Perang tanding antara Arjuno dan Karno pada dunia pewayangan layak menjadi renungan dalam memperingati hari pahlawan. Siapakah pahlawan itu?
Dalam salah satu episode perang besar Bharatayudha antara pasukan Kurawa dan Pandawa tersebutlah perang hidup mati antara saudara kandung, Arjuno dan Karna.
Arjuno merepresentasikan kebaikan di pihak kerajaan Amarta pimpinan Prabu Yudhistira dan Karno mewakili sifat buruk di kubu Astina di bawah pemerintahan Duryudono.
Sesungguhnya kedua panglima perang ini masih ada pertalian darah. Mereka saudara satu ibu Kunthi Nalibroto dengan dua bapak, Pandu Dewanoto dan Batara Surya.
Arjuno adalah anak sah dari ibu Kunthi dan Pandu. Sedangkan Karno adalah anak sulung ilegal dari Kunthi dan Dewa Surya. Gegara ajian pameling apa yang diimpikan Kunthi menjadi kenyataan hamil oleh mimpi basah Dewa Matahari.
Untuk menutupi aib tersebut bayi Karno dihanyutkan di sungai dan diketemukan oleh seorang kusir kerajaan Adiroto. Setelah dewasa dia mesuk menjadi prajurit kerajaan Astina. Sampai akhirnya Karno mencapai jabatan tertinggi militer sebagai panglima perang.
Menyadari akan terjadinya perang antar saudara kandung, kakak-adik, Kunthi sebagai seorang ibu secara naluriah tidak menginginkan salah satu anaknya tewas dalam peperangan.
Kunthi kemudian melobi anak sulungnya Karno agar mau mengalah kepada adiknya Arjuno. Sebagai ksatria tentu saja Karno menolak permintaan ibu kandungnya tersebut.
Karno beralasan dia mempunyai utang budi kepada Duryudono yang telah memberinya kedudukan dan masyarakat Astina yang telah menganggapnya sebagai saudara.
Tak pelak pertarungan sengit dengan senjata panah pun terjadi. Mereka berperang di atas kereta yang ditarik kuda yang dikendalikan seorang kusir. Prabu Salyo di pihak Karno dan Prabu Krisna di kubu Arjuno.