Sebagian besar pengusaha biro perjalanan di Indonesia juga mengeluhkan kompetitifnya harga yang diminta dari tour operator dari negara asal tersebut jika ingin bekerja sama dengan mereka untuk menangani turis-turis inbound tersebut. Mereka menyodorkan harga dengan profit margin yang sangat tipis sekali dengan iming-iming jumlah tamu mereka yang sangat banyak yang akan masuk menggunakan jasa Biro perjalanan wisata tersebut.Â
Belum lagi pengusaha Biro perjalanan di Indonesia harus berjuang dengan disrupsi teknologi yang memungkinkan turis-turis independent memesan semua fasilitas perjalanan mereka (hotel, transport) menggunakan teknologi yang memangkas semua 'biaya perantara' sehingga mereka mendapatkan harga yang lebih murah melalui aplikasi online daripada mereka membeli paket wisata lewat Biro perjalanan wisata tersebut. Â
Indonesia memang memberikan kebebasan bagi pengusaha asing untuk berinvestasi di bidang pariwisata di Indonesia dengan memberikan beberapa skema dan insentif bagi pembangunan pariwisata dan penyediaan sarana dan prasarana bagi destinasi pariwisata di Indonesia. Oleh karenanya pengusaha asing boleh dan bebas mengembangkan usaha pariwisatanya di Indonesia.Â
Mereka mendatangkan turis-turis dari negaranya ke Indonesia, menginapkannya di hotel-hotel group perusahaan mereka, mereka juga menginvestasikan untuk membeli kendaraan wisata yang digunakan tamu-tamu mereka berkeliling obyek wisata, bahkan mereka juga membuka toko souvenir, restaurant dan money changer khusus buat tamu-tamu turis dari negara mereka menukarkan mata uang negaranya. Nah kalo begini kemana larinya uang 'devisa' tersebut?
Begitu juga dengan hotel-hotel berbintang jaringan International yang mempunyai standard International dalam pengelolaannya. Mereka juga mengimpor sebagian makanan dan minuman yang sudah menjadi standard dalam pelayanan mereka dan hanya menggunakan sedikit sekali dari hasil produksi lokal dengan dalih untuk menerapkan standard bagi pelayanan dan service perusahaan mereka bagi tamu-tamu internasional tersebut.Â
Lalu, sebagian besar tamu-tamu yang membeli paket wisata juga sudah membayar harga kamar hotel termasuk makan pagi dan makan malam di hotel tempat mereka menginap. Hanya tersisa satu kali makan siang yang mereka biasanya akan mereka lakukan di luar, di restoran setempat atau malah mereka membeli makanan fast food International yang biasa mereka konsumsi di negaranya yang outlet franchisenya sudah banyak tersebar di Indonesia.
Sampai disini kita sudah mulai bisa menghitung ya kira-kira berapa sisa dari pengeluaran mereka dan akan mereka pergunakan untuk apa dan siapa yang kebagian dari sisa devisa yang 'tak seberapa' tadi. Mungkin menggunakannya untuk ke club malam, diskotik, spa, membayar atraksi wisata, biaya masuk obyek wisata, membeli souvenir yang kecil-kecil dari penjaja souvenir kaki lima (karena sebelumnya mereka sudah di arahkan ke toko souvenir besar kepunyaan korporasi) atau sekadar mencoba makanan local atau minuman local yang juga tidak seberapa harganya. Bisakah anda menghitung berapa 'devisa' pariwisata yang dinikmati oleh masyarakat  secara langsung?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H