Dalam perkembangannya bahasa Simalungun banyak mengalami dinamisasi akibat terjadinya perpindahan dan pengaruh dari penutur bahasa lain. Fenomena ini akhirnya membentuk pengelompokan dalam penerapan Bahasa Simalungun yang ditandai dengan kemunculan sejumlah dialek dalam bahasa Simalungun seperti dialek Sin Raya, Sin Dolog, Sin Purba, Sin Panei, dan Sin Bandar. Namun, Henry Guntur Tarigan membedakan dialek bahasa Simalungun hanya ke dalam 4 macam dialek, yaitu Silimakuta, Raya, Topi Pasir (Horisan), dan Jaheijahei (pesisir pantai timur). Dari sekian dialek tersebut, para peneliti bahasa cenderung memilih dialek Sin Raya yang dijadikan sebagai tolok ukur (standarisasi) dalam mengkaji Bahasa Simalungun, dialek ini dituturkan oleh masyarakat Simalungun yang berdomisili di Kecamatan Raya. Seluruh dialek tersebut di atas pada awalnya adalah sama, namun karena terjadinya perpindahan dari kediaman bahasa induknya sehingga perlahan mengalami pergeseran, ditambah derasnya pengaruh dari penutur bahasa lain di sekitar wilayah Simalungun juga cukup berperan dalam memudarkan keorisinilan bahasa Simalungun. Fakta ini dialami langsung oleh orang Simalungun yang bermukim di sepanjang daerah pesisir danau Toba (Horisan), seperti di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Sidamanik, Pamatang Sidamanik, Dolog Pardameian, Haranggaol Horisan, dan Purba; akibat kerapnya mengadakan interaksi dengan penutur bahasa Toba yang datang dari pulau Samosir dan sekitarnya, maka bahasa Simalungun di daerah ini banyak bercampur dengan bahasa Toba.
Di Kecamatan Panei dan Panombeian Panei juga demikian, dialek bahasa Simalungun yang digunakan juga sudah terkontaminasi dengan bahasa Toba. Berbeda halnya dengan masyarakat Simalungun yang berdiam di Kecamatan Dolog Silou, Silimakuta, Gunung Mariah, Bangun Purba, Silindak, dan Kota Rih; akibat kerapnya bersentuhan dengan penutur Bahasa Karo, maka dinamika penyerapan bahasa antara keduanya pun tidak dapat dielakkan. Lain lagi dengan masyarakat Simalungun yang berdomisili di daerah Jahei-jahei seperti di Kecamatan Bandar, Pamatang Bandar, Bandar Masilam, Bandar Huluan, Gunung Malela, Gunung Maligas, dan Dolog Batu Nanggar, daerah ini dihuni oleh masyarakat Simalungun yang mayoritas beragama Islam dan sejak ratusan tahun sudah mengadakan kontak dengan suku Melayu di Batubara dan Asahan, baik dalam kegiatan sosial, keagamaan, dan juga perdagangan, secara tak sengaja anasir bahasa Melayu menyerap ke dalam bahasa Simalungun. Kondisi berbeda dialami masyarakat Simalungun yang menetap di antara komunitas suku Jawa seperti di Kecamatan Bandar Huluan, Gunung Malela, Gunung Maligas, Tapian Dolog, dan Dolog Batu Nanggar. Sejak masuknya imigran Jawa ke tanah Simalungun yang dibawa oleh Belanda untuk dipekerjakan di perkebunan, persentuhan budaya dan bahasa antara komunitas Jawa dan Simalungun sudah terjadi secara berkesinambungan. Berakhirnya sistem feodalisme di Simalungun semakin memberikan peluang seluasnya-luasnya bagi mereka untuk menduduki berbagai tempat di tanah Simalungun. Peran mereka dalam memudarkan identitas dan penggunaan Bahasa Simalungun sangat besar dan sulit untuk dibendung. Nama-nama tempat di Simalungun juga banyak yang berubah bentuknya akibat mengikuti pola bahasa mereka.
Penutup
Dari uraian ini diperoleh sebuah deskripsi bahwa Bahasa Simalungun memiliki sejumlah keistimewaan baik dalam bentuk maupun posisinya, kendati demikian bahasa Simalungun bukanlah bahasa yang berdiri sendiri tanpa adanya ikatan dengan Bahasa Batak yang lain. Bahasa Simalungun takkan dapat menarik diri bila dikatakan memiliki kesamaan dengan bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola sebagai Rumpun Selatan. Dan tidak dapat disangkal pula bila bahasa Simalungun banyak memiliki kemiripan dengan bahasa Pakpak, Karo, Alas, dan Keluet yang berada pada Rumpun Utara. Kondisi ini terjadi dikarenakan posisi Bahasa Simalungun berada pada rumpun tengah, sehingga bahasa Simalungun menjadi perwakilan atau mediasi bagi seluruh Bahasa Batak.
Daftar Pustaka:
Kozok, Uli. Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak. Jakarta: Gramedia. 1999
Parkin, Harry. Batak Fruit of Hindu Thought. Madras, India: Â The Christian Literature Society. 1978
Voorhoeve, Petrus. Critical Survey of Studies on the Languages of Sumatra. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. 1955
Adelaar, K.A. Reconstruction of Proto-Batak Phonology. NUSA 10:1-20. 1981
Keraf, Gorys. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia. 1984
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1996