Mohon tunggu...
Ahmad Sanusi
Ahmad Sanusi Mohon Tunggu... profesional -

Guru saya bilang : Jadilah guru, agar ilmumu terus mengalir.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memilih Pemimpin yang Punya Rasa

29 Maret 2014   22:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:18 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Andai sajaseluruh manusia memahami bahwa hakikat rasa dalam setiap hidup manusia adalah sama, tentu dunia ini akan selalu damai, tentram dan tanpa perselisihan, apalagi peperangan.”

Kata bijak yang tak bertuan itu adalah benar, bahwa hakikat rasa adalah sama. Manusia yang berkulit hitam, sawo matang, maupun yang berwarna lebih terang, memiliki rasa yang sama ketika sedang menikmati makanan, minuman, berteduh kala kepanasan atau kehujanan, dan sebagainya.

Rasa nikmat dari semua hal yang disebutkan diatas, akan dirasakan oleh seluruh manusia. Begitu juga saat manusia jatuh cinta, meski yang dicintainya beda objek, namun rasanya tetap sama. Baik manusia normal maupun abnormal, rasa senang dan susahnya akan selalu sama (dengan variable yang berbeda).

Secara sederhana, kita dapat menyadari bahwa segala perselisihan, pertentangan dan peperangan yang terjadi ialah karena rasa sama yang ada pada diri masing-masing telah tergerus dari kesadaran orang itu.

Rasa Membutuhkan Pimpinan

Geliat pesta demokrasi yang makin intens kita saksikan, kita dengar dan kita rasakan, secara langsung maupun tidak, sebenarnya bisa dijadikan media bagi kita, untuk mempelajari mereka, yang terbaik untuk mewakili pemikiran berkembang kita. Karena rasa kebutuhan kita terhadap pemimpin adalah nurani manusia. Manusia tidak dapat berdiri sendiri. Pemimpin dan rakyat saling membutuhkan.

Yang perlu kita waspadai adalah virus-virus psikologis yang biasa diidap calon pemimpin (termasuk caleg), yaitu serakah, gila hormat dan gila kuasa. Ketiga virus itu merupakan ‘penyakit keturunan’ bernama buta hati. Dan buta hati merupakan salah satu penyebab sakit jiwa.

Buta Hati Persepsi Psikologis

Sigmund Freud menjabarkan buta hati adalah ketika seseorang didominasi oleh sifat Id yaitu semacam drive/karakter (baca : nafsu alami yang dibawa sejak lahir) untuk melakukan apa saja yang menjadi kebutuhan nafsu duniawinya, fisik maupun non fisik, yang selalu bertentangan dengan sifat Super Ego-nya.

Pada manusia normal (baca : sehat jiwa), Id selalu bisa dinetralisir, diseimbangkan oleh Super Ego yang bekerjasama dengan sifat alami. Super Ego selalu mengajak manusia berbuat kebaikan.

Kedua karakter ini (Id dan Super Ego) saling bertolak belakang seperti sifat iblis dan sifat malaikat, karena itu Allah juga melengkapi manusia dengan akal fikiran yang disebut Ego, yang tugas pokoknya adalah menjaga keseimbangan, keselarasan antara potensi berbuat buruk (Id) dan baik (Super Ego)

Seseorang yang selalu rajin meningkatkan kemampuan dan kwalitas Egonya dengan cara selalu belajar untuk memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara serasi, seimbang dan selaras (harmonis) akan terjaga dari pengaruh Id.

Pada orang yang menderita penyakit buta hati, Egonya tidak memiliki tiga kecerdasan tersebut secara harmonis, biasanya hanya memiliki kecerdasan intelektual saja, tanpa kecerdasan emosional dan spiritual.

Akibatnya, orang ini memang sangat pintar, bahkan bisa dikatakan genius, namun kepintarannya digunakan untuk kepentingan pribadinya. Ini yang pada akhirnya orang ini ‘terpaksa’ terseret kasus korupsi dan kezhaliman publik. Bukankah kini sel dipenuhi orang bertitel? Merekalah contoh realnya. Dalam literasi jawa disebut pinther keblinger.

Dikesempatan lain, saya bermaksud akan jelaskan penyakit buta hati yang diderita pada rakyat jelata, yang berakibat psikosomatis dan kecenderungan kriminil.

Dukun dalam Dunia Politik

Dalam sebuah kesempatan beberapa tahun lalu, saya pernah menemani tetangga untuk mendatangi seorang (yang dianggap) ‘pintar’. Tetangga saya adalah orang yang merekomendasikan dukun itu bagi temannya yang berniat mengajukan diri sebagai lurah di sebuah desa di Yogyakarta.

Selama lebih dari 6 jam perjalanan Yogyakarta – Pemalang, saya tidak mengerti maksud tetangga saya mengajak serta, mungkin sebagai pemberi saran kepada calon lurah atau pengamat.

