Canggung.
Begitulah yang kami rasakan setelah kami mengikat jalinan cinta. Bayangkan, kami biasanya berkomunikasi secara formal tiba-tiba perasaan hadir dalam setiap pembicaraan kami.
Anganku mengembara ke masa kecil kami. Dia memang selalu menjadi pelindungku kalo ada teman laki-laki atau teman perempuan yang menakaliku.
Kami juga sering berbagi bekal manakala jam istirahat. Dia akan memberikan sepotong buah-buahan untukku.
"Untuk kamu, biar kulitnya halus", begitu katanya setiap menyorongkan buah-buahan untukku.
Menginjak SMP dia selalu memboncengkan aku dengan sepedanya pas pulang sekolah. Biasanya pagi hari aku berangkat membonceng motor bapak sekalian berangkat kerja.Â
Setelah masuk SMA kami berangkat dan pulang sekolah barengan dengan berboncengan sepeda motor. Teman-teman mengira kami berpacaran karena selalu berbincengan kemanapun kami pergi.
Aku selalu meyakinkan teman-teman kalau kami hanya berteman dan tidak berpacaran. Karena rumah kami berdekatan jadi kami selalu berangkat dan pulang sekolah bersama.
Mengenang itu semua aku tersenyum sendiri dalam hati tidak menyangka apa yang dulu teman-teman olok-olok justru kini menjadi kenyataan.
Selama kuliah hampir tidak pernah bersama-sama lagi. Kami sibuk dengan jadwal kuliah dan mengerjakan tugas-tugas kami. Pas hari libur pun kami jarang bertemu asyik kangen-kangenan dengan keluarga sendiri.
Begitu joinan mendirikan usaha barulah kami bersama-sama lagi tetapi terbatas hubungan kerja. Dia sebagai direkturnya dan aku sebagai manager personalia merangkap sekretaris pribadi.