Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd
Pendahuluan
Dalam khasanah kebudayaan Simalungun, terminologi "Purba" memiliki beragam makna di antaranya bermakna timur, salah satu bagian delapan arah mata angin (deisa na waluh). Kata ini serumpun dengan kata "purwa" dalam bahasa Jawa yang berakar dari bahasa Sanskerta "purva". Selain itu Purba juga bermakna pertanda, takdir, gelagat, atau ramalan (tondung), dalam tradisi Simalungun pada saat seorang wanita mengandung maupun menjelang masa persalinan (maranggi), orangtuanya akan bermimpi tentang pertanda atau takdir (purbani) kehidupan bagi anak mereka kelak. Takdir kehidupan sang anak yang masih dalam kandungan (parnaibataan) ditentukan oleh mimpi orangtuanya. Bila orangtuanya bermimpi meraih bulan, maka anak mereka kelak akan menjadi pembawa terang, namun sebaliknya bila orangtuanya bermimpi mendaki gunung tetapi tidak sampai ke puncak, maka pertanda kehidupan anak mereka kelak akan menderita.
Purba merupakan salah satu marga dari empat marga besar di Simalungun, ada sejumlah pendapat mengenai tanah asal marga Purba, dalam cerita rakyat Simalungun dikenal tokoh bernama Narasi yang diyakini sebagai  leluhur awal marga Purba yang bermigrasi ke tanah Simalungun bersama dengan Narasag dan Naraga leluhur Saragih dan Sinaga atas anjuran dari empat orang putera Darayad Damanik leluhur awal marga Damanik. Peristiwa ini berlangsung sekitar abad 3 masehi, sewaktu maraknya pergolakan politik di India. Mereka datang dari bagian timur laut India sekitar daerah Chota Nagpur, pegunungan Assam, dan Nagaland; mereka berlayar melalui Selat Malaka hingga sampai ke Sumatera Timur. Adapun lokasi yang menjadi tempat berlabuh dan pintu masuk mereka ke Sumatera Timur adalah melalui Pagurawan di Batubara. Mereka lalu membentuk sebuah kediaman di sekitar aliran sungai Bah Hapal, dari sinilah keturunan mereka perlahan masuk ke pedalaman. Selain itu, ada juga yang berpendapat leluhur marga Purba berasal dari Siam dan hipotesa lain justru mengarahkan asal kedatangannya dari Manchuria. Batrlett (1952:633) dikutip dari Arlin Dietrich (2003:13) menerangkan bahwa nenek moyang orang Simalungun pada awalnya berdiam di pesisir pantai timur, akibat desakan dari etnis Melayu yang datang dari Semenanjung Malaya mendesak orang Simalungun menyingkir ke pedalaman hingga mencapai pantai Danau Toba. Sampai sekarang penduduk Melayu di Serdang dan Deli masih banyak yang mengaku kalau nenek moyang mereka ada yang berasal dari suku Simalungun.
Dalam cerita rakyat Simalungun, dikenal dua orang tokoh marga Purba yang termasyhur dalam sejarah yaitu Sangsi Purba dan Purba Aji (Purba Parajiaji), keduanya menjadi tokoh petualang yang melegenda dalam banyak suku bahkan di kalangan suku Melayu dan Minangkabau, nama Sangsi Purba tercatat dalam tambo alam Melayu dan Minangkabau. Riwayat hidup mereka tidak banyak terekam dalam sejarah, namun keberadaan mereka tetap menjadi ingatan bagi para keturunanannya. Pada zaman dahulu diketahui ada tiga orang puteri Purba Simalungun yang menikah dengan orang Toba, hal ini diketahui dari cerita rakyat yang berkembang di kalangan orang Toba. Dalam buku Pustaha Batak: Tarombo Dohot Turiturianni Bangso Batak karangan W.M Hutagalung dikisahkan bahwa Malau Raja generasi ketiga dari tokoh legendaris Si Raja Batak waktu pergi berkelana ke tanah Simalungun, ia sampai ke daerah kediaman marga Purba. Di tempat ini, dia menaruh hati dengan salah seorang puteri dari marga Purba Siboro lalu menikahinya dan melahirkan tiga orang putera bernama Gurning, Ambarita Raja, dan Lambe Rajam sedang pendapat lain mengatakan mereka lahir di daerah Limbong. Demikian juga Datu Pejel alias Tuan Sorba Dijae generasi keempat dari Si Raja Batak yang merupakan saudara dari Tuan Sorba Dibanua dan Tuan Sorba Dijulu. Datu Pejel menikah dengan puteri Purba Simalungun sewaktu pindah dari Pangururan ke Sibisa daerah Uluan, puteranya kemudian dimargakan menurut marga ibunya. Selain keduanya, putera Raja Silahisabungan yaitu Sondi Raja leluhur marga Rumasondi generasi keenam dari Si Raja Batak juga menikahi puteri dari marga Purba Siboro yang menetap di Sagala.
Perkembangan Marga Purba
Pada awalnya marga Purba tidak mengenal cabang marga seperti yang berlaku saat ini, kemunculan sejumlah cabang marga Purba terjadi pasca adanya migrasi dari . Adapun cabang marga Purba Simalungun yaitu Tua, Tambak, Sigumondrong, Silangit, Sidasuha, Sidadolog, Sidagambir, Siboro, Girsang, Pakpak, Tambun Saribu, Tondang, Tanjung, Sihala, dan Manorsa. Lahirnya Purba Tambak diawali dari Kerajaan Silou yang pada awalnya berdiri di Asahan di sekitar hulu sungai Silou di Bandar Pasir Mandogei (nama sungai Silou di Asahan berasal dari Kerajaan Silou). Kerajaan ini didirikan oleh Panglima Indrawarman seorang keturunan Minangkabau yang berasal dari Kerajaan Dharmasraya di Jambi bersama rombongannya tentara Hindu Jawa dari Kerajaan Singosari (Mulyana, 2006: 18). Untuk mengingatkan asalnya dari Jambi, hingga saat ini di Simalungun masih ditemukan kampung bernama Bah Jambi, Pagar Jambi, dan Mariah Jambi. Dalam cerita rakyat Simalungun dikenal juga tokoh bergelar Panglima Bungkuk yang juga berasal dari Jambi, tokoh ini kemungkinan besar adalah sosok yang sama dengan Indrawarman (patung Panglima Bungkuk hingga kini masih bisa disaksikan di daerah Tanoh Jawa, Simalungun). Indrawarman menyingkir ke pedalaman Simalungun akibat enggan tunduk kepada Kerajaan Majapahit dan memilih bergabung dengan penduduk setempat yaitu suku Simalungun dan bersama-sama mendirikan Kerajaan Silou yang tunduk pada Kerajaan Nagur. Pada tahun 1350 tentara Majapahit dipimpin Adityawarman kembali mengadakan ekspedisi ke pulau Sumatera datang untuk menghukum Indrawarman, perang pun meletus antara Silou dan Majapahit, Indrawarman tewas dalam pertempuran. Keturunannya yang selamat melarikan diri ke Haranggaol yang diikuti perpindahan massal golongan marga Purba, di tempat pelarian ini mereka kemudian membangun kembali Kerajaan Silou. Saudaranya yang lain ada yang sampai ke dusun Raja Nagur di Raya Kaheian, di tempat ini mereka mendirikan sebuah kerajaan baru di sekitar hulu sungai Ular dan sungai Padang.
Raja Silou memiliki beberapa orang putera, salah seorang di antaranya membentuk perkampungan di Tambak Bawang yang pada masa itu penuh dengan rawa-rawa. Di tempat ini, ia membuat sebuah kolam dan menamakannya Tambak Bawang artinya kolam terbuat dari rawa-rawa. Sejak itu marganya lebih dikenal dengan sebutan Purba Tambak Bawang, ia menikah dengan puteri Karo dari Sukanalu dan memperoleh lima orang anak. Putera sulungnya bergelar Ompung Nengel yang memiliki gangguan pendengaran, putera kedua adalah seorang yang sakti, sepeninggalnya sosoknya dikeramatkan (sinumbah). Adik mereka yaitu Nai Horsik, Si Boru Hasaktian (pemilik pemandian keramat yang ada di Tambak Bawang), dan putera bungsu pergi ke Sukanalu ke kampung pamannya marga Sitepu, keturunannyalah Tarigan Tambak yang ada di Sukanalu dan Kebayaken. Ompung Nengel merupakan leluhur Tarigan Tambak yang ada di Tambak Bawang dan Bawang, sepeninggal ayahnya ia meneruskan jabatan sebagai kepala kampung (pangulu) Tambak Bawang. Sedang adiknya Nai Horsik pergi ke timur dan sampai di Silou Buntu, ia menikah dengan puteri Raja Nagur dari klan Damanik dan melahirkan putera bernama Jigou.
Gambar 1: Raja Dolog Silou, Tuan Tanjarmahei Purba Tambak
Dalam naskah kuno Partingkian Bandar Hanopan peninggalan Kerajaan Dolog Silou yang disimpan oleh Tuan Bandar Hanopan, dikisahkan bahwa Tuan Sindar Lela bertemu dengan Puteri Hijau di aliran Sungai Petani dekat pohon tualang di sekitar Deli Tua. Sindar Lela memiliki keahlian berburu dan juga pemancing yang handal sehingga ia digelari dengan Pangultopultop, hal inilah yang menginspirasi lahirnya simbol Purba Tambak yaitu ultop (sumpit) dan bubu (alat penangkap ikan); keturunanya disebut Purba Tambak Tualang. Pertemuan Puteri Hijau dengan Sindar Lela terjadi pada waktu Aceh menyerang Haru. Keduanya menjalin hubungan saudara, Sindar Lela kemudian membawa Puteri Hijau ke Sinembah untuk mencari perlindungan, namun Datuk Sinembah keberatan. Dari sini, mereka pergi ke Haru. Sultan Haru rela membantu asalkan Puteri Hijau bersedia menjadi permaisurinya. Mendengar Puteri Hijau berada di Haru, Sultan Aceh mengirim armada untuk menyerang Haru sekaligus membawa Puteri Hijau kembali ke Aceh. Setelah berhasil menghancurkan Haru, Puteri Hijau diboyong ke Aceh, sultan lalu membujuknya agar rela menjadi isterinya, keinginan ini diterima oleh Puteri Hijau namun dengan syarat Sultan Aceh segera memberikan legitimasi kepada saudaranya Sindar Lela menjadi raja di Kerajaan Silou.