Perdebatan pembentukan dan pihak yang berhak mengangkat Dewas sempat muncul saat revisi UU KPK. Pada akhirnya resmi menjadi hak dari Presiden. Bukan DPR atau pun lainnya pihak tertentu.
Dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a UU KPK Dewas masuk struktural dalam kelembagaan KPK. Khusus dalam Pasal 37 Bab VA tupoksi Dewas dijabarkan. Hal aneh muncul ketika ada "organ pelaksana pengawas" dari Dewas melalui Perpres?. Seperti apakah bentuknya?. Apakah tugasnya?. Ini menunjukan makin intervensi dan kemandirian KPK dilucuti bahkan ditelanjangi.Â
Lucu sekali hal ini dalam penegakan hukum. Apakah jaminan organ tersebut dapat menjaga kerahasiaan hasil Dewas?. Syarat menjadi Dewas masih umum saja.
 Hak Prerogatif Presiden dalam pengangkatan tidak dijelaskan melalui Pansel (Pasal 37E). Pansel pun sampai saat ini terkesan tertutup. Bahkan memang tidak ada. Bukankah Pansel wajib diketahui publik?. Agar proses seleksi dapat transparan. Jika Presiden tidak membentuk Pansel, maka bisa dikatakan Presiden telah melanggar UU. Hasil Dewas pun akan inkonstitutional.
Dewas KPK masih misteri. Perekrutannya pun sembunyi-sembunyi bak percepatan revisi UU KPK. Bukan persoalan pada personal siapa yang akan menjadi Dewas, akan tetapi adanya Dewas akan merusak sistem "pro justicia" dalam hukum. Dewas masuk daam sistem peradilan. Kelembagaan Dewas ini lah persoalan utamanya.Â
Jika Presiden tidak berani, mengeluarkan Perppu pembatalan secara keseluruhan UU KPK apakah berani mengeluarkan Perppu khusus Dewas?. Agar Dewas tidak wajib dibentuk. Untuk meminimalisir terkasan tertutup dalam proses seleksi Dewas, maka Presiden dapat memaksimalkan Pansel sesuai dalam UU KPK agar diketahui pubik.
Jika berani ini adalah gebrakan baru. Pasca disahkan revisi UU KPK, Presiden terkesan tidak lagi pro dalam pemberantasan korupsi, idealnya berani menjadi garda terdepan.Â
Bukan menarasikan dan mendeskripsikan pada publik menjauh. Mengebiri KPK. Tidak mendukung. Ada sekat berlebihan pada KPK. Public of distrust akan lahir ketika Presiden mendeskripsikan menjauh dari supporting system pada pada KPK. Sistem telah dipangkas dan dimatikan. Pemegang sistem dalam eksekutif adalah Presiden. Ini adalah fakta.
Bagaimana mungkin publik tidak menilai demikian?. Mendukung revisi UU KPK, tidak berani mengeluarkan Perppu KPK, grasi koruptor diberikan, TGPF gagal dalam kasus NB, seleksi menteri KPK tidak dilibatkan, diundang KPK tidak hadir dan KPK dibilang sporadis. Mari kita tunggu bersama kebijakan Presiden dalam menentukan Dewas dan nasib KPK?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H