Sekalipun lebaran kali ini masih dengan suguhan ketupat tanpa rendang daging. Tapi tidak mengurangi makna hari kemenangan itu sendiri.
Hakekat puasa adalah menahan diri. Menahan diri dari makan-minum dan dari hawa nafsu. Sejujurnya selama ini kita masih berkutat pada urusan perut semata. Puasa lahiriah belaka. Masih jauh dari puasa batiniah.
Guru ngaji saya dulu bilang puasa itu menumbuhkan empati. Mencoba ikut merasakan rasa lapar dan haus yang saban hari dialami para dhuafa. Berhasilkah?
Indikasinya sederhana saja. Jika kita masih merasa perlu tersedia berbagai macam makanan dan minuman tatkala berbuka puasa. Artinya kita masih belum bjsa menahan diri. Belum bisa merasakan kaum papa yang setiap hari kelaparan.
Manakala kita masih silau dengan pujian. Ketika kita masih butuh sanjungan. Itulah pertanda kita belum bisa menahan diri.Â
Jika kita sudah bisa mengesampingkan itu semua. Saat itulah kita menjadi orang yang bertaqwa. Seperti harapan Allah. Buah orang yang berpuasa adalah menjadi insan taqwa.
Tidak apa-apa kalau sekarang belum sempurna. Bukankah bulan Ramadhan adalah madrasah. Bulan tarbiyah. Waktunya untuk belajar?
Yang harus selalu diingat puasa Ramadhan bukanlah akhir perjalanan. Tapi langkah awal sebelas bulan ke depan. Hasil belajar sebulan ini harus tercermin pada perilaku kita di bulan-bulan mendatang.
Makin mudah berempati kepada kaum dhuafa. Makin gemar bersedekah. Makin suka mengaji dan mengkaji Al Qur'an. Semakin istiqomah.
Begitulah harapan kita seperti yang Allah harapakan dari kita. Menggembleng diri di bulan Ramadhan. Sebagai bekal perjalanan 11 bkan ke depan. Menuju akhir perjalanan hidup manuisa. Kehidupan akhirat. Bukan dunia.
Taqobbalallohu minna wa minkum.
Mohon maaf lahir dan bathin.
Jkt, 130521
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H