Jora adalah perempuan yang digambarkan sempurna, tanpa ada cacat sedikit pun. Mulai dari ujung rambut, sorot mata, bahkan sampai ujung kakinya sempurna. Ia memiliki kecerdasan, kepandaian dan kecantikan. Ia tidak mau dibedakan dengan laki-laki. Kecantikan dan keelokan Jora membuat lelaki tertarik padanya. Tatapan mata Jora dapat membuat laki-laki tertarik padanya. Nama Jora memiliki arti yang luas seperti tokoh yang digambarkan dalam novel tersebut.
Kessoora?
Bukan. K-e-j-o-r-a. Pakai “j”. seperti kata jeans.
Ok: Apa arti K-e-j-o-r-a. nama yang ajaib?
Sama dengan Jauharah atau Zuhroh dalam bahasa Arab.
Bahasa Parsinya Ishtar dan bahasa Yunaninya Venus.
Bahasa Indonesianya Bintang Kejora.(GJ: 141-142).
…Dengan memberiku nama Kejora, sejak dini aku telah dipersiapkan menjadi seorang bintang. Ini sangat berlawanan dengan watakku sendiri yang menyukai malam. Aku bukan seorang yang mudah disutradarai, sebab malamku lebih panjang dari semua orang. Hutan pengembaraanku lebih luas dari seekor macan. Khayalanku sebanyak pikiranku. Otak kiri dan otak kanan saling berpacu (pantas ‘ seribu satu malam’ selalu disaku) (GJ:32).
Jora diambil dari beberapa bahasa yang kesemuanya mempunyai arti yang sama, baik bahasa Arab, bahasa Persi, bahasa Yunani maupun bahasa Indonesia. Hati Jora tidak mudah ditahlukkan laki-laki, karena ia mempunyai pendirian dan prinsip kuat. Jora tidak mau diperintah orang lain, ia percaya akan kemampuan yang dimilikinya. Jora digambarkan seperti bintang venus yang besar dan terang, selalu menerangi bumi serta menunjukkan kecantikan cahayanya. Hal itulah yang dimiliki Jora baik fisik, sifat, maupun kepandaian dan kecerdasannya. Kecerdasan, keelokan, dan kepandaian yang dimiliki Jora diibaratkan seperti harimau yang setiap saat dapat saja menerkam dan mencakar seseorang. Di samping itu Jora juga mempunyai sifat pemarah, semangat yang tinggi, serta emosi yang tidak stabil (dapat dilihat GJ:32, 85, 214).
Kajian Feminisme
Sebenarnya penelitian terhadap sebuah novel yang membahas tentang feminisme masih jarang sekali kita jumpai, namun penulis berusaha mencari teori-teori yang mengkaji tentang feminisme. Penulis sadar bahwa teori-teori yang digunakan sebagai pisau analisis masih kurang tajam, namun penulis yakin teori tersebut dapat membuka sedikit wawasan kita dalam mengkaji feminisme. Penelitian sastra feminis masih sering berkelamin “tunggal”, bisa terkurangi sedikit demi sedikit. Maksudnya, sering peneliti tertentu masih memandang perempuan dari wacana laki-laki. Peneliti terkadang masih bersikap “pilih kasih” terhadap karya-karya tertentu sehingga hasilnya mengecewakan semua pihak (Endraswara, 2003:145).