Kaget.
Tiba-tiba dia sudah berdiri di sampingku. Entah dari mana laki-laki berpayung itu datang. Aku tidak sempat melihat dari arah mana dia. Langit memang gelap. Awan hitam sedang memamerkan keperkasaannya. Menghardik orang-orang di bawahnya untuk cepat-cepat berlari mencari tempat berteduh atau memakai payung.
...
Sejak kecil aku tidak suka jika Ibu menyuruhku membawa atau memakai payung. Aku lebih suka menerabas hujan rintik-rintik daripada memakai payung. Atau jika hujan terlanjur besar aku mencari tempat berteduh.
Jangan tanyakan alasannya kenapa. Aku sendiri tidak punya jawaban dan tidak tahu apa jawaban benarnya.
Tidak ada suatu peristiwa yang membuatku trauma dengan keberadaan payung.
Okelah kalau harus tetap memberi jawaban, "Nggak macho!" Jawaban yang sedikit masuk akal, aku tidak suka praktik-praktik primodialisme. Membeda-bedakan kasta seseorang. Kalian tahu kan kelakuan para amtenar pada jaman penjajahan dahulu?
Pakaian serba putih, pakai topi pegawai pemerintahan tetapi masih minta dipayungi oleh bawahannya. Apakah karena sebagai kaum priyayi terus boleh seenaknya main perintah? Melindungi dirinya?
       ***
Tidak ada hujan dan tidak panas pula. Setiap pagi sebelum aku berangkat sekolah. Ibu akan berpesan, "Payunge ojo lali, Le."
Aku dengan segala cara akan berkelit untuk tidak membawa payung yang sudah disediakan oleh Ibu.
Aku lebih suka jalan tanpa berpayung. Payung hanya akan menghalangi pemandangan indah ketika sinar matahari melewati celah-celah daun. Lagi pula bukankah sinar matahari pagi baik untuk kesehatan tulang anak-anak yang sedang bertumbuh? Bukankah segarnya udara pagi bagus untuk paru-paru?
Tetapi memang begitulah seorang Ibu. Dia akan memastikan anaknya terlindungi dari segala marabahaya. Dan memastikan anaknya dapat tumbuh dan kembang dengan sehat.
Sejujurnya aku diam-diam suka menyesal telah membantah perintah Ibu. Mengabaikan kasih sayangnya.
Kalau sudah begini aku pengin cepat-cepat nyekar ke makam Ibu. Pemakaman yang asri karena banyak dinaungi oleh pohon-pohon Kamboja yang besar dengan bunga warna-warni. Ada bunga' Kamboja warna putih, merah, kuning dan warna persilangan yang indah dan wangi.
Melamunkan almarhumah Ibu aku jadi mengabaikan laki-laki berpayung di sebelahku. Dari tadi dia tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
Payung hitam besarnya menutupi setengah badan bagian atasnya. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Dia memakai celana putih dipadu dengan kain batik yang diwiru bagian depannya. Sepatu selop menutupi kakinya yang putih bersih. Seorang amtenar?
Pikiranku kembali melayang. Dari kecil aku akrab dengan lelaki berpakaian seperti itu. Ke mana saja berpayung. Bukan memegang gagang payung dengan tangannya sendiri. Akan tetapi dipayungi oleh seorang abdi yang selalu setia setiap saat. Tanpa diperintah.
Kebiasaannya setelah pulang dari kantor kabupaten adalah duduk leyeh-leyeh di kursi goyang sambil mengisap rokok klobot. Rokok yang dibungkus tidak dengan kertas tetapi kulit jagung kering. Aroma rokoknya yang khas adalah bau kembang cengkeh berpadu dengan kemenyan. Orang-orang yang tidak terbiasa dengan bau rokoknya akan merasakan pusing kepalanya. Jika sudah begitu aku memilih kabur dari rumah. Bermain bersama teman-teman.
Tetiba aku merasakan keanehan. Kenapa gedung-gedung berputar? Mengapa pohon-pohon menari?
"Romo?"
Jkt, 130324
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H