Sepanjang perjalanan, saya mendengar profil dukun tersebut melalu cerita-cerita penumpang lain. “Wah, hebat benar dukun itu, bisa bikin orang jadi kaya, banyak caleg dan calon lurah yang kesana, bayarnya juga setelah terpilih” imbuh Tono, seseorang yang baru saya kenal dalam mobil itu.

Fikiran yang ada saat itu : betapa kaya si dukun ini, rumahnya pasti mewah, penampilannya pasti menarik, punya asisten, mobil dan harta tak bergerak.

Setibanya di Pemalang, bertemu dengan keluarga si dukun di rumah yang sederhana. Sayangnya saya tidak diperkenankan masuk. Kurang lebih 1jam kami bergegas ke lain tempat, dipandu keluarga si dukun. “Mbahnya lagi dirumah istri muda” kata Purna, tetangga saya.

OMG, rumah istri tuanya saja sesederhana itu, sudah berani punya istri muda. Batin saya protes. Oiya, namanya juga dukun, pasti memikat lawan jenis dengan pelet dan ilmu hitam.

Ritual yang diberikan dukun ke calon lurah itu berlangsung tertutup, hanya 1orang yang boleh menemaninya. Lama sekali, kurang lebih 5jam dieksekusi di rumah dukun yang juga sederhana (diluar bayangan saya tadi).

Akhirnya, setelah pemilihan lurah, dia berhasil. Berhasil menjadi pasien saya karena tiba-tiba mengamuk saat pengumuman pilkades berlangsung yang menyatakan dia kalah suara.

Jika dalam sekup Desa saja dukun sebegitu penting berperan, maka bagaimana jika ditingkatan caleg Kabupaten dan Propinsi? Di sekitar tempat saya (Gunungkidul Yogyakarta) masih banyak dukun yang melayani berbagai hajat, termasuk untuk kepentingan politik, silahkan disambangi.

Cicil Tiket Menuju RSJ

200.000 caleg dan puluhan orang calon RI 1 yang kita saksikan aksinya akhir-akhir ini, seringkali menjanjikan banyak hal bagi kita, mulai dari janji kesejahteraan, pendidikan dan konstanta harga bahan pokok harian.

Sebagai rakyat biasa, yang tidak tahu-menahu ‘urusan dapur’ mereka, tentu menyikapi dengan beragam macam. Ada yang optimis dan tetap optimis, ada yang optimis kemudian pesimis, dan banyak juga yang oportunis, bahkan membelot setelah kecewa.

Momentum ini dijadikan sebagai upaya “menguras” caleg untuk memenuhi kebutuhan simpatisan pendukung maupun konstituennya. Toh bukan rahasia umum kalau harga kursi yang akan diduduki calon pimpinan bukan hanya dibayar dengan coblosan pemilih, tapi juga benar-benar dengan uang.

Yang mencengangkan adalah fenomena caleg yang menyambangi dukun dan tempat keramat. Di zaman gadget, dukun masih dipercaya sebagai alternatif bagi caleg baru maupun lama. Seperti yang telah saya ilustrasikan diatas.

Dengan pesaing yang tidak sedikit, mereka tidak memiliki banyak kepercayaan diri untuk mengkampanyekan diri dengan ‘tangan kosong’. Ketidakpercayaan diri yang mereka miliki merupakan celengan untuk mendapatkan tiket Rumah Sakit Jiwa. Lihatlah, beberapa RSJ telah menyiapkan tempat bagi mereka.

Pemimpin yang Punya Rasa

Tiba-tiba saya ingat twit @EepSFatah tadi pagi : “PEMENANG adalah sang pengubah yang terpanggil untuk memperbaiki keadaan. PECUNDANG adalah mereka yang meratapi keadaan sambil diam”

Banyak rakyat pesimis dengan cara memutuskan golput tahun ini. Pemerintah dan elemen pendukung terus mengkampanyekan agar rakyat memilih. Alasannya sama, karena pemimpin yang lama maupun baru sama-sama tidak akan membawa perubahan, tidak membuat rakyat sejahtera dan mementingkan kelompoknya daripada khalayak warga negara.

Sebetulnya alasan itu tidak serta merta datangnya, karena diprovokasi oleh sekelompok orang yang ‘terlihat’ pintar yang memaparkan pandangannya tentang golput secara elegan. Merekapun tidak mengindahkan perbedaan pendapat dari pihak lain, padahal walaupun ada kesempatan bagi mereka untuk menjadi pemimpin, belum tentu bisa dijadikan teladan bagi rakyatnya.

Masih ada kesempatan untuk mempelajari calon pemimpin kita.

*Bulaksumur, 29 Maret 2014

Ditulis sambil menunggu Dosen

*Imej by Google

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun