik untuk masalah tersebut. Dalam pandangan Penulis, sistem terbuka yang telah berjalan dan digunakan oleh Indonesia sekarang adalah pilihan terbaik. Ada komparasi sekitar 99% banyak kelebihan untuk kehidupan demokrasi dan bagi Parpol itu sendiri. Jika 1% merupakan masih ada kelemahan dan kekurangan, maka celah tersebut harus dicarikan solusinya. Jangan sampai berpikir terbalik. Jika kembali pada proporsional tertutup, maka akan ada 99% banyak kerugian bagi kehidupan demokratisasi Indonesia. Sebesar 1% saja bisa jadi ada kelebihan.


Dalam pandangan Penulis, jika beranggapan bahwa 1% dari kekurangan atas sistem terbuka bahwa figur atau tokoh publik yang bermodal saja yang dapat terpilih disebabkan populer. Terkenal. Asalkan punya finansial dianggap dapat menang dalam pemilu. Kualitas tidak ada. Penting ada uang banyak. Lalu, jika pertanyaannya dibalik?. Apa jaminannya jika dengan proporsional tertutup tidak ada transaksi uang gelap?. Bukankah justru rawan dengan money politic?. Bisa dipastikan akan ada transaksional gelap dan deal politik antara calon legislatif dengan pengurus Parpol. 

Transaksi gelap tersebut tersembunyi dan minus adanya pengawasan. Perbuatan ilegal dan dianggap legal dan wajar dalam politik. Fakta ini justru akan memperburuk citra Parpol dikarenakan memberikan pendidikan politik yang tidak baik. Masyarakat justru atas nama Parpol tidak dapat terwakilkan suaranya pada tokoh yang dipilih. Rakyat hanya dijadikan alamat penggerus suara saja. Hasilnya berpotensi tipuan belaka. Pilihan tidak sesuai harapan. Selain itu masih banyak kerugian besar bagi bangsa ini jika dengan proporsional tertutup.


Dalam kajian Penulis, selanjutnya adalah sistem terbuka patut dan wajib dipertahankan. Sistem terbuka akan memberikan ruang bagi Parpol agar tetap objektif dalam menentukan para caleg yang akan diusung. Sistem ini akan dapat memberikan ruang bagi Parpol memperoleh calon kader yang berkualitas. Parpol akan dapat terus memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat. Hal terpenting adalah masyarakat atau voters tahu dan kenal caleg yang dipilih. Mereka akan tahu dan dapat mengukur atas pilihannya bisa ada harapan membawa kebaikan bagi wilayah dapil mereka. Masyarakat yang lebih tahu dan paham akan tokoh atau figur yang layak untuk menjadi caleg di daerahnya masing-masing. Bukan Parpol, akan tetapi masyarakat. Kerangka fundamental tersebut sebagai dasar bagian membangun demokrasi Indonesia sudah dapat dipastikan akan dapat membawa perubahan diawali dari daerah dan tentunya ke arah nasional.


Dalam meminimalisir adanya celah kelemahan dari sistem terbuka, maka bagi KPU dapat tegas membentuk aturan teknis berupa PKPU agar proses seleksi baik administrasi dan profiling bagi caleg dapat dipublikasikan pada masyarakat. Dengan cara ini agar dapat terverifikasi kualitas caleg yang akan dipilih oleh masyarakat. Sudah tepat sebenarnya langkah KPU, mantan koruptor dilarang menjadi caleg. Cuma MK memberikan arahan tetap diperpolehkan dengan prasyarat tertentu. Syarat dari MK ini adalah tugas dari KPU untuk konsisten dipublikasikan agar masyarakat tahu. KPU juga berhak mencoret bakal caleg yang dinilai tidak layak dan melakukan pelanggaran berat.


Baik personal atau kelembagaan KPU, idealnya tidak banyak bicara yang bukan tupoksi kerjanya. Terkesan mendahului putusan MK. Nanti bisa berujung potensi adanya pelanggaran kode etik. KPU bekerja profesional saja. Apalagi jangan memberikan spekulasi dan asumsi seolah MK akan melegalkan proporsional tertutup. Padahal masih proses. Belum ada putusan. KPU bisa lebih fokus pada aturan teknis, tahapan dan alternatif kebijakan dalam menyambut pemilu serentak tahun 2024. Tidak terkesan masuk dalam pusaran politik yang bukan menjadi tugas dan wewenangnya.


Pada sisi, pengawasan tentunya Bawaslu dan/atau pemantau lainnya agar obektif dalam melakukan pengawasan kepada para caleg. Khususnya mengantisipasi adanya serangan fajar berupa uang kepada masyarakat. Ini celah yang sulit terdeteksi. Merubah sebagian pola pikir masyarakat akan memilih yang akan memberikan uang adalah tidak tepat. Ini khususnya adalah tugas bersama semua pihak tidak hanya Bawaslu dan/atau pemantau lainnya. Pengawasan Bawaslu juga wajib disertai adanya aturan yang jelas dan tegas. Tindakannya juga harus tegas. Tidak tebang pilih.


Bagi Parpol, sebagai pintu pertama dan utama akan adanya caleg idealnya lebih selektif pada para pendaftar bakal caleg yang akan mengggunakan partainya untuk maju sebagai caleg. Hindari transaski uang gelap dan transaksi deal politik atas nama uang. Parpol wajib objektif, rasional, jujur dalam memilih dan menentukan serta memberikan SK pada para caleg saat menggunakan partainya sebagai kendaran politik. 

Lakukan seleksi administrasi dan profiling agar diketahui integritas serta rekam jejak mereka. Dapat juga dilakukan fit and poper test bagi bakal caleg yang mendaftar. Hal itu dapat dilakukan dengan melibatkan para pihak sebagai tim seleksi. Baik dari akademisi, praktisi dan tokoh publik sebagai penentu 70% diterima atau tidaknya bakal caleg yang mendaftar. Sisanya 30 % kebijakan bagi Parpol. Persentase tersebut jangan dibalik.


Bagi para pihak, tentunya semuanya sesuai kapasitas dan bidang masing-masing memiliki peran dan tugas untuk mengawal pemilu serentak tahun 2024 khususnya terhadap para bakal caleg yang akan maju agar berkualitas. Baik dari segi integritas dan intetektual keilmuannya. Walaupun sistem terbuka semua orang dapat menentukan pilihannya, akan tetapi juga wajib selektif. Tidak asal memilih. Kita berharap MK tidak memberikan keputusan mundur, akan tetapi terus maju ke depannya agar sistem terbuka tetap digunakan. Agar masyarakat dapat memilih caleg terbaik bagi dapilnya dan tentunya kebaikan bagi pendidikan politik Indonesia.
 
Penulis:
Saifudin / Mas Say
(Pengamat Muda Hukum Tata Negara)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun