Salah satu tempat yang akan kita temui di setiap terminal bus antar-kota adalah Pos TPR (Tempat Penjagaan Retribusi). Petugas dalam pos tersebut resmi berseragam logo Dinas Perhubungan, ini menandakan bahwa kegiatan yang terjadi dalam pos tersebut adalah untuk kepentingan negara, bukan pribadi atau kelompok tertentu.
Pos biasanya terletak diantara terminal lokal dan antar-kota, artinya setiap melintasi tempat tersebut ada kewajiban kita membeli karcis yang disediakan. Itulah yang dinamakan karcis retribusi terminal. Besaran nominal yang tertera dalam karcis tersebut berbeda-beda di masing-masing terminal, mulai dari Rp. 200,- (duaratus rupiah) hingga Rp.1.000,- (seribu rupiah).
Saya sering memperhatikan, betapa kita cuek dengan uang kecil yang kita berikan kepada petugas pos TPR, tanpa kita terima karcisnya. Artinya karcis yang keluar lebih sedikit dari uang yang masuk. Sikap cuek kita ini sebenarnya seperti memberi lampu hijau kepada petugas pos untuk memperkaya diri.
"Rajin banget pakek minta karcis masuk segala, yang penting kan bayar, lagian kan nggak diperiksa lagi di bis". Begitu salah satu alasan cuek kita tehadap selembar karcis itu. Ini tidak terjadi hanya dalam sehari, tapi bertahun-tahun.
Mari kita hitung, sehari saja. Dengan asumsi penjaga yang bertugas 5 orang, harga karcis Rp. 200 dan total penumpang selama jam kerja 5.000 orang. Separuh dari calon penumpang yang 'malas' meminta karcis retribusi akan menambah uang saku petugas pos masing-masing Rp. 100.000,- setiap harinya.
Ini juga terjadi karena belum ada alat khusus untuk menghitung total jumlah penumpang keluar/masuk terminal tanpa mengandalkan tangan manusia. Maka untuk mengurangi kesempatan mereka memperkaya diri, mulai sekarang, marilah kita minta karcis retribusi, dan sarankan kepada sekitar kita untuk melakukan hal yang sama.[asg]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H