Leyeh-leyeh. Bersantai sambil nyeruput teh nasgithel. Gegara tidak boleh kemana-mana. Saya menikmati pagi yang mendung.
Tanpa sengaja saya menyadari sebuah fenomena sosial. Baru ngeh. Padahal kehadirannya sudah puluhan tahun.
Ceritanya kami mempunyai langganan tukang air gerobak. Kualitas air yang tidak baik. Kami membeli air dari tukang air gerobak keliling untuk keperluan masak-memasak.
Untuk praktisnya kami membeli secara berlangganan. Bayarnya setiap akhir bulan. Ada dua tukang air gerobak yang melayani secara shift. Saling bergantian tiap satu bulan.
Saking lamanya berlangganan kami sudah saling mengenal. Tanpa kami harus memintanya dia akan mengisi gentong air di dapur kami.
Kami berlangganan sejak sepikul air minum harganya 2.000,00 rupiah. Meningkat menjadi Rp.4.000, 00 sepikul. Sampai saat ini Rp.7.000, 00 per pikulnya.
Diary,
Sebenarnya di antara kami sudah terjalin saling percaya. Setiap akhir bulan dia datang menagih kami akan membayarnya. Tanpa banyak tanya.
Tapi untuk menjaga saling percaya tersebut ada hal unik yang dilakukan oleh tukang air. Saya baru menyadarinya.
Setiap habis isi gentong air dia mencatat berapa pikul yang diisikan. Tidak dicatat di buku kecil seperti tujang kredit keliling. Tidak pula ditulis di gawai. Tapi di balik pintu dapur.
Ya di daun pintu dapur. Dia sudah menyiapkan kapur tulis. Begitu isi air dia akan mencatatnya. Dalam sebuah catatan tabulasi. Ingat kan kalau KPPS menghitung hasil pemilu?
Sebuah metode pencatatan generasi kolonial. Tidak usah njlimet tapi akurat. Setiap batang tabulasi mewakili sepikul air. Kalau mengisinya hanya satu jerigen dia akan menandai dengan angka setengah.
Akhir bulan tinggal kalkulasi. Kalikan harga per pikul air. Bayar. Beres!
Jkt, 040421
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H