Mohon tunggu...
Catatan Artikel Utama

Indonesia, Surga Industri Rokok

10 April 2015   23:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:16 1071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara-negara berkembang kini menjadi “tanah harapan” bagi industri rokok, tegas Dr. Margareth Chan, Direktur Jenderal WHO (World Health Organization) atau Organisasi Kesehatan Dunia PBB. Hal itu ia tegaskan di acara pembukaan 16th World Conference on Tobacco or Health atau Konferensi Dunia “Tembakau Atau Sehat” ke-16 yang digelar di kota Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (17-21 Maret).

Pertanyaannya, apakah Indonesia termasuk “tanah harapan” bagi industri rokok? Jawabnya, tergantung kepentingan. Kebijakan pemerintah tentang merokok yang sangat longgar dan didukung rendahnya kemauan politik, membuat Indonesia bukan hanya sebagai “tanah harapan” tapi bahkan “sorga” bagi industri rokok.

Dibanding negara-negara lain di dunia, Indonesia jelas tertinggal dalam upaya pengendalian rokok. Apalagi Indonesia termasuk dalam kelompok negara minoritas yang belum menandatangani Konvensi International Pengendalian Tembakau (Framework Convention of Tobacco Control), sebuah traktat yang dibuat untuk mengatur tembakau dan melindungi kesehatan masyarakat.

Kepada penulis, Dr. Chan memastikan bahwa permasalahan rokok di Indonesia saat ini cukup berat, karena berbagai alasan. Ia menyoroti tentang lemahnya posisi pemerintah Indonesia dalam menghadapi agresivitas perusahaan-perusahaan rokok yang melakukan segala cara demi melindungi bisnisnya di Indonesia.

“Perusahaan-perusahaan rokok itu memengaruhi, bahkan ‘membayar’ para politisi agar bisa menekan pemerintah Indonesia. Mereka juga menggunakan kelompok-kelompok tertentu, misalnya para petani tembakau, untuk menekan pemerintah dan melindungi kepentingan bisnis mereka,” tutur Dr. Chan. Ia meyakini bahwa perusahaan rokok menginvestasikan uang yang luar biasa besar agar pemerintah Indonesia berhenti melakukan pengendalian tembakau.

[caption id="attachment_377847" align="aligncenter" width="300" caption="Dr. Margareth Chan - Direktur Jenderal WHO"][/caption]

Taktik & Strategi Perusahaan Rokok

Lebih jauh, Dr. Douglas Bettcher (Direktur Departemen Penyakit Tidak Menular WHO) menjelaskan bahwa, di Indonesia perusahaan-perusahaan rokok sangat bebas dan agresif memasarkan produk beracun tersebut. “Termasuk di antaranya adalah mempengaruhi dan memanfaatkan sektor perhotelan, restoran, cafe, kedai kopi, dan bar untuk mendukung kepentingan bisnisnya,” ujar Dr. Bettcher.

Di sisi lain, ia juga menggarisbawahi tentang iklan-iklan rokok di Indonesia yang menjamur dimana-mana dan sangat vulgar. Hampir di setiap sudut, bahkan di dekat sekolah, tempat ibadah, rumahsakit, iklan-iklan rokok sangat mudah ditemui.

Padahal, di banyak negara, segala bentuk iklan rokok sudah dilarang. Contohnya di Uni Emirat Arab. Di sini tidak ada satu pun iklan rokok berupa papan billboard yang bisa ditemui di jalan. Coba bandingkan dengan Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia yang disesaki bermacam merek dan jenis rokok. Undang-undang juga melarang seluruh TV dan media di Abu Dhabi untuk menayangkan iklan-iklan rokok.

[caption id="attachment_377852" align="aligncenter" width="300" caption="Abu Dhabi, Ibukota Uni Emirat Arab, bersih dari iklan rokok"]

14286821231405724757
14286821231405724757
[/caption]

Kenapa iklan rokok penting diperhatikan? “Karena rokok itu jelas-jelas mematikan. Makanya perusahaan-perusahaan rokok terus berusaha keras untuk menutupinya. Di antaranya dengan iklan-iklan dan membuat informasi sesungguhnya tentang rokok tetap ‘gelap’ bagi masyarakat. Dengan begitu mereka bisa terus meningkatkan penjualannya,” tutur Dr. Bettcher.

Hingga saat ini, iklan rokok tetap menjadi senjata utama industri rokok untuk penetrasi pasar dan meningkatkan penjualannya, dengan cara menampilkan hal-hal positif seperti gagah, keren, sukses, kuat, kaya, modern, mewah, sportif, jujur, bahkan bersih dan cantik. Padahal, rokok adalah produk mematikan dan menjadi sumber utama penyakit-penyakit berat seperti kanker, diabetes, dan penyakit jantung. Data terbaru “The Tobacco Atlas” (www.tobaccoatlas.org) menunjukkan, sekitar 217 ribu orang Indonesia meninggal setiap tahun akibat merokok.

Itulah sebabnya banyak negara sudah mengatur dengan ketat iklan-iklan rokok. Saat ini, 24 negara bahkan sudah melarang total iklan-iklan rokok, di antaranya: Australia, Canada, Finlandia, Irlandia, Nepal, New Zealand, Norwegia, Palau dan Panama. Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sudah pasti sorga bagi bermacam iklan rokok. Silahkan lihat di sekitar Anda dan buktikan sendiri.

Perang Dalam Bungkus Rokok

Di ajang Konferensi  Dunia “Tembakau Atau Sehat” ini, perang terhadap rokok dan perang melawan industri rokok, bergaung keras. Lebih dari duaribu delegasi dari 115 negara hadir untuk “merayakan” perang terhadap rokok.  Sejumlah topik hangat dibahas, di antaranya masalah kemasan rokok. Dimana Indonesia saat ini sudah menerapkan aturan untuk memajang “gambar-gambar mengerikan” atau “gambar peringatan”di bungkus rokok.

Pertama kali disahkan di Undang-Undang Kesehatan no 36 tahun 2009, lalu dikuatkan oleh Peraturan Pemerintah no 109 tahun 2012, aturan itu baru bisa dilaksanakan 24 Juni 2014. Aturan itu mewajibkan perusahaan rokok memajang gambar peringatan sebanyak 40 persen dari total luas kemasan, hal yang sudah dilakukan Australia sejak 2006.

Australia kini tercatat sebagai negara paling berhasil menerapkan aturan tentang kemasan rokok. Di tahun 2012, Australia sukses menerapkan kebijakan bungkus rokok polos standar dengan kandungan gambar peringatan 90 persen. Artinya, tak ada lagi kemasan rokok mewah dengan logo perusahaan atau nama rokok yang mencolok. Sebaliknya, semua bungkus rokok di Australia seragam dengan dominasi gambar peringatan yang “mengerikan” dan tulisan merek rokok yang standar.

[caption id="attachment_377853" align="aligncenter" width="300" caption="Kemasan rokok polos, tanpa tulisan merek dan logo rokok yang mencolok, sukses turunkan jumlah perokok di Australia"]

14286822271518640280
14286822271518640280
[/caption]

Data survey Biro Pusat Statistik Australia menunjukkan, sejak aturan ketat bungkus rokok itu berlaku, jumlah perokok berusia di atas 14 tahun menurun tajam, dari 16,6 persen di tahun 2007 menjadi 12,8 persen di tahun 2013. Tahun 2015 angka itu diperkirakan turun lebih tajam lagi.

Mengekor keberhasilan Australia, sejumlah negara lain juga akan memberlakukan aturan bungkus rokok standar dan seragam. Yang sudah menyusul adalah: Inggris dan Irlandia. Norwegia rencananya juga akan segera memberlakukan aturan tersebut.  Bagaimana dengan Indonesia? Belajar dari pengalaman sebelumnya tentang lambatnya eksekusi aturan “gambar peringatan” di Indonesia, maka hampir bisa dipastikan hal itu masih memerlukan waktu cukup panjang. Apalagi industri rokok dipastikan tak akan tinggal diam menyaksikan bisnis mereka terusik lebih dalam.

“Perusahaan-perusahaan rokok akan mengerahkan segala sumber daya mereka, kekuatan finansial mereka, taktik, termasuk memanfaatkan para politisi, untuk mempengaruhi pemerintah. Mereka akan mengekploitasi apapun untuk mencapai tujuan-tujuan bisnisnya,” tegas Direktur Jenderal WHO Dr Margaret Chan saat menggambarkan bagaimana industri rokok beroperasi.

Harga Rokok VS Jumlah Perokok

Faktor kesuksesan Australia lainnya adalah dengan meningkatkan pajak dan cukai rokok setinggi-tingginya. Saat ini harga sebungkus rokok Marlboro di Sydney sekitar Rp 221 ribu (kurs 1 USD = Rp 13 ribu). Bandingkan dengan harga sebungkus rokok Marlboro di Indonesia, yang cuma Rp 18 ribu!

