Mohon tunggu...
Mas Say
Mas Say Mohon Tunggu... Dosen - Pemuda Indonesia

Diskusi: Kebangsaan dan Keindonesiaan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pergolakan Norma Hukum RUU Cipta Kerja, Pekerja Menderita atau Investor Bahagia?

29 Agustus 2020   00:57 Diperbarui: 29 Agustus 2020   00:59 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : www.kompas.com

Dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 merupakan jaminan konstitusi bagi warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Negara hadir memberikan jaminan kebijakan. Negara identik sebagai ibu yang memberikan kenyamanan pada anak-anaknya.

Keadilan memang bersifat alternatif. Banyak perspektif dan tidak dapat memberikan persamaan pada semua belah pihak. Hal ini apakah linear dengan norma hukum dari Pasal 1 ayat (1) RUU Cipta kerja?.

Secara umum ada redaksional ".........investasi pemerintah pusat dan percepatan proyek strategis nasional". Jika dimaknai secara gramatikal dan substansial sangat kontradiktif. Inkonsistensi.

Ada ketimpangan keadilan. Berpotensi menguntungkan salah satu pihak. Pihak lain khususnya warga negara dapat tertimpa kerugian akibat kebijakan yang tidak adil.

Siklus Prolegnas

Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sangat identik dengan kepentingan publik. Bahkan nasib rakyat secara keseluruhan. Sejak Februari 2020 atas inisiatif pemerintah draft RUU Cipta Kerja diserahkan pada DPR. Pembahasan dari pemerintah terkesan sangat tertutup.

Pasca penyerahan tersebut publik bergejolak. Semua elemen bangsa ikut protes. Memberikan saran, kritik dan masukan bersama. Pasca adanya pandemi pembahasan bahkan rencana pengesahan tanggal 16 Juli 2020 pun ditunda. Sekarang pasca masa reses berakhir,  pada Agustus pembahasan pun dilanjutkan. Wajar jika publik terus protes memberikan suara.

Sebagaimana diketahui bahwa RUU Cipta Kerja atas inisiatif pemerintah. Draft utuh baru beredar ke publik setelah resmi di serahkan pada DPR. Tahapan di DPR sebagai proses legislasi dan kinerja dengan pemerintah pun dilanjutkan. 

Tahapan Pembahasan I bergulir terakhir tanggal 19 Agustus 2020. Panja pun terus bekerja memfasilitasi adanya pembahasan tersebut. Saat itu pembahasan pada Bab III saja belum menyeluruh.

Lalu sebenarnya apa RUU Cipta Kerja?. Dengan metode umnibus law ada sekitar 79 UU dikodifikasi menjadi 1 produk RUU. Ada sekitar 1200 an pasal. Ada revisi dalam UU yang pernah ada. Ada penambahan dan penghapusan. Bahkan ada norma hukum baru yang tercantum dalam RUU tersebut.

Secara umum ada 11 point atau klaster atau pengelompokan dari bidang tertentu. Hal tersebut yaitu Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan, Pemberdayaan dan Perlindungan UMK-M, Kemudahan Berusaha, Dukungan Riset dan Investasi, Administrasi Pemerintah, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Investasi dan Proyek Pemerintah, dan Kawasan Ekonomi.

Pasal-Pasal Kontra Produktif

Dalam pandangan saya, ada 6 hal yang perlu mendapat pengawalan bersama. Bukan berarti menafikan klaster yang lain. Dalam 6 hal tersebut adalah Penyederhanaan Perizinan (783 Pasal),  \Persyaratan Investasi (20), Ketenagakerjaan (51), Pengadaan Lahan (17 Pasal), Investasi dan Proyek Pemerintah (norma hukum baru. Belum ada dalam UU sebelumnya).

Lalu jika berbicara logika hukum, maka klaster Administrasi Pemerintah (13) Pasal merupakan pembungkus dan ornamen keindahan dari semua klaster. Bersifat diskresi. Lalu konsekuensi logisnya seperti apa?

Dapat berpotensi kebijakan sentralistik dan otoriter, aturan dibuat suka-sukanya dan hukum dianggap tidak ada. Sebut saja adanya PP yang dapat menarik pemberlakuan UU (Pasal 170) dan Perpres dapat membatalkan Perda (Pasal 251). Hal tersebut adalah contoh kecil terjadinya conflict of norm sangat nyata dan jelas.

Jika kita mengkaji dan menganalisis dari semua isi dari RUU Cipta Kerja tentunya banyak dan multi perspektif. Dalam hal ini, Penulis ingin fokus ke dalam 3 UU saja sebagai contoh dan induk dari RUU Cipta Kerja.

Adapun 3 hal tersebut adalah UU Pemerintahan Daerah (No. 23 Tahun 2014), UU Ketenagakerjaan (No.13 Tahun 2003) dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (No. 32 Tahun 2009).

Ketiga aturan tersebut seolah-olah nanti dalam praktek akan bersinggungan dan memberikan dampak terhadap multi kehidupan. Khususnya bagi pekerja. Ketiganya merupakan representatif dari substansi hukum lainnya.

Guna memperdalam UU tersebut, Penulis coba untuk menganalisis pasal-pasal krusial. Dari UU Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 42 (3) adanya kemudahan dari Tenaga Kerja Asing. Bukan berati kita tidak membutuhkan tenaga dari luar negeri. Dalam hubungan diplomatik dan hubungan antar negara bukan berarti tidak perlu.

Akan tetapi, jika berlebihan justru dapat menggusur tenaga dalam negeri. Kualitas tenaga dalam negeri juga banyak yang masih berkualitas. Adanya penghapusan Pasal 59 dan 66. Sepintas jika dicermati seolah-olah menuruti putusan MK.

Perlu dicermati bisa saja putusan MK sejak tahun 2004 (Oktober) dan 2012 (Januari) bersifat open legal policy. Norma hukumnya tidak sepenuhnya dihilangkan. Justru jika dihapus dengan tidak memberikan alternatif norma hukumnya akan memberikan sifat kepastian dan cantolan hukumnya tidak jelas.

Hal ini berkaitan dengan perjanjian kerja untuk waktu tertentu dengan menjadikan nasib pekerja kontrak tidak jelas nasibnya. Seolah-olah menjadi kelinci percobaan sebuah kebijakan. Lalu berkaitan dengan perusahaan alih daya dan outsoursing yang dapat memberikan dampak buruk bagi pekerja.

Berkaitan dengan upah para pekerja ini juga dapat dicermati dengan kebijakan yang melibatkan peran dari Gubernur guna melegalkan sebuah kebijakan (Pasal 88). PHK bagi pekerja oleh perusahaan dapat berpotensi dilakukan sewenang-wenang hanya karena efisiensi perusahaan (Pasal 154A).

Berkaitan dengan UUPPLH adanya kontradiksi tentang strict liabilty dari perusahaan yang tidak bertanggung jawab (Pasal 88). Dengan adanya regulasi ini, maka perusahaan besar akibat mencederai AMDAL atau terdapat pelanggaran hukum akan tipis kemungkinan dapat dijerat hukum. Baik secara korporasi dan pimpinan perusahaan secara personal dalam hal pidana dan perdata.

Berdasarkan fakta tersebut sebenarnya, jika mencermati secara umum dari UU Pemda dapat bersinggungan dengan kebijakan dari kepala daerah. Kenapa demikian? Investor tidak selamanya terpusat. 

Terkadang banyak perusahaan yang ada di daerah dengan membutuhkan legalitas dari kepala daerah. Lalu kenapa ada redaksional Perpres dapat membatalkan Perda? Inilah benang merahnya.

Pemerintah daerah seolah-olah dipaksa menuruti aturan yang terpusat. Jika Perda tidak sesuai dengan aturan yang dikehendaki oleh pemerintah pusat, dapat dicabut dengan Perpres. Ini adalah logika hukum yang tidak tepat.

Dampak Terhadap Hukum dan Pekerja

Bagaimanakah dampak secara umum bagi ketatanegaraan dan hukumnya?. Sangat jelas dengan makin banyaknya aturan turunan dari masing-masing pasal justru dapat membuat aturan teknis over lapping. Jenjang hierarki UU dan aturan hukum dikesampingkan. Sangat berpotensi terjadinya abuse of power dan penyalahgunaan wewenang.

Pejabat-pejabat publik rentan dimanfaatkan dan memanfaatkan investor nakal. Hal terburuk adalah aturan hukum makin dianggap kabur dan tidak ada. Bahkan dikesampingkan demi kepentingan tertentu.

Selain berdampak secara hukum, maka juga terdapat dampak buruk bagi tenaga kerja dan lahan masyarakat. Jelas berpotensi besar tenaga kerja asing dapat menggusur posisi tenaga kerja dalam negeri.

Upah buruh makin tidak jelas. Perlakuan perusahaan yang wenang-wenang dapat merugikan nasib pekerja khususnya bagi pekerja yang belum tetap. Pun juga penyerobotan lahan-lahan rakyat dapat terjadi dengan ganti rugi yang tidak layak. Tentunya investor yang dapat keuntungan besar.

Alternatif Solusi

Dengan demikian apa solusinya? Pertama, Berhubung masih dalam pembahasan tingkat I dapat ditunda atau dibatalkan RUU tersebut agar dicabut dari Prolegnas. Agar tidak disahkan menjadi UU. Apakah berani dicabut? Jika mengingat RUU ini adalah usulan dari pemerintah dengan koalisi Parpol mayoritas sangat sulit terjadi pencabutan.

Kedua, Alternatif lain adalah jika diteruskan, maka agar kritikan dan masukan dari semua belah pihak didengarkan. Dengan melibatkan makin banyak para pihak untuk diajak bicara. Kran kritikan jangan ditutup. Agar mendudukan dan mendegarkan semua belah pihak.

Dalam pandangan Penulis, kesempatan memberikan masukan masih terbuka lebar. Masih pembahasan tingkat 1 belum 2. Apalagi dekat dengan penetapan dan pengesahan RUU menjadi UU.

Jika public hearing ini masih dianggap suara publik dan masyarakat berarti posisi masih imbang. Kenapa?. Jika suara publik yang menyuarakan penolakan RUU KPK seolah-olah tidak didengarkan dan begitu cepat pembahasan serta pengesahan menjadi UU. Hal ini berbeda dengan adanya pembahasan RUU HIP. Ketika suara publik makin tajam, maka penundaan dilakukan.

Jika dicermarti sampai saat ini RUU HIP diganti dengan RUU BPIP. Terus nasib RUU Cipta Kerja?. Celah dan kesempatan bagi publik masih ada dan terbuka lebar. Bisa jadi akan menjadi tolak ukur apakah suara publik masih didengarkan atau tidak? Apakah cuma diabaikan saja?

Mari kita kawal bersama. Tentunya, secara umum jika dipertanyakan RUU Cipta Kerja ini apakah menyejahterakan pekerja atau investor?, maka Penulis menjawab "Berpotensi Pekerja Menderita dan Investor Suka Cita dan Bahagia".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun