Mohon tunggu...
Mas Say
Mas Say Mohon Tunggu... Dosen - Pemuda Indonesia

Diskusi: Kebangsaan dan Keindonesiaan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Di Balik Kejahatan Konstitusi dan Mafia Demokrasi, Pasal RUU Cipta Kerja Berubah Lagi?

25 Oktober 2020   10:35 Diperbarui: 25 Oktober 2020   10:40 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : www.detik.com

Drama legislasi masih terekam indah dalam ingatan publik betapa kacaunya saat itu. Khususnya saat ketok palu pada tanggal 5 Oktober 2020 atas RUU Cipta Kerja. Pasca ada penyerahan draft 812 halaman dari DPR ke Presiden lewat Kemensesneg pada tanggal 14 Oktober 2020 publik berharap polemik mulai reda. 

Dengan harapan agar dapat tanda tangan Presiden, sehingga publik dapat mengakses draft asli secara utuh. Agar ada legal standing bagi UU sebagai objek uji materi di MK.

Sungguh di luar nalar sehat. Skandal tersistematis terindikasi dilakukan. Tidak hanya kejahatan demokrasi. Bahkan mafia demokrasi atas nama kaki oligarki bercokol dibalik kejahatan konstitusi (menghina Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945). 

Kejahatan legislasi dilakukan secara terang benderang. Penghianatan konstitusi dilakukan tidak tahu malu. Bagian kejahatan publik. Sungguh ironis sekali.

Penyerahan draft dari DPR ke Presiden lewat 7 hari pun sudah menyalahi aturan (Pasal 72 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang PPP). Di luar akal sehat?. Masak iya, draft resmi sudah disahkan dalam Paripurna DPR ada pasal yang dihapus. 

Bahkan mengindikasikan adanya perubahan pasal-pasal. Menjadi 1187 halaman. Tidak bisa dengan alasan apa pun. Tidak dapat dengan teori dan dalil apa pun itu bisa dilakukan. Pasca pengesahan sudah tidak bisa dikotak katik lagi. Sudah final. Presiden tinggal tanda tangan saja.

Ini adalah tamparan bagi DPR. Apakah DPR terima?. Ini adalah penghinaan pada lembaga lain. Tidak menghormati hasu DPR. Ini juga tabokan dan pukulan bagi orang hukum dan khususnya pegiat tata negara. 

Bagaimana tidak?. Orang hukum dianggap tidak ada. Di buang. Suara dan basis argumentasinya pun tidak pernah digubris lagi. Lalu perbuatan tersebut mendengarkan aspirasi siapa?

Pertanyaan lucu adalah lalu buat apa pasca sudah di tangan Presiden masih disosialisasikan lagi ke publik (NU, Muhamadiyah, dan lain-lain)?. Lalu kemarin kemana saja?. Bukankah sudah sepantasnya dipublikasikan saat masih draft awal?. Agar domain public hearing dapat berfungsi sebagai kontrol publik (Pasa 96 ayat (1) UU tentang PPP). Tahu aturan tidak?

Saat draft awal kran aspirasi ditutup (melanggar Pasal 96 ayat (4) UU tentang PPP). Draft sulit didapatkan. Banyak versi.  Sudah disahkan baru menyerap aspirasi. Ini sudah tidak berguna lagi. Buat apa?. Logika bernegara yang terbalik.

Dalam keadaan ini, sebenarnya paling ideal bagi Presiden untuk mengeluarkan Perppu. Beranikah?. Sudah tidak ada alasan lagi Presiden untuk tidak mengeluarkan Perppu. Keadaan sudah darurat legislasi. Klausula "kegentingan yang memaksa" sudah terpenuhi (Pasal 22 ayat (1) UUD 1945).

Pun ditambah lagi, etika bernegera pun dilanggar. Saat Presiden pidato di forum MK pada Januari 2020 sekitar 1 bulan sebelum Februari 2020 draft diserahkan pada DPR. Disertai bersamaan legalitas Surat Presiden (Pasa 50 ayat (1) UU tentang PPP). Tidak pantas dan layak bagi seorang kepala negara meminta dukungan pada proses legislasi pada MK. Itu konflik kepentingan.

Adanya Kabinet Indonesia Maju yang telah terbentuk sekitar 1 tahun lalu, tepat tanggal 23 Oktober 2019 diharapkan dapat memperbaiki nilai dan kualitas demokrasi. Justru sebaliknya. Kejahatan demokrasi dilakukan dengan nyata. Tanpa terbantahkan lagi. Sungguh membenarkan adanya dogma "OTORITARIANISME NEW DAN FREE STYLE" benar dan nyata terjadi.

Jika keadaan proses legislasi ini, makin kacau misalkan dibawa ke MK berpotensi dapat dibatalkan UU seluruhnya andaikan saja nanti Presiden akan tanda tangan. Langkah ideal agar polemik ini minimal ada jeda reda adalah Presiden mengeluarkan Perppu. 

Lagi pula Perppu tidak dimaknai harus membatalkan seluruh UU. Bisa mencabut dan/atau merubah pasal-pasal tertentu. Habis itu diserahkan pada DPR agar mendapatkan persetujuan bersama. Pasti karena suara mayoritas akan mendapatkan persetujuan bersama.

Keadaan ini dapat menutupi citra pemerintah khususnya Presiden. Dianggap tidak berdaya memainkan peran strong leadership sebagai pemimpin. Dianggap pemimpin terlemah sepanjang sejarah republik ini ada. Pun ruang aspirasi publik dan kewajiban yang ada di UU tentang PPP tidak berlaku lagi jika Perppu dipilih sebagai alternatif kebijakan. 

Lagi pula objek Perppu jika ada pihak yang tidak setuju akan muatan norma hukum bisa uji materi di MK. Kita tunggu bersama. Polemik legislasi ini akan berakhir seperti apa?. MENCERDASKAN atau MEMALUKAN?.

Penulis : Saifudin atau Mas Say

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun