Seminggu setelah pernikahan kami, aku dan suami keduaku, kembali ke kota.
Berkat kemurahan hati mertuaku kami dihadiahi sebuah rumah mungil. Biar tidak pusing mikirin uang kontrakan sekalian buat bulan madu, begitu kata ibu mertuaku.Â
Aku hanya bisa mengangguk saja sebagai tanda terima kasih. Sesampai di kota besok aku langsung ke rumah baru kami, tidak ke kontrakanku yang ditempati kedua anak-anakku.
"Ini buat pegangan," kata ibu mertuaku sambil menyerahkan sesuatu.
"Terima kasih bu," kataku.
"Apa ini bu?" tanyaku.
Tadinya aku kira ibu mertuaku kasih amplop buat pegangan selama suamiku belum bekerja di kota. Tapi ternyata bungkusan hitam seperti kalung yang dipake anak-anak kecil kalau baru disapih ibunya.
"Ini jimat dari orang pintar, buat pegangan nak Dita. Ibu tahu nak Dita banyak laki-laki yang selalu mencoba menggoda dan merayu kan. Jangan sampai terlepas, kalau mau dikalungkan di leher tapi kalau malu ya buat sabuk. Diikat di perut nak Dita saja. Ini yang akan menjaga nak Dita setiap saat dari kejaran para lelaki itu. Oh ya ini air nanti setelah masuk rumah nak Dita siamkan ke seluruh penjuru rumah ya," terang ibu mertuaku panjang lebar sambil menyerahkan botol berisi air kembang.
Karena buru-buru aku masukkan saja ke dompet tanpa memperhatikan lagi benda tersebut.
                              **
Rumah baru kami kecil saja tetapi nyaman karena letaknya sudah masuk pinggiran kota. Semua perabotan sudah lengkap, kami tinggal menempati saja.Â