Jangan Memubadzir Makanan. Ambil Secukupnya!
Papan pengumuman itu saya temukan bukan di negeri kita. Tapi di negara maju yang terkenal sebagai negara yang sangat disiplin.
Sewaktu masih mengajar di sekolah swasta saya berkesempatan untuk jalan-jalan ke negara tetangga Singapura. Negara yang mengatur perilaku warga negaranya berdasarkan hukum.
Pada saat rombongan tour makan siang saya mendapati peringatan tersebut di atas meja prasmanan. Sejujurnya saya tersentuh. Di negara yang terkenal super modern itu sangat menghargai sesuap makanan.
Barangkali kita terbiasa melihat orang-orang yang dengan seenaknya menyia-nyiakan makanan. Tengok saja kalau pas acara makan-makan keluarga besar, arisan atau pesta perkawinan misalnya. Sisa makanan berserakan di mana-mana.
Ketika mengambil makanan seakan-akan semua mau dilahap. Makanan apa saja dipindahkan ke piring. Begitu mulai menyuapkan makanan, nafsu rakusnya timbul lagi. Makanan di piring belum habis sudah meraih makanan yang lain.Â
Melihat pemandangan seperti itu saya sering teringat legenda Dewi Sri yang dituturkan oleh para sesepuh. Konon Dewi Sri adalah seorang dewi yang bertanggungjawab tersediabya makanan di bumi. Dia akan dengan suka cita menemani para petani mengolah sawahnya. Dia akan menebarkan kasih sayangnya dengan menumbuhkan bulir-bulir padi.
Itulah kenapa orang-orang tua selalu mengingatkan anak-anaknya jangan menyia-nyiakan makanan. Kalau sampai menyisakan nasi di piring apalagi membuangnya maka Dewi Sri akan menangis sedih. Jika Dewi Sri sedih berkepanjangan tahun depan akan gagal panen.
Nasi Aking Kearifan Lokal
Ketika masih kecil saya sering mendapati nenek menjemur sisa nasi. Setelah kering nasi tersebut disimpan. Pada saat terjadi paceklik atau kesulitan bahan pangan nasi kering tersebut diolah kembali menjadi nasi aking.
Caranya nasi kering tersebut dicuci. Setelah bersih kemudian dimasak dengan cara dikukus. Sesudah tanak barulah dihidangkan, biasanya dengan urap.
Begitulah perlakuan orang-orang terdahulu untuk tidak menyia-nyiakan makanan. Sebuah kearifan lokal yang patut dicontoh.
Satu lagi kebiasaan orang tua yang suka saya lakukan. Mengolah sisa singkong rebus menjadi krecek, semacam keripik.
Ceritanya beberapa waktu yang lalu saya membeli singkong dari pedagang keliling. Merasa kasihan dengan sang pedagang yang sudah tua saya membeli 3 kg. Saya sebetulnya sudah yakin tidak bakal habis dimakan sendirian.Â
Betul saja, karena anggota keluarga yang doyan makan singkong hanya saya sendiri. Tak kurang akal saya pun mengolah sisa singkong rebus tersebut.
Mula-mula singkong diiris tipis-tipis. Setelah itu disiram dengan bumbu yang terdiri dari ulekan bawang putih, merica, ketumbar dan garam. Setelah itu dijemur sampai kering.Â
Kalau mau menikmati krecek singkong tinggal goreng dengan minyak panas. Menggorengnya jangan lama-lama karena pada dasarnya singkong sudah matang sebelumnya. Rasanya kriuk-kriuk buat nemenin ngopi atau ngeteh.
Silakan coba.
Jkt, 111220
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H