Subordinasi
Sebagian masyarakat berpandangan bahwa perempuan dianggap sebagai makhluk lemah, sedangkan laki-laki kuat; perempuan emosional, laki-laki rasional; perempuan halus sedangkan laki-laki kasar; padahal ini bukan termasuk kodrat. Perbedaan gender ternyata menimbulkan subordinasi terhadap perempuan yang tercermin dalam novel Geni Jora yaitu dalam hal pendidikan dan peranan perempuan di publik tidak diperhitungkan atau tersubordinasi.
Perbedaan dan pembagian gender yang mengakibatkan perempuan termanifestasi dalam posisi subordinasi kaum perempuan dihadapan kaum laki-laki. Pada gilirannya, perempuan merupakan penentu baik buruknya masyarakat. Perempuan memiliki peran yang besar dalam mendidik generasi muda yang berakhlak terpuji dan bermartabat. Dalam hal pendidikan perempuan ditempatkan pada posisi kedua setelah laki-laki. Laki-laki menjadi prioritas utama dalam memperoleh pendidikan, karena kaum perempuan dianggap kaum yang lemah, emosional dan tidak dapat memimpin. Pada kenyataannya, perempuan merupakan makhluk yang cerdas dan berpengetahuan luas.
“Bahwa Prahara adalah bukanlah rangking kesatu, tetapi aku. Kejora. Akulah sang juara itu. Nenek mau bukti?”
“Mana? Mana buktinya?”
Lalu kubentangkan nilai raportku di hadapannya berikut raport Prahara dan surat peringatan dari Bu Guru. Dengan harap cemas dan mata berbinar, kutunggu apa komentar nenekku setelah membacanya. Pastilah ia akan memihak padaku, memuji dan membanggakan diriku. Sambil manggut-manggut seperti biasanya, nenekku tersenyum menatapku. Aku ikut tersenyum membalasnya (GJ:62).
“Ini kan nilai raport sekolahan, Cucu. Berapa pun nilai Prahara di sekolahan, sebagai laki-laki, ia tetap rangking pertama di dunia kenyataan. Sebaliknya kau. Berapa pun rangkingmu, kau adalah perempuan dan akan tetap sebagai perempuan.” (GJ:62).
Jora berada dalam posisi tersubordinasi akibat pemikiran nenek yang kolot. Nenek menganggap remeh anak perempuan, sehingga berakibat pada perbedaan perlakuan terhadap Jora. Nenek tidak menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi manusia, tidak memandang laki-laki atau perempuan, sehingga mereka harus diberi kesempatan yang sama untuk menuntut ilmu dan mencapai pendidikan. Namun hal itu tidak berlaku bagi nenek Jora, perempuan tetap perempuan mereka harus beada di bawah laki-laki (lihat hal. 60).
Poligami juga menyebabkan perempuan berada dalam posisi tersubordinasi. Dalam agama, kedudukan perempuan tidak disamakan dengan laki-laki. Agama tidak melarang laki-laki untuk mempunyai istri lebih dari satu dan perempuan tidak diizinkan untuk menolak perbuatan suaminya yang telah melakukan poligami tanpa seizin istrinya. Hal ini terjadi pada ibu Jora. Ibu Fatmah merupakan ibu tiri Jora, sedangkan ibu Jora adalah istri kedua dari ayahnya. Ibu Fatmah menyayangi Jora seperti anaknya sendiri, begitu juga dengan Jora. Posisi tersebut membuat perempuan tersubordinasi, karena ia hanya dijadikan korban atas deskriminasi laki-laki atas perempuan.
Kupikir ibuku tertekan menjadi istri kedua. Itu bisa kubaca dari ekspresi wajahnya yang senantiasa masam saat melihat ibu Fatmah pulang dari luar kota bersama ayah. Sekalipun banyak hadiah untuknya, tak dapat menghapus kesedihan yang memancar dari perasaan jiwanya yang tertekan.
“Ibu pasti cemburu pada Ibu Fatmah,”suatu kali aku bertanya (GJ:79).