Mohon tunggu...
Masrura RamIdjal
Masrura RamIdjal Mohon Tunggu... Lainnya - PhD Candidate dari Oxford Brookes University, pengusaha Biro Perjalanan Wisata

Success is no accident. It is hard work, perseverance, learning, studying, sacrifice and most of all, love of what you are doing or learning to do (Pele)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menakar Hasil Devisa Pariwisata, Berapa yang Dinikmati oleh Masyarakat?

8 April 2018   18:18 Diperbarui: 8 April 2018   18:28 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senang rasanya melihat perkembangan pariwisata di Indonesia yang setiap tahun menunjukan pertumbuhan kunjungan wisatawan yang tumbuh dan bertambah secara signifikant baik turis asing maupun turis domestiknya. Bahkan pemerintah saat ini mentargetkan pariwisata akan menjadi leading sektor penghasil devisa terbesar bagi Indonesia di tahun 2019. 

Data terakhir di tahun 2106, devisa pariwisata sudah mencapai 13,5 Juta dollar AS per-tahunnya dan  posisi pariwisata di kalahkan oleh devisa dari minyak sawit mentah (CPO) sebesar 15,9 juta dollar AS pertahunnya. Jatuhnya harga migas dan batubara membuat perubahan penyumbang devisa dan menempatkan CPO di posisi pertama dan pariwisata di posisi kedua sebagai penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia.

Lalu siapa sebenarnya penikmat devisa dari pariwisata itu sendiri? Pertanyaan yang menarik bukan? Devisa dari sektor pariwisata di dapat dari turis -- turis mancanegara yang datang ke Indonesia. Mereka membawa mata uang mereka dan menukarkannya di sini untuk dipergunakan selama mereka berwisata di negara ini. Jadi semakin lama mereka datang dan berkunjung ke suatu tempat (negara) maka akan semakin besar uang yang mereka keluarkan untuk kebutuhan mereka seperti akomodasi/hotel, transportasi, makan dan minum, souvenir, membayar atraksi wisata, membayar guide serta berbagai kebutuhan mereka lainnya.

Dari sebuah penelitian tentang pengeluaran wisatawan di Eropa di tahun 2015, disebutkan bahwa wisatawan Eropa menghabiskan 36% dari pengeluaran mereka untuk akomodasi, 32% untuk transportasi (termasuk tiket dari tempat asalnya) dan 32% lagi adalah untuk item lainnya diluar akomodasi dan transportasi tersebut. Dan perjalanan liburan, dan rekreasi meraih 63% dari alasan mereka melakukan perjalanan disamping alasan lain seperti perjalanan bisnis atau kunjungan keluarga (Eurostat, 2015).

Walaupun itu hasil penelitian di turis di Eropa dan untuk perjalanan di Eropa, paling tidak kita bisa melihat komposisi kemana saja larinya pengeluaran wisatawan asing tersebut. 

Industri perhotelan yang paling banyak menyerap pengeluaran dari wisatawan tersebut kemudian transportasi dan restaurant serta lainnya menyebar ke berbagai item-item lainnya seperti membeli souvenir, membayar atraksi wisata atau local guide selama kunjungan mereka. Industri perhotelan dan transportasi ini bisa menyerap hingga 68% dari rata-rata pengeluaran wisatawan asing ini selama kunjungan mereka. hanya dari dua item. Sementara 32% lainnya terbagi-bagi menjadi banyak item-item lainnya. 

Transportasi ini termasuk tiket pergi-pulang yang sudah mereka beli dari negaranya  dan termasuk tiket pesawat domestik jika mereka berpindah dari satu destinasi ke destinasi lainnya, misal dari Bali mereka ke Yogyakarta atau ke Medan. Termasuk pula sewa kendaraan darat selama mereka mengunjungi obyek-obyek wisata di tempat -- tempat tersebut dan bergerak dari satu lokasi ke lokasi lainnya baik menyewa atau menggunakan transportasi umum. Sementara itu 32% yang tersisa mereka akan keluarkan untuk seluruh kebutuhan mereka selama berpelesir tersebut, makan, minum, membayar atraksi wisata, local guide, souvenir dan lain sebagainya.

Sekarang mari kita lihat, siapakah yang ada di dua sektor terbesar tersebut? Pengusaha hotel dan transportasi mayoritas di pegang oleh pengusaha besar atau bahkan investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia. 

Memang betul, mereka memperkerjakan tenaga kerja dari Indonesia, tetapi untuk hotel berbintang berjaringan international, posisi yang lebih tinggi di hotel mereka biasanya menggunakan tenaga kerja asing yang mereka ambil dari cabang hotel mereka di negara lainnya. Begitu juga dengan industri penerbangan atau transportasi yang juga di miliki oleh pengusaha besar. Alhasil orang-orang Indonesia hanya mengisi posisi-posisi bawah yang memang tidak membutuhkan skill dan digaji tak seberapa.

Dari sebuah perbincangan dengan seorang pengusaha Biro Perjalanan Wisata senior di Indonesia yang biasa membawa banyak wisatawan dari berbagai negara ke Bali dan beberapa destinasi lainnya sejak puluhan tahun lalu, beliau mengeluh akan ketatnya persaingan saat ini dalam industri pariwisata di Indonesia khususnya bagi beliau sebagai tour operator local yang menangani tamu-tamu inboud (asing) ke Indonesia. 

Tour-tour operator yang besar di negara-negara asal turis-turis tersebut yang sudah banyak mengirimkan tamunya ke Bali, biasanya mereka juga membuka kantor perwakilan di Bali untuk mengurus tamu-tamu mereka tersebut. Bahkan sempat heboh di Bali, karena kekurangan tenaga lokal guide berbahasa Mandarin, mereka mendatangkan tenaga guide langsung dari negara mereka.  Untungnya ulah mereka  ini segera di protes oleh asosiasi lokal guide di Bali (HPI) yang kemudian melarang praktek tersebut terjadi lagi di Bali.

Sebagian besar pengusaha biro perjalanan di Indonesia juga mengeluhkan kompetitifnya harga yang diminta dari tour operator dari negara asal tersebut jika ingin bekerja sama dengan mereka untuk menangani turis-turis inbound tersebut. Mereka menyodorkan harga dengan profit margin yang sangat tipis sekali dengan iming-iming jumlah tamu mereka yang sangat banyak yang akan masuk menggunakan jasa Biro perjalanan wisata tersebut. 

Belum lagi pengusaha Biro perjalanan di Indonesia harus berjuang dengan disrupsi teknologi yang memungkinkan turis-turis independent memesan semua fasilitas perjalanan mereka (hotel, transport) menggunakan teknologi yang memangkas semua 'biaya perantara' sehingga mereka mendapatkan harga yang lebih murah melalui aplikasi online daripada mereka membeli paket wisata lewat Biro perjalanan wisata tersebut.  

Indonesia memang memberikan kebebasan bagi pengusaha asing untuk berinvestasi di bidang pariwisata di Indonesia dengan memberikan beberapa skema dan insentif bagi pembangunan pariwisata dan penyediaan sarana dan prasarana bagi destinasi pariwisata di Indonesia. Oleh karenanya pengusaha asing boleh dan bebas mengembangkan usaha pariwisatanya di Indonesia. 

Mereka mendatangkan turis-turis dari negaranya ke Indonesia, menginapkannya di hotel-hotel group perusahaan mereka, mereka juga menginvestasikan untuk membeli kendaraan wisata yang digunakan tamu-tamu mereka berkeliling obyek wisata, bahkan mereka juga membuka toko souvenir, restaurant dan money changer khusus buat tamu-tamu turis dari negara mereka menukarkan mata uang negaranya. Nah kalo begini kemana larinya uang 'devisa' tersebut?

Begitu juga dengan hotel-hotel berbintang jaringan International yang mempunyai standard International dalam pengelolaannya. Mereka juga mengimpor sebagian makanan dan minuman yang sudah menjadi standard dalam pelayanan mereka dan hanya menggunakan sedikit sekali dari hasil produksi lokal dengan dalih untuk menerapkan standard bagi pelayanan dan service perusahaan mereka bagi tamu-tamu internasional tersebut. 

Lalu, sebagian besar tamu-tamu yang membeli paket wisata juga sudah membayar harga kamar hotel termasuk makan pagi dan makan malam di hotel tempat mereka menginap. Hanya tersisa satu kali makan siang yang mereka biasanya akan mereka lakukan di luar, di restoran setempat atau malah mereka membeli makanan fast food International yang biasa mereka konsumsi di negaranya yang outlet franchisenya sudah banyak tersebar di Indonesia.

Sampai disini kita sudah mulai bisa menghitung ya kira-kira berapa sisa dari pengeluaran mereka dan akan mereka pergunakan untuk apa dan siapa yang kebagian dari sisa devisa yang 'tak seberapa' tadi. Mungkin menggunakannya untuk ke club malam, diskotik, spa, membayar atraksi wisata, biaya masuk obyek wisata, membeli souvenir yang kecil-kecil dari penjaja souvenir kaki lima (karena sebelumnya mereka sudah di arahkan ke toko souvenir besar kepunyaan korporasi) atau sekadar mencoba makanan local atau minuman local yang juga tidak seberapa harganya. Bisakah anda menghitung berapa 'devisa' pariwisata yang dinikmati oleh masyarakat  secara langsung?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun