Mohon tunggu...
Mas Sam
Mas Sam Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca tulisan, menulis bacaan !

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjaga Toleransi dengan Tepo Sliro

25 Desember 2020   20:02 Diperbarui: 25 Desember 2020   20:06 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sedari kecil orang tua saya mengajarkan untuk tidak memilih-milih teman. Tidak membeda-bedakan teman karena faktor status sosial atau agama. Itu pula yang saya ajarkan kepada anak-anak.

Dalam berteman atau hidup bermasyarakat kami diajarkan untuk selalu tepo sliro. Bertenggang rasa terhadap orang lain, terutama yang berbeda agama. Prinsipnya tidak saling mempengaruhi akidah atau keyakinan masing-masing. Jadi sudah biasa bagi kami ngumpul-ngumpul, ngobrol atau saling kunjung dengan orang yang berbeda keyakinan.

Ketika kuliah pas jam kosong banyak teman yang ngetem di kos-kosan saya menunggu jadwal kuliah selanjutnya. Ada di antara teman-teman tersebut yang berbeda agama. Bahkan sampai sekarang saya masih terkenang-kenang. Ketika datang waktu dhuhur atau ashar teman yang non muslim sering mengingatkan saya untuk sholat dulu. Belajar atau ngobrolnya dilanjutkan nanti.

Awal-awal merantau di Jakarta saya sempat lebih satu tahunan ngontrak rumah bertiga dengan seorang teman dari Bali yang beragama Hindu. Tidak pernah ada perselisihan yang menyangkut keyakinan kami. Begitulah makna tepo sliro yang diajarkan orang tua. 

Saling Berkunjung Saat Hari Raya

Setelah berkeluarga kami mengontrak rumah sendiri. Hidup mandiri berdua. Berkebetulan kami bertetangga dengan beberapa orang yang beragama Kristiani. Alhamdulillah kehidupan sosial kami berjalan damai. Tidak ada sekat sama sekali sekali pun kami berbeda agama. Bahkan uniknya setiap hari raya kami bergantian saling kunjung. Pas hari raya Idul Fitri mereka berkunjung ke kontrakan saya. Ketika hari natal gantian kami yang berkunjung ke rumah mereka. 

Agendanya pun sama dengan orang lain. Bersilaturahmi dan makan-makan. Berbincang=bincang lepas. Tidak sedikit pun bicara akidah.

Sepuluh tahun kami bertetangga. Berpisah ketika kami masing-masing dapat membeli rumah. Beberapa keluarga masih belum berkesempatan bisa membeli rumah dan tetap tinggal di sana. Hebatnya kebiasaan kami saling berkunjung tetap terpelihara. Hanya saja kami sepakat bersilaturahmi pada hari kedua. 

Kesepakatan ini kami buat untuk memberi kesempatan masing-masing menjalankan ibadah tanpa terganggu adanya tamu. Ketika hari raya Idul Fitri maka mereka akan datang ke rumah saya tanggal 2 Syawal. Sedangkan kami akan datang ke keluarga mereka pada tanggal 26 Desember. Jadi setiap tanggal 26 Desember seharian saya muter-muter mendatangi mereka satu-satu. 

Begitulah saya memaknai ajaran orang tua tentang tepo sliro. Bertenggang rasa dengan orang lain sekalipun berbeda agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun