Mohon tunggu...
Mas Sam
Mas Sam Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca tulisan, menulis bacaan !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Purik

12 Agustus 2020   09:21 Diperbarui: 12 Agustus 2020   09:22 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku termangu di depan rumah kontrakan lamaku. 

Terbayang olehku puluhan tahun tinggal di dalamnya dengan sejuta kenangan. Kenangan manis sesungguhnya pernah aku reguk ketika anak-anakku masih kecil. Mereka anak-anak yang lucu yang selalu menemani hari-hariku yang monoton. Setelah mereka beranjak besar hilanglah suasana ceria yang menggembirakan hatiku.

Adapun kenangan pahit sudah aku ceritakan yang puncaknya adalah hancurnya rumah tangga kami. Aku sebagai perempuan kampung yang nrimo harus menerima kenyataan pahit. 

Aku sudah mengabdikan seluruh jiwa raga dan perasaanku kepada suami dan anak-anak tetapi aku harus menelan kekecewaan. Karena sudah tak kuat lagi menahan beban bathin aku menggugat cerai suamiku.

Sebuah kenyataan pahit yang belum pernah aku ceritakan kepada siapapun, termasuk kepada anak-anak dan orang tuaku, sebetulnya rumah kontrakan ini dulunya adalah rumah kami. 

Aku membelinya dari hasilku menabung dengan menyisihkan uang belanja harianku. Sayangnya pada saat membuat surat perjanjian jual beli diatas namakan suamiku. Aku mengiyakan saja karena aku begitu patuhnya kepadanya.

Apa yang aku khawatirkan pun terjadi. Ketika suamiku gila judi akhirnya rumah yang aku beli dengan susah payah digadaikan untuk taruhan di meja judi. Kegilaan terhadap judi semakin membuat suamiku ketergantungan kepada rentenir. 

Setiap membutuhkan modal untuk judi lari ke sang rentenir sampai hitung-hitungan akhir harga rumah sebagai agunan tidak cukup untuk membayar hutang suami. Rumah kami pun akhirnya disita paksa.

Kami tidak diusir dari rumah tetapi kami diberikan kesempatan untuk tetap menempati dengan status sewa menyewa. Jadilah kami menyewa bekas rumah kami sendiri. Betapa kenyataan ini membuatku semakin terpuruk.

**

Aku masih berdiri terpaku di depan rumah kontrakan.

Aku membayangkan akan seperti apa sikap anak-anakku, maukah mereka meneriamku kembali. Sudah aku ceritakan pula bahwasanya anak-anakku sebetulnya tidak menyetujui kalau aku menikah lagi. Mereka tidak mau ada yang menggantikan ayahnya di hatiku. Lebih baik bersama ibu saja daripada harus hidup bersama-sama dengan ayah baru, begitu alasan mereka.

Memang mereka tahu kalau pernikahanku yang kedua ini atas permintaan kakek nenek mereka. Orang tuaku telah meyakinkan anak-anakku dengan menikah lagi kehidupan ekonomi kami akan lebih baik. Mereka akhirnya mengijinkan aku menikah lagi tetapi dengan catatan tidak tinggal bersama mereka. Itulah mengapa setelah menikah lagi kami tidak kembali ke rumah kontrakan tetapi menempati rumah pemberian mertuaku.

Anak laki-lakiku sebenernya yang paling menentang aku menikah lagi. Aku tau maksud penolakkannya karena dia ingin melindungi diriku. Aku kadang terharu dengan sikapnya yang begitu protektif terhadap setiap laki-laki yang ingin mendekatiku. Sementara anak perempuanku sebenernya membolehkan aku menikah lagi.

"Yang penting dia sayang ibu", katanya.

"Aku tidak mau ibu disakiti lagi", imbuhnya.

Aku maju selangkah, berat rasanya langkah kakiku. Aku tak sanggup rasanya mendengar kata pertama anak-anakku melihat aku kembali ke rumah kontrakan kami. Setelah menikah aku belum pernah kembali ke rumah kontrakan ini bahkan aku juga belum pernah berkomunkasi dengan anak-anakku.

Pada hari pernikahan kami anak-anakku tidak mau datang. Mereka tidak mau pulang ke kampung dan tetap memilih tinggal berdua di kontrakan di kota. Aku melihatnya ini sebagai tanda penolakan mereka atas pernikahan kami.

Berat rasanya tangan ini mengetuk pintu dan mengucapkan salam.

"Ibu pulang anak-anakku".

Ingin aku ucapkan itu dan memeluk erat anak-anakku melepaskan segala kerinduanku kepada mereka. Aku kepingin mengabarkan kepada mereka kalau ibu purik, meninggalkan rumah tanpa pamit kepada suamiku.

Maukah anak-anakku menerimaku kembali ??

Jkt, 120820

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun