Mohon tunggu...
Ahmad Sanusi
Ahmad Sanusi Mohon Tunggu... profesional -

Guru saya bilang : Jadilah guru, agar ilmumu terus mengalir.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyoal Angkutan Gratis untuk Nyoblos

12 Maret 2014   20:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:00 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pemilu -yang terhitung kurang dari sebulan lagi- dikenal juga sebagai pesta rakyat. Ungkapan itu saya dapatkan ketika saya masih SD dulu, ketika kertas suara hanya selebar setengah kwarto, karena hanya tiga partai yang ikut didalamnya.

Sejak dulu sampai sekarang juga saya bukan pemerhati yang baik dibidang politik, tapi tidak serta merta karena alasan itu membawa saya memilih untuk tidak memilih di setiap kesempatan memilih. Bagi saya, memilih pemimpin adalah tanggung jawab yang dianjurkan agama.

Dalam satu kesempatan, saya didatangi caleg dari Partai Anu (bukan nama partai sebenarnya). Si Caleg datang beserta tim suksesnya. Intinya dia meminta peran saya untuk memfasilitasinya (dan timnya) untuk sosialisasi. Dengan bijak saya tolak tawaran kerjasamanya, bukan karena tidak dibayar, tapi karena saya ingin rumah saya netral dari kepentingan kelompok manapun.

"Semua caleg tu calon koruptor, luarnya aja tampannga alim, ngapain dipilih" kata tetangga saya setelah tamu caleg saya pulang.

"Kalo sampean nyaleg saya pilih deh, kan pasti sampean nggak korupsi kan?" tawar saya.

Ketika saya sanggah dengan halus, tetangga yang mengajak golput pada akhirnya memahami bahwa nyaleg adahal bukan perihal gampang dan murah. Karenanya, pada akhirnya, jika ada caleg yang gagal memperoleh suara, akan menyebabkan penyakit kejiwaan (minimal stress). Silahkan googling dengan keyword : caleg gagal gangguan jiwa.

Selain karena alasan ketidakpercayaan kepada caleg, sebetulnya ada lagi alasan lain -yang bersifat teknis- yang menyebabkan orang menjadi golput. Saya juga tidak faham apakah KPU memikirkan hal ini atau tidak.

Daftar pemilih tetap untuk Pemilu Legislatif 9 April mendatang telah ditetapkan sejak akhir tahun 2013 lalu, yaitu 186.172.508 jiwa dari dalam maupun luar negeri. Angka tersebut didapat dari hasil perekaman data e-KTP.

Saya bukan satu-satunya orang yang memiliki KTP Jakarta tapi tidak tinggal di Jakarta. Masih ada angka ratusan ribu pemegang KTP tanah kelahiran yang tinggal di rantau dan tidak memiliki kartu penduduk sementara (dengan berbagai alasan).

Untuk pulang pada 9 April mendatang bagi perantau, hanya untuk mencoblos sehari, jika bukan karena kesadaran keikutsertaan berpolitik, adalah hal yang dianggap buang-buang waktu dan uang. Semisal, ongkos paling murah untuk pulang dari Jogja ke Jakarta adalah Rp. 85.000 melalui kereta api kelas ekonomi, dengan memakan waktu 8jam perjalanan. Untuk pulang pergi, saya harus menyisihkan Rp. 170.000 dan rela duduk 16jam.

Tentu saja hitungannya akan lebih membengkak bagi yang pulang menggunakan pesawat atau kapal laut.

Jika seluruh perantau adalah orang yang sukses, yang tidak memperasalahkan besar anggaran yang dikeluarkan, maka jumlah golput -bisa jadi- akan berkurang.

Maka yang seharusnya pemerintah lakukan adalah menyediakan angkutan gratis yang diperuntukan bagi perantau yang namanya terdaftar dalam DPT di tanah kelahirannya. Cobain deh...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun