Saya kagum dengan anak-anak jaman now yang berani menentukan cita-cita yang sesuai kata hatinya. Sebaliknya heran dengan anak yang bingung pilih sekolah.
Mereka dengan keyakinan penuh berani memilih di mana harus sekolah atau kuliah. Apakah SMA atau SMK? Jurusan Ekonomi, Hukum atau Sastra, misalnya.Â
Makanya saya sedih kalau mengetahui ada orang tua yang memaksakan kehendaknya salam menentukan tempat belajar atau kuliah anaknya. Apalagi sampai memilihkan jurusan yang harus ditempuh oleh buah hatinya.
Sebagai guru saya sering menemui permasalahan anak yang ngambek sekolah gegara beda piiihan dengan orang tua. Sekali pun tidak banyak ada saja anak yang maunya sekolah di SMK tapi dipaksa oleh ayah atau ibunya masuk SMA. Bahkan pernah terjadi ayah dan ibu beda pendapat dalam mengambil jurusan (IPA atau IPS). Akibatnya anak mengalami kebingungan. Ujung-ujungnya bisa ditebak, ada jadi malas belajar.
Pengalaman Mendampingi Anak Memilih Sekolah
Dua tahun yang lalu anak kedua saya waktunya masuk jenjang menengah atas. PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) dilaksanakan secara online.Â
Sebelum waktu pendaftaran dibuka anak saya sudah mengatakan ingin masuk SMK. Ibunya sempat membujuk untuk masuk SMA saja. Dia tetap bersikukuh. Saya hanya mengamini maunya anak saja.
Tiba masa pendaftaran. Setelah bersusah payah mengakses web PPDB online akhirnya mendapatkan token dari sekolah tujuan.
Untuk masuk SMK dipersyaratkan calon siswa didampingi orang tua datang ke sekolah. Tibalah saat untuk memilih jurusan. Anak saya pun sudah mantab memilih salah satu jurusan yang ada di sekolah tersebut.
Lolos?
Persyaratan administratif dan akademik masuk. Tapi ada satu syarat yang tidak bisa terpenuhi oleh anak saya. Tinggi badan!
Rupanya di SMK ada satu syarat tambahan. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan dunia kerja yang akan menyerap lulusan SMK.
Setelah dilakukan pengukuran anak saya kurang 2 cm tinggi badannya. Ya, kurang 2 cemtimeter. Hal itu berarti gagal masuk sekolah impian.
Kecewa?
Jelas. Saya melihat kekecewaan di wajah anak saya. Untungkah tidak berlarut-larut. Cepat move on dia.Â
Ibunya kembali menawarkan apakah mau masuk SMA pada pendaftaran gelomvabg dua. Anak saya tidak bergeming.
Akhirnya dia memilih masuk sekolah swasta yang ada jurusan sesuai dengan cita-citanya. Jurusan broadcasting.Â
Dia pun menunjukkan tanggung jawabnya dengan pilihannya. Beberapa kali mengikuti lomba film bersama-sama teman sekelompoknya menjadi juara. Lebih membanggakannya lagi secara pribadi bagi saya, penulis skenarionya adalah anak saya.
Poin yang ingin saya sampaikan adalah keberanian anak dalam menentukan pilihan dan tanggungjawabnya terhadap pilihannya itu.
Saluut!
Jkt, 110121
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H