Lirih tapi suaranya jelas kudengar. Seorang wanita menangis di gudang tua. Siapa?
Setahuku tidak ada orang lain di rumah ini selain kakek dan nenek. Pak dhe, anak sulung kakek-nenek sudah lama tinggal di rumahnya sendiri di kampung sebelah.
Bulik, anak bungsu kakek-nenek juga sudah diboyong oleh suaminya. Mereka sekarang tinggal di kota. Bapakku, anak kedua dari tiga bersaudara kakek-nenek juga tinggal di metropolitam.
Setiap libur sekolah aku selalu tinggal bersama mereka. Kadang-kadang seminggu bahkan pernah sampai dua minggu. Hari terakhir libur aku baru pulang ke rumah.
Aku memang senang sekali tinggal di kampung. Suasananya sangat damai. Berbeda dengan keadaan di kota yang bising. Bukan saja oleh bising suara kendaraan dan mesin-mesin pabrik. Tapi juga suara gaduh orang-orang. Saling berebut, saling bersaingan.
Pagi-pagi di kampung aku bisa mendengarkan suara kokok ayam atau cericit burung. Lenguhan sapi merdu seperti irama penyanyi sopran. Malam hari orkestrasi jangkrik, belalang dan burung celepuk begitu syahdu.
Udaranya sangat sejuk. Daun-daun hijau membuat mata bersinar. Pucuk-pucuk daun menebarkan aroma wangi. Apalagi bulir-bulir embun, bening membuat hati terasa tenteram.
Penduduknya ramah-ramah. Senyumnya begitu tulus. Sifat kekeluargaan dan kegotongroyongannya masih tinggi. Semua pekerjaan jadi terasa ringan.
Beda dengan kehidupan kota yang hiruk pikuk. Orang-orangnya mementingkan diri sendiri. Kekerabatan selalu dinilai dengan sejumlah nominal.Â
Saban hari rasa-rasanya otakku akan pecah.