Pada saat Jokowi marah-marah, diam-diam banyak tokoh dan politisi yang berharap presiden mereshuflle kabinetnya. Beragam komentar dilontarkan yang bernada mendorong Jokowi mengambil langkah mengganti beberapa pembantunya yang dinilai kurang optimal kinerjanya.Â
Kasak-kusuk bahkan beberapa diantaranya sudah membeli kemeja putih sebagai persiapan untuk acara pelantikan. Kepada keluarga sudah dipesan agar telepon atau handphone jangan dipakai untuk urusan yang lain. Prioritas penggunaannya untuk menerima telepon dari istana. Ada yang sebentar-sebentar cek layar HP, ada yang pantengin terus layar hpnya bahkan ada yang jadi halu setiap dering telpon bunyi.
Sebulan telah berlalu akhirnya banyak yang kecele, reshuffle kabinet tak kunjung direalisasikan. Waktu itu presiden menyampaikan akan melakukan reshuffle, membubarkan badan/lembaga atau mengeluarkan perpu jika diperlukan. Yang dilakukan pertama kali oleh Jokowi adalah membubarkan lembaga/badan yang dinilai tidak relevan lagi.Â
Tidak tanggung-tanggung ada 18 lembaga/badan yang akan dibubarkan oleh presiden. Kebanyakan dari lembaga/badan ini kita tidak tahu kiprahnya di masyarakat. Bisa jadi Jokowi beranggapan lembaga/badan ini hasilnya kinerjanya kurang optimal. Lembaga-lembaga tersebut dibentuk berdasarkan Perpres dan Kepres dengan rentang waktu terbit tahun 2004 - 2015 (baca Kompas.com 15/07/2020)
Reshuffle yang dinanti, Perpres yang datang.
Tak pelak banyak yang kecewa dengan ditundanya reshuffle kabinet. Istana beralasan beberapa kementerian yang banyak disorot selama ini telah menunjukkan peningkatan kinerja. Dan tiba-tiba keluarlah Peraturan Presiden no.82 ahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Dalam pelaksanaan Perpres ini melibatkan beberapa gugus tugas maka disebut dengan istilah Satuan Tugas.
Dengan Perpres 82/2020 ini penanganan covid-19 akan beriringan dengan pemulihan ekonomi. Presiden mengistilahkan dengan gas dan rem seperti layaknya menjalankan mobil. Sang sopir harus jeli melihat situasi jalanan, kapan harus tancap gas dan bilamana harus injak rem. Kata kuncinya adalah pada koordinasi yang akan dikendalikan oleh Ketua Pelaksananya Erick Tohir.
Kita semua sudah mafhum manakala kebijakan penanganan covid-19 lebih dikedepankan maka akan menurunkan laju perekonomian. Â Sebaliknya apabila pemerintah melonggarkan kuncian wilayah untuk mendorong kegiatan ekonomi, kemungkinan pandemi covid-19 akan melonjak lagi. Di sinilah peran satuan tugas untuk mengambil keputusan tarik gas atau injak rem.
Masa PSBB Transisi banyak memberi pelajaran kepada kita betapa masih banyak masyarakat yang abai dengan protolol kesehatan sementara dengan pelonggaran wilayah memunculkan klaster-klaster penularan covid-19 yang baru. Masyarakat masih harus diedukasi secara lebih masif pentingnya secara disiplin menjalankan protokol kesehatan dalam setiap aktivitas.
Jumlah positif covid-19 di Indonesia yang telah mencapai lebih 91 ribu orang dan penambahan pasien positif dengan rata-rata di atas 1.500 orang harus dipandang sebagai hal yang serius. Belajar dari kasus covid-19 di negara-negara yang sedikit permisif sehingga kasus positif covid-19 melonjak tajam setelah penerapan new normal, kita pun harus lebih waspada pada saat pelonggaran untuk mendorong geliat ekonomi masyarakat.
Sekedar informasi saat ini di seluruh dunia sudah lebih 15 juta orang terpapar covid-19 dan jumlah kematian mencapai 620 ribu lebih. Betapa mengerikannya covid-19 dalam satu hari menyebabkan 30 ribu orang meninggal dalam suatu negara (Brasil, Amerika Serikat dan India).
Akhirnya, kita hanya bisa mengucapkan selamat bertugas Satgas Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.
Hati-hati main gas dan remnya !
Jkt, 230720
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H