Sejumlah study dan penelitian terbaru yang dipaparkan dalam Konferensi Dunia Tembakau menunjukkan bahwa, semakin mahal harga rokok, semakin menurun prevalensi perokok di negara tersebut. Kebijakan menaikkan harga rokok setinggi langit ini juga diberlakukan di negara-negara maju lainnya.

Di antaranya: Norwegia (Rp 192 ribu), Irlandia (Rp 162 ribu), Inggris (Rp 160 ribu), Kanada dan Amerika Serikat sekitar Rp 120 ribu, Perancis dan Belanda sekitar Rp 115 ribu, dan Islandia (Rp 125 ribu). Harga-harga tersebut dihimpun pada 2014 dengan mengambil sampel sebungkus rokok Marlboro, dan dengan kurs Rp 13.000 untuk 1 USD (data dikutip dari situs www.ibtimes.com). Akibatnya, pasar rokok di negara-negara maju pun menurun tajam.

Dilarang Merokok!

Selain melarang iklan-iklan rokok, membuat aturan “gambar peringatan” untuk bungkus rokok, dan meningkatkan pajak/cukai, pemerintah di banyak negara juga memperbanyak aturan tentang kawasan bebas rokok. Penelitian yang dimuat di jurnal “The Tobacco Atlas” (www.tobaccoatlas.org) menyebutkan bahwa pelarangan merokok di seluruh area dalam ruangan bisa menurunkan prevalensi perokok hingga enam persen setiap tahun.

Di banyak negara maju, merokok di restoran, mal, bar, hotel, kedai kopi, dan tempat-tempat umum lainnya sudah total dilarang. Di Bahrain, Afrika Selatan, dan Mauritus, merokok di dalam mobil dimana ada penumpang anak-anak bahkan bisa kena tilang polisi.

Denda untuk pelanggaran di lokasi-lokasi tersebut pun sangat mahal, hukum yang tegak membuat para perokok di negara-negara tersebut tak ada yang berani melanggar aturan tersebut. Di Jakarta, aturan melarang merokok di dalam mal juga sudah lama ada, tapi pelanggaran masih terus terjadi. Silahkan mampir ke ITC Cempaka Mas Jakarta Pusat, dan saya jamin anda akan melihat orang-orang merokok di lantai empat pusat perbelanjaan tersebut.

Negara Berkembang, Tanah Harapan

Jika pasar rokok di negara maju semakin menyusut, kemana industri rokok mencari para pecandu baru? Menjawab pertanyaan tersebut, Putri Dina Mired dari Jordania yang juga Direktur Jenderal Yayasan Kanker King Hussein Jordania mengatakan, “Industri rokok kini menjadikan negara-negara berkembang sebagai target utama mereka. Phillip Morris International kini masuk ke Jordania, mengapa? Karena mereka kehilangan pasar mereka di Eropa dan Amerika.

[caption id="attachment_377848" align="aligncenter" width="300" caption="Puteri Dina Mired - Direktur Yayasan Kanker King Hussein Jordania"]

1428681067572993467
1428681067572993467
[/caption]

Putri Dina Mired menambahkan, taktik-taktik yang digunakan industri rokok di negara-negara berkembang semakin canggih, dan ia yakin generasi muda menjadi sasaran utama mereka. “Saya percaya, di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, perusahaan-perusahaan rokok dengan sengaja dan agresif memasarkan produknya untuk membuat generasi muda kecanduan rokok,” tegas Putri Dina Mired.

Di Indonesia, ancaman rokok pada generasi muda bukanlah omong kosong. Anak-anak berseragam sekolah yang asyik mengepulkan asap rokok dari mulutnya, jamak ditemui. Padahal, Indonesia memiliki aturan hukum tentang larangan membeli rokok bagi anak di bawah umur. “The Tobacco Atlas” edisi 2015 mencatat sekitar 2,67 juta anak Indonesia (13 – 15 tahun) saat ini menjadi perokok aktif.

Hal itu membuktikan, taktik dan strategi industri rokok sangat efektif dan berhasil meracuni generasi muda. Karena itu, negara tak boleh takut apalagi kalah. “Kita tidak boleh menyerah sedikitpun! Sampai perusahaan-perusahaan rokok itu bangkrut!” tegas Dr Margareth Chan, Direktur Jenderal WHO di Konferensi Dunia “Tembakau Atau Sehat” ke-16 di Abu Dhabi UEA.

Beranikah pemerintahan Jokowi-JK menghadapi tantangan tersebut?

Masrur Jamaluddin

Jurnalis, penerima National Press Foundation J2J Fellowship on Tobacco 2015

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun