Jelas keadaan di luar negeri berbeda dengan situasi di Indonesia. Lalu, apakah wacana penundaan pemilu di Indonesia akan senasib seperti di Filipina?. Akibat penolakan publik akhirnya gagal?. Â
Apakah justru terus  berlanjut dengan konsep referendum seperti di Rusia?. Pertanyaan yang tidak kalah penting buat renungan publik, apakah trust rakyat pada Presiden sekarang tinggi?. Jika melihat keadaan yang sekarang?. Bukankah justru dapat memicu dan membuka kotak pandoro pada sebuah pilihan, misalkan apakah jabatan Presiden masih akan berlanjut sampai tahun 2024?.
Kejahatan Konstitusi
Dalam Pasal 7 UUU 1945 Â berbunyi "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan". Jika kita cermati tiap redaksional dalam pasal tersebut sudah mengikat agar tidak ada lagi celah terbuka untuk melanggengkan kekuasaan. Setelah redaksional "lima tahun" ditutup dengan "hanya untuk satu kali masa jabatan". Benang merah yang tidak kalah penting adalah redaksional "....memegang jabatan selama lima tahun....".
Hal ini jika kita cermati dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 terkait periodesasi pemilu yaitu "....setiap lima tahun sekali". Estafet kepemimpinan nasional harus berganti setiap 5 tahun. Ukuran sebagai konvensi ketatanegaraan yaitu setiap tanggal 20 Oktober kepemimpinan nasional berganti.Â
Agenda sebelum itu wajib ada pemilu sebagai proses regenerasi politik nasional. Lalu jika ada pihak yang ingin menunda adanya pemilu tahun 2024?. Ini salah fatal. Penundaan adalah cover belaka untuk memperpanjang jabatan Presiden. Apakah ada kejahatan dibalik itu?. Jelas melanggar konstitusi. Pun sebagai kejahatan dan makar berjamaah terhadap konstitusi.
Anasir politik
Matematika koalisi?. Jika menurut hitungan angka suara mayoritas Parpol dalam pemerintah ada 471 suara (minus PKS dan Demokrat sebesar 104) dari jumlah 575 suara. Ini juga masih akan tergantung jumlah 136 suara dari DPD. Apakah suara mayoritas MPR akan dapat dipegang kendali?. Tidak mudah. Apalagi resistensi perlawanan publik sangat kuat. Andaikan saja wacana itu terus bergulir, bisa saja badai politik akan terjadi.
 Mengingat peta koalisi mayoritas ada dalam pemerintah. Apalagi dugaan keras penundaan pemilu juga muncul dari lingkaran istana. Dapat kita cermati bersama sebelum dan setelah penetapan tanggal 14 Februari 2024 suara keras juga muncul dari kalangan pemerintah.
Sebelum penetapan ada suveyor. Dikuatkan dengan adanya pembentukan Timses pemenangan agar dapat 3 periode. Bahkan deklarasi sekretariat nasionalnya ada. Relawan juga terbentuk. Tidak hanya itu salah 1 menteri agar ada perpanjangan jabatan Presiden terang-terangan dinyatakan ke publik agar sampai tahun 2027.
Pasca penetapan juga tidak kalah cerdik manuver penundaan terus dihembuskan ke publik. Hal ini terbukti wacana perpanjangan jabatan Presiden dengan bungkus penundaan pemilu dimunculkan lagi melalui PKB, PAN, dan Golkar sudah memberikan sinyal agar ada penundaan pemilu. Ketum langsung yang menyampaikan. Pola agar penundaan sebelum dan penetapan waktu pemilu seolah berirama menjadi satu kesatuan yang tersistematis.