[caption id="attachment_310172" align="aligncenter" width="500" caption="Awan menyertai langit dengan ketulusan. (Ilustrasi : Google Image)"][/caption]
Ketika aku berkata
Bahwa pagi adalah kunci
,
Maka sejatinya kau tau
Dimana kunci ada
Kapan kunci itu kau dapati
,
Kau adalah peri
Pula kau penyimpan perih
Saat tak pernah gentar dari arena dakian
Dan menikmati tiap butir hujan
,
Karna yakinmu padaNya
Sehingga kau selalu tetap dilindungiNya
.
Menulis puisi diatas, kulakukan tiap pagi. Aku selalu ingat perkataanku tentang pagi. Pagi yang baik, untuk hari yang baik.
Perkataan ini kudapat dari seorang bijak : Bahagia di pagi hari akan membawamu bahagia sepanjang hari. Dan aku meneruskan kutipan itu, dengan tujuan : agar kamu bahagia. Meskipun tak kulihat sirat senyummu secara langsung. Hanya melalui WhatsApp.
Hingga di pagi terakhir kita, 19 April, kau masih selalu menyertakanNya dalam balasan pesan pagiku. “Mengapa melakukan hal sederhana untuk yang Maha Sempurna”, sebagai manusia kita harus menyempurnakan kebaikan dengan cara yang luar biasa dan optimal.
“Tiada keabadian dari sebuah kebohongan” Inilah sebentuk pesan cinta terakhirmu, di pagi terakhir, yang membuat nafasku tercekat seketika. Tak mampu menyentuh keypad yang sebenarnya lunak. Dan aku sadar, aku kalah dengan hawa nafsu yang mengawal kisah cinta kita.
Kau adalah peri
Yang sembunyi dibalik arakan awan
Dengan penjagaan yang sempurna
Karena kau yakin
Bahwa Penjagamu Maha Baik
…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H