Mohon tunggu...
Masrul Purba Dasuha
Masrul Purba Dasuha Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Saya Masrul Purba Dasuha, SPd seorang pemerhati budaya Simalungun berasal dari Pamatang Bandar Kabupaten Simalungun Sumatera Utara. Simalungun adalah jati diriku, Purba adalah marga kebanggaanku. Saya hidup berbudaya dan akan mati secara berbudaya. Jangan pernah sesekali melupakan sejarah, leluhurmu menjadi sejarah bagimu dan dirimu juga kelak akan menjadi sejarah bagi penerusmu. Abdikanlah dirimu untuk senantiasa bermanfaat bagi sesama karena kita tercipta sejatinya memang sebagai pengabdi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nagur, Kerajaan Kuno Di Pulau Sumatera

29 Januari 2016   04:59 Diperbarui: 11 Oktober 2020   06:34 7308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd

Pengantar

Nagur merupakan suatu kerajaan kuno (ancient kingdom) yang pernah berdiri di Sumatera Utara sebagai awal dimulainya periode sejarah di kalangan masyarakat Batak Timur yang sering disebut orang Hataran atau Simalungun. Menurut penuturan Tuan Subirman Damanik tinggal di Durian Banggal Kecamatan Raya Kaheian. Terbentuknya kerajaan ini diawali sejak kehadiran seorang Brahmana bergelar Darayad Damanik. Namanya tercatat dalam pustaha kuno peninggalan Kerajaan Nagur. Ia berasal dari golongan bangsa Munda yang datang dari dataran tinggi Chota Nagpur, sebelah timur India meliputi negara bagian Jarkhand, Chhattisgarh, Benggala Barat, Bihar, dan Odisha (dulu Orissa), hingga daerah Assam. Pustaha Nagur menyebut tokoh kesatrya tersebut dengan gelar Narama (naskah ini terbakar tahun 1958 pada masa pemberontakan PRRI)

Narama adalah seorang penganut Hindu Waisnawa pemuja Dewa Wisnu. Ia dianggap sebagai reinkarnasi dari Narayan, dalam mitologi Hindu adalah nama lain dari Dewa Wisnu. Dalam bahasa Sanskerta "Naara" berarti air atau entitas hidup dan "Ayana" adalah tempat istirahat, karena itu disebut "Naarayana" yang berarti tempat istirahat bagi semua entitas hidup. Hubungan dekat Narayana dengan air menjelaskan penggambaran Narayana dalam seni Hindu sedang berdiri atau duduk di samudera. Pengejawantahan penting dari Narayana adalah "Maha Menjadi yang merupakan dasar dari semua orang". 

Di Simalungun, gelar Narayan ditambah dengan Namanik sehingga penyebutannya menjadi Narayan Namanik yang bermakna "Naibata parsimada tondui pakon sipaulak tondui" (Dewa pemilik entitas hidup dan pengembali entitas hidup). Rakyat Nagur meyakini bentuk kepala Narayan seperti kepala burung enggang dan tubuhnya dibalut dengan jubah putih. Oleh rakyat Nagur, burung enggang diyakini sebagai reinkarnasi dari Narayan Namanik. Pada zaman dahulu, Narayan Namanik biasa dipanggil untuk menghidupkan orang yang baru meninggal (siluk matei) agar hidup kembali, dengan membaca mantera (tabas) yang berbunyi: "Narayan Namanik, roh ma ham sipaulak tondui" sebanyak 1.200 kali. Setelah orang yang meninggal itu hidup kembali, sebagai tebusan ditanamlah pisang sitabar jantan di pinggir halaman dan pisang unsim jantan di pinggir ladang. Usia kehidupannya tergantung dari usia pisang yang ditanam tersebut, bila pisang itu mati, maka manusia itupun akan ikut mati. Pada ujung lidah Darayad ditumbuhi sejumlah bulu sehingga dia sulit untuk menyebut huruf "N", dia pun menyebut Narayan Namanik dengan Darayad Damadik. Nama ini kemudian menjadi gelar baginya dan Damadik perlahan mengalami perubahan bunyi menjadi Damanik.

Gambar 1: Peta negara India, dataran tinggi Chota Nagpur yang terletak di sebelah timur India merupakan tempat kedudukan bangsa Munda yang menjadi asal Narayan Namanik.

Tuan Subirman Damanik menceritakan bahwa Narama meninggalkan India akibat terjadi rodi membangun sebuah istana dan tempat pemujaan (parsinumbahan) yang mempekerjakan manusia dan juga kawanan hewan. Para hewan diperintah untuk mengangkut bebatuan dari Mesir untuk diboyong ke India, proses pembangunan istana dan tempat pemujaan ini akhirnya berujung konflik. Untuk menghindari pertikaian yang terjadi, Narayan Damanik lantas memilih meninggalkan tanah kelahirannya, beserta isteri tercintanya seorang puteri Mongol dan para pengikutnya, mereka pergi meninggalkan India dengan menaiki sebuah kapal besar mengarungi samudera luas. Kapal mereka kemudian terdampar di pesisir Selat Malaka, mereka lalu mendarat di daerah Pagurawan (Pargurouan) masuk daerah Batubara sekarang. Peristiwa ini terjadi sekitar abad 4-5 masehi.

Dari tempat ini, Narama beserta rombongannya perlahan masuk ke pedalaman melalui sungai Suka - Laut Tadur - Liang Tanggiripan (Parbatu/Tebing Tinggi) - Sorba Jahei terus ke hulu melalui Bah Balandei - Mariah Nagur - Dolog Simbolon - Sorba Dolog - Dolog Simarsolpah - Raya - Dolog Bah Rubei - Dolog Tinggi Raja - Parti Malayu - Dolog Siandorasi - Partibi Ganjang - Saran Tolbak dan akhirnya mereka sampai di Nagori Banua Sokkur. Tidak lama kemudian empat orang puteranya dari India datang menyusul, namun salah seorang saudari mereka tetap berada di India karena sudah menikah. Mereka berangkat dari India disertai tiga orang teman mereka, yaitu Naraga (Sinaga), Narasi (Purba), dan Narasag (Saragih). 

Setelah beberapa lama berdiam di Sokkur, ketiganya kemudian menikah dengan cucu Narama. Dari sini diketahui bahwa Narama merupakan perintis jalan (si rottos dalan) bagi kehadiran leluhur marga Sinaga, Purba, dan Saragih ke tanah Simalungun. Di samping sebagai pemimpin, Narama juga memiliki kemampuan di bidang pengobatan (partambaran), selain mengobati kaum manusia dia juga mampu mengobati penyakit yang diidap hewan. Dia memiliki sebuah alat tiup yang disebut Salohap terbuat dari bambu yang berfungsi sebagai alat untuk mengundang hewan yang hidup di darat maupun di air untuk datang kepadanya. Meskipun dia bersahabat dengan sejumlah hewan, namun dia lebih serasi memelihara ayam, sementara Naraga dan kedua temannya Narasi dan Narasag lebih cocok memelihara gajah, kerbau, dan anjing.

Narama mengakhiri masa hidupnya didampingi isterinya ketika melakukan pertapaan di Liang Sigundaba, sepeninggalnya sosoknya dipuja dan menjadi tokoh yang dikeramatkan. Pengkultusan terhadap sosok Darayad Damadik ini berkaitan dengan konsep Hindu-Buddha yang mengenal istilah "dewaraja", di mana seorang raja dipuja dan dianggap memiliki sifat kedewaan (keilahian) yang bersumber dari Dewa Siwa atau Dewa Wisnu. Bentuk pemujaan ini kemudian berkembang luas di Asia Tenggara yang diperkenalkan oleh para pengembara dari India. Konsep dewaraja dibentuk melalui ritual keagamaan yang dilembagakan dalam pranata kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Asia Tenggara. Hal ini memungkinkan raja untuk mengklaim dirinya memiliki wewenang ilahiah yang bisa digunakan untuk memastikan legitimasi politik, mengelola tatanan sosial, menata aspek ekonomi, dan agama. Hal ini juga digunakan untuk menjaga ketertiban sosial, memuliakan raja sebagai dewa hidup yang pastinya menuntut pelayanan dan pengabdian maksimal dari rakyatnya. Seiring dengan itu, sistem kasta sebagaimana yang diterapkan di India turut diperkenalkan untuk menata masyarakat berdasarkan kelas sosialnya. Konsep ini juga terkait dengan Cakrawartin, istilah yang digunakan dalam agama Dharma (Hindu-Buddha) untuk merujuk kepada seorang penguasa jagat yang ideal, seorang maharaja yang bijaksana dan welas asih kepada seluruh makhluk di dunia. Sepeninggal sang raja biasanya didirikan monumen maupun patung yang bertujuan untuk menghormati dan memuliakan sang raja yang telah wafat. Secara politik, gagasan ini merupakan suatu upaya pengesahan atau justifikasi kekuasaan raja dengan memanfaatkan sistem keagamaan.

Catatan Tentang Nagur

Nama Nagur berasal dari perpaduan kata "Na + Agur" yang berarti gelar bagi seorang pemimpin yang gagah berani, benar, adil, dan bijaksana. Namun sejumlah sejarawan ada juga yang mengkaitkan nama Nagur dengan Chota Nagpur dan juga kota Nagore yang ada di India. Kerajaan ini berdiri ratusan tahun kemudian sepeninggal Darayad Damadik, terbentuknya kerajaan ini diawali oleh perpaduan sejumlah kampung yang pada suku Simalungun dibagi ke dalam beberapa bagian meliputi huta, nagori, dan urung. Pasca berdirinya kerajaan, dipilihlah suatu lokasi sebagai pusat kerajaan yang disebut dengan pamatang. Nama Nagur pertama kali masuk dalam catatan sejarah yaitu pada almanak (annals) Dinasti Sui (581-618 M) salah satu kekaisaran di Tiongkok penerus dari Dinasti Jin dan peletak dasar bagi kejayaan Dinasti Tang sebagai penggantinya. Almanak tersebut meriwayatkan tentang transaksi perdagangan bilateral antara Nagur dengan Dinasti Sui di perairan sungai Bah Bolon dekat Kota Perdagangan. Sebagaimana hasil penelitian Sutan Martuaraja Siregar, guru sejarah di Normaal School Pematang Siantar, dia melihat Nagur sebagai sebuah Kerajaan Batak yang didirikan orang Simalungun dan menjadi pusat penyembahan berhala (Priests Kingdom of Batak Pagan). Dengan adanya budidaya rambung merah (Sim: balata/Latin: Ficus Elastica) yang dikembangkan masyarakat Nagur, sehingga mengundang bangsa Tiongkok dari Dinasti Sui untuk membeli hasil sumber daya alam Nagur yang dibutuhkan sebagai kedap air (water-tight) bagi kapal-kapal dagang mereka. Pada waktu itulah pihak Tiongkok mendirikan kota pelabuhan Sang Pang To di tepi Sungai Bah Bolon, sekitar 3 Kilometer dari kota Perdagangan sekarang. Mereka banyak meninggalkan batu-batu bersurat di pedalaman Simalungun yang kini telah lenyap akibat penggusuran oleh pembukaan perkebunan dan pabrik-pabrik pada zaman Belanda. Tidak jauh dari tempat ini, ada satu lokasi yang pada zaman dahulu jadi tempat ritual pemujaan roh leluhur bernama Dolog Sinumbah, sebelum kehadiran Belanda di tempat ini terdapat banyak kuil dan candi Buddha, ada satu situs candi yang berhasil diselamatkan pada waktu penggusuran oleh pihak Belanda sewaktu mendirikan pabrik dan perkebunan (situs candi ini kini disimpan oleh keluarga marga Purba di Medan).

Gambar 2: Penulis saat berada di desa Nagur di Kecamatan Tanjung Beringin Serdang Bedagai yang letaknya tepat di bibir pantai timur Sumatera Utara.

Nakhoda Persia, Buzurug bin Shahriyar Al-Ramhurmuzi saat lawatannya ke pulau Sumatera pada tahun 955 M mencatat adanya suatu kerajaan bernama Nakus yang mengacu pada Nagur. Keterangan lainnya juga datang dari Marco Polo (1271-1295), seorang pengembara dari Venesia, Italia pada tahun 1292 pernah mengunjungi sejumlah pulau di pesisir Sumatera, di antaranya adalah Dagroian yang tidak lain adalah Nagur, yang letaknya berada di Pidie (Aceh) sekarang. Marco Polo menceritakan kebiasaan masyarakat Dagroian yang kanibal dan larut dengan praktik genosida. Masyarakatnya benar-benar primitif dan penyembah berhala. Kemudian pada awal abad ke 13 M, Zhao Rugua mencatat sebuah negeri bernama Pa-t’a di bawah kuasa Sriwijaya. Antara Pa-t’a dan Bata sudah diterima umum ada kaitannya dengan Batak. Batak yang dimaksud di sini merujuk pada Nagur, karena pada masa itu Nagurlah satu-satunya kerajaan Batak. Sementara itu, Niccolo de’ Conti seorang pedagang dan penjelajah dari Venesia, Italia pada tahun 1430 berkunjung ke Sumatera dan tinggal selama setahun di kota Sciamuthera (Samudera Pasai) dan pada tahun 1449 dia pertama kalinya menemukan jejak masyarakat benama “Batech”. Dia mengatakan di bagian tertentu di pulau Sumatera terdapat sebuah tempat bernama Batech, penduduknya memangsa daging manusia. Mereka terus-menerus berperang dengan tetangga mereka, tengkorak musuh mereka disimpan sebagai harta kemudian menjualnya untuk memperoleh uang. Lain dari pada itu, Tomé Pires seorang apoteker dan kepala gudang rempah-rempah Portugis di Malaka, dalam karya terbesarnya Suma Oriental (Dunia Timur) yang ditulis pada tahun 1512-1515. Buku tersebut memberikan banyak informasi berharga mengenai keadaan nusantara pada abad ke-16, dia menyebut Sumatera dengan Camotora sebuah daerah yang luas dan makmur terdapat banyak emas, kapur barus, lada, sutera, kemenyan, damar, madu, minyak tanah, belerang, kapas, dan rotan. Selain itu, Sumatera juga memiliki banyak padi, daging, ikan, dan bermacam-macam minyak, tuak termasuk tampoy yang mirip anggur di Eropa. Dia mengatakan Sumatera adalah ibukota dari Pasai. Pires mencatat tiga tempat yang menjadi pusat aktivitas para pedagang asing di pesisir timur, yaitu Batta (di selatan Pasai) yang memiliki komoditi utama rotan, lalu Aru yang memiliki cukup banyak kamper dan kemenyan, dan terakhir Arcat (antara Aru dan Rokan). Dia mencatat nama raja yang memerintah di Kerajaan Batak adalah Tomyam yang identik dengan nama Tamiang, seperti pernah diberitakan Castanheda juga seorang penjelajah dari Portugis bahwa Raja Tamiang adalah menantu dari Raja Aru

Gambar 3: Salah satu surat kabar pada zaman Belanda yang memberitakan tentang Nagur dan kerajaan Simalungun lainnya.

Selanjutnya Duarte Barbosa seorang penulis dan penjelajah dari Portugis pada tahun 1516, mencatat adanya sebuah kerajaan di sebelah selatan pulau Sumatera yang menjadi penghasil utama emas dan di pedalaman lain ada Aru yang berdekatan dengan negara Batta, penduduknya kafir yang gemar makan daging manusia terutama yang mereka bunuh dalam perang. Diteruskan oleh Joao de Barros juga seorang berkebangsaan Portugis pada tahun 1563 kembali menyebut tentang Batak dalam misi penjelajahannya. Dia adalah seorang sejarawan Portugis yang cukup terkemuka. Dalam laporannya dia menyebutkan sebuah penduduk pribumi di bagian pulau yang berlawanan dengan Malaka yang disebut Battas, mereka memakan daging manusia, sangat buas dan merupakan masyarakat yang paling gemar berperang dari seluruh negeri yang pernah dia jelajahi. Demikian juga pada saat Augustin de Beaulieu seorang jenderal Perancis pada tahun 1619-1622 memimpin ekspedisi bersenjata menuju India Timur, dia mengunjungi sejumlah daerah sekitar Aceh dan semenanjung Malaya. Dia menyebut sebuah penduduk pedalaman yang merdeka dan memiliki bahasa yamng berbeda dengan Melayu. Mereka menyembah berhala dan memakan daging manusia, tidak pernah ada tahanan yang ditebus tapi dimakan dengan menggunakan lada dan garam. Namun, Beaulieu tidak secara spesifik menyebut nama penduduk yang dia temui, dia melihat mereka tidak memiliki agama, tetapi sudah mampu mengembangkan konsep pemerintahan dan menguasai beberapa negara. Dari kriteria dan watak penduduk pedalaman yang digambarkan oleh Beaulieu ini jelas mengacu pada suku Batak dan Batak yang dimaksud adalah Simalungun yang pada masa itu dibawah kuasa Raja Marompat.

Informasi tentang Nagur mengemuka kembali dari laporan 2 orang penerjemah Laksamana Cheng Ho (Zheng He), yaitu Ma Huan dan Fei Xin. Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal datang mengunjungi Pasai berturut-turut dalam tahun 1405, 1408, dan 1412, pada masa inilah kedua orang penerjemah sekaligus pembantunya merekam keberadaan Nagur yang berada di Aceh. Ma Huan dalam bukunya Yingya Shenglan diterbitkan tahun 1416 menceritakan bahwa Raja Nagur (那孤兒 = Na Ku Erh) dinamakan Raja Muka Bertato, menduduki kawasan sebelah barat Sumentala (Samudera Pasai). Sementara di sebelah barat Nagur berbatas dengan Litai (黎代) dan Lambri (南渤利 = Lan Bo Li), jadi posisi Nagur berada di antara Lidai dan Samudera. Wilayah yang mereka duduki hanya terdiri dari satu desa yang berada di pegunungan, penduduknya merajah wajahnya dengan tiga panah hijau, inilah yang melatarbelakangi munculnya sebutan Raja Muka Bertato. Jumlah penduduknya hanya sekitar seribu keluarga, sistem pertanian yang dikembangkan relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Jenis tanaman pertanian adalah padi gogo, binatang ternak yang mereka usahakan adalah babi, kambing, unggas, dan bebek. Tidak ada produk yang diekspor karena merupakan negeri yang relatif kecil. Bahasa dan busana yang mereka gunakan sama dengan masyarakat di Samudera Pasai. Dari pemetaan yang dilakukan oleh penulis letak dari Nagur ini berada di sekitar Pirada (Peudada sekarang) masuk Kabupaten Bireuen Aceh sekarang hingga Pidie. Litai, oleh pengelana lain sering juga disebut Lide, barangkali yang dimaksud adalah Lingga yang berada di Aceh Tengah.

Sedangkan menurut hasil dokumentasi Fei Xin yang dimuat dalam bukunya Xingcha Shenglan yang diterbitkan tahun 1436. Nagur merupakan wilayah Negara Muka Bertato (花面國 = Hua Mian Guo) berbatasan dengan Sumatera dan meluas hingga ke Laut Lambri. Wilayah kedudukannya terletak di daerah pegunungan. Di tengah cuaca yang bervariasi, masyarakat Nagur mampu mengolah sawah mereka dengan baik sehingga mampu menghasilkan beras dengan jumlah memadai. Tidak jauh berbeda dengan keterangan Ma Huan di atas, Fei Xin juga mengatakan bahwa para kaum pria memiliki kebiasaan merajah wajah mereka dengan gambar bunga beserta hewan. Rambut mereka yang panjang dibiarkan terurai, bagian atas tubuh dibiarkan terbuka hanya bagian bawah mengenakan sehelai kain. Sementara kaum wanita mengenakan sehelai kain berwarna dan rambut bersanggul di belakang. Binatang yang mereka ternakkan diantaranya sapi, kambing, unggas, dan bebek. Kehidupan mereka berlangsung harmonis, tidak pernah ditemukan ada upaya penindasan dari pihak yang kuat terhadap golongan yang lemah. Antara kaum bangsawan dengan rakyatnya tidak dibatasi jurang pemisah, mereka bersama-sama mengolah lahan demi kemajuan daerah mereka. Tidak ada kesombongan dari golongan orang yang kaya terhadap mereka yang miskin sehingga tindakan kriminal seperti pembunuhan dan pencurian sangat jarang terjadi. Selain memproduksi bahan pangan, tanah subur yang mereka duduki juga ditumbuhi sejumlah tanaman wewangian dan bunga teratai (tunjung biru). Di kawasan pegunungan banyak terdapat belerang, selain itu mereka juga mengembangkan budidaya ulat sutera dan industri tembikar, dan lain sebagainya. Pada saat kunjungan ini, Laksmana Cheng Ho menyerahkan hadiah dari Kaisar China kepada Raja Nagur dan sejak itu pihak Nagur selalu mengirimkan upeti kepada Kaisar China yaitu Lonceng Cakra Donya.

Dalam buku Yingya Shenglan juga diriwayatkan bahwa Raja Samudera Pasai (蘇門答剌 = Su Men Ta La) pernah diserang oleh Raja Nagur dan berhasil terbunuh dengan panah beracun. Karena puteranya masih kecil dan belum sah untuk meneruskan tahta, maka Ratu Su Men Ta La lantas bersumpah membalas dendam kematian suaminya. Ia membuat sayembara yang isinya menyatakan bahwa ia bersedia menikah dan memerintah bersama siapa saja yang sanggup membalaskan dendamnya. Seorang nelayan tua bersedia mengemban tugas tersebut, dengan berani ia memimpin pasukan guna menewaskan raja Nagur. Dengan dibantu prajurit Su Men Ta La, nelayan tua ini berhasil membunuh Raja Nagur, akibatnya pasukan Nagur mundur dan menyerah kalah. Nelayan ini kemudian menikah dengan Ratu Su Men Ta La, keduanya memerintah bersama dengan gelar Raja Tua. Pada tahun 1409, ia berangkat ke China untuk menyerahkan upeti kepada kaisar China dan kembali ke negerinya pada tahun 1412. Putera raja sebelumnya ternyata tidak setuju dengan pengangkatan Raja Tua sebagai pengganti ayahnya, ia lantas bersekongkol dengan para bangsawan guna menghabisi nyawa Raja Tua. Akibat kematian Raja Tua, kemenakannya bernama Su Gan La (蘇幹剌 = Su Gan La) berniat membalas dendam kematian pamannya, ia kemudian mengumpulkan para pengikut dan melarikan diri ke pegunungan. Tidak lama kemudian pada tahun 1415, Cheng Ho pun datang ke tempat ini dan menangkap Su Gan La. Atas bantuan yang diberikan Cheng Ho, putera raja merasa sangat berterima kasih dan sebagai balas jasa ia kemudian terus menerus mengirim upeti ke Tiongkok.

Gambar 4-7: Situs megalithik Batu Gajah, sebuah batu yang dibentuk menyerupai gajah sebanyak 2 buah, peninggalan agama Buddha ini telah diteliti oleh tim arkeologi Medan yang diperkirakan berasal dari abad 5 Masehi. Situs ini berada di dusun Pamatang desa Nagori Dolog Kecamatan Dolog Panribuan Kabupaten Simalungun.

Indikasi tentang eksistensi Nagur mencuat kembali dari catatan Ferdinand Mendez Pinto (1509-1583), barangkali ia orang Eropa pertama yang pernah pergi ke pedalaman utara Sumatra. Dalam karyanya berjudul Peregrination, ia mencatat kunjungan delegasi raja Batak tahun 1539 kepada kapten Melaka yang baru, Pedro de Faria. Ia melaporkan bahwa raja ini penganut paganisme dan ibukotanya bernama Panayu. Ia juga mengisahkan tentang peperangan sengit antara Aceh di masa pemerintahan Raja Ali alias Sultan Alauddin Riayat Shah Al-Qahhar (1537-1569) dengan seorang Raja Batak (Tuan Anggi Sri Timur Raja) dibantu oleh iparnya yang tampil sebagai panglima perang bernama Aquarem Dabolay (Anggaraim Nabolon Saragih Garingging) dari Partuanon Raya. Peperangan ini berlangsung selama dua babak, pada perang pertama dengan mengandalkan ketangguhan panah beracunnya, Nagur berhasil memukul mundur pasukan Aceh dan mengejarnya hingga sampai ke pegunungan yang dinamai Cagerrendan (Cagar Ardan, pen), di sanalah selama 23 hari pasukan Batak mengepung sisa pasukan Aceh yang masih bertahan. Singkat cerita kedua belah pihak sepakat mengadakan perjanjian damai. Namun tidak berselang 2 setengah bulan, Aceh melanggar perjanjian tersebut dan berniat melakukan pembalasan. Adanya bala bantuan 300 orang Turki menjadikan Aceh semakin bersemangat melawan Raja Batak. Pihak Aceh lalu mensiasati strategi bagaimana agar penyerangan mereka tidak menyebar luas dan diketahui Raja Batak. Lantas dibuatlah suatu dalih bahwa Raja Aceh akan berkunjung ke Pasai, tetapi ternyata tidak ke Pasai melainkan menyerang dua buah kampung Batak bernama Jacur dan Lingua. Dalam penyerangan itu, Aceh berhasil menewaskan 3 orang putra Raja Batak dan tujuh ratus orang hulubalang yang merupakan prajurit terbaik sekaligus orang yang dimuliakan di Kerajaan Batak.

Gambar 8: Situs Batu Hatak, sebuah patung yang dibentuk menyerupai katak. Berada di lokasi yang sama dengan situs Batu Gajah di dusun Pamatang desa Nagori Dolog Kecamatan Dolog Panribuan Kabupaten Simalungun.

Penulis mengakui tidak banyak orang yang mengetahui kerajaan ini, hal ini terjadi akibat kurangnya publikasi dan upaya penelusurannya tidak komperehensif dan berlangsung secara berkesinambungan. Pada masa kejayaannya, wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah pedalaman Simalungun kemudian meluas ke pesisir Sumatera Timur, mulai dari Aceh di utara dan Riau di selatan. Bukti luasnya wilayah Nagur ditandai dengan adanya sejumlah tempat yang identik dengan bahasa Simalungun dan nama Nagur sendiri juga turut diabadikan untuk meneguhkan keberadaan daerah itu adalah bagian dari Nagur. Di tanah Karo, hingga saat ini masih bisa ditemukan sebuah kampung bernama Perjuman Nagur yang pada zaman dahulu dijadikan lokasi perladangan. Kampung kecil ini sekarang masuk desa Bintang Meriah Kecamatan Kuta Buluh, tanah Karo. Masih di kecamatan yang sama ada juga kampung bernama Bah Turak dan Bah Gorih yang kini beralih menjadi Beturah dan Bagerih, juga Liang Dahar, Liang Hajoran, dan Nagori Jahe. Di tanah Pakpak tepatnya di Kecamatan Si Empat Nempu ada sebuah kampung bernama Buntu Raja, kampung yang senama dengan itu juga terdapat di desa Sitanggor Kecamatan Muara Tapanuli Utara. Di Kecamatan Tanjung Beringin Serdang Bedagai, tepat di bibir pantai Bedagai ada sebuah kampung bernama Nagur. Barangkali pada zaman dahulu tempat ini pernah menjadi dermaga dan pusat perdagangan Nagur. Di tanah Simalungun sendiri masih bisa disaksikan ada kampung Nagur Usang, Nagur Bayu, Nagur Panei, Nagur Raja (kini berubah jadi Naga Raja), dan Mariah Nagur. Di Tiga Runggu dan Tiga Dolog juga terdapat sebuah kampung bernama Parhutaan Nagur, di Tiga Dolok lokasinya agak jauh masuk ke pedalaman. Ada yang menduga kedua tempat ini pernah menjadi pusat pemerintahan Nagur. Di provinsi Riau ditemukan banyak nama tempat yang berlatar "pamatang" yang berarti badan atau ibukota, ini menjadi salah satu indikator yang membuktikan betapa luasnya pengaruh Nagur di zaman dahulu. Ada Pematang Peranap, Pematang Pudu, Pematang Reba, Pematang Tinggi, Pematang Tebih, dan Pematang Ibul.

Gambar 9-12: Makam Raja-Raja Nagur dan keturunannya yang diperlihatkan oleh Tuan Subirman Damanik disaksikan tim Komunitas Jejak Simalungun.

Kemajuan dan Perkembangan Nagur

Sebagai sebuah kerajaan yang besar dan kuat, Nagur sempat mengalami kejayaan selama lebih dari seribu tahun, di masa keemasannya wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari Aceh di utara dan Riau di selatan hingga masuk ke pedalaman Danau Toba di barat dan perairan Selat Melaka di sebelah timur. Adapun lokasi yang menjadi pusat pemerintahan Nagur (pamatang), para peneliti sejarah Simalungun umumnya menyepakati bahwa lokasi awal yang menjadi ibukota Kerajaan Nagur berada di sekitar Pamatang Kerasaan sekarang masuk Kecamatan Pamatang Bandar tidak jauh dari kota Perdagangan, hal ini dibuktikan dengan adanya konstruksi tua bekas Kerajaan Nagur dari hasil ekskavasi yang dilakukan oleh para arkeolog (Holt 1967:26; Tideman, 1922:51). Sungai Bah Bolon yang berada di hilir daerah ini menjadi pelabuhan Nagur, di mananya alirannya terus sampai ke Selat Melaka. Lokasi lain yang diindikasikan pernah menjadi pusat Kerajaan Nagur adalah Partimalayu, Nagur Usang, Tiga Dolog, Tiga Runggu, dan Naga Raja. Tuan Subirman Damanik menjelaskan pada masa Raja Nagur terakhir istananya dibangun di tiga tempat, pertama di Parti Malayu yang didiami oleh permaisuri yang pertama, kedua di Raya, dan ketiga di Mariah Nagur. Biasanya perkampungan Nagur berada tidak jauh dari perairan, ada 3 tipikal pemukiman yang wajib didirikan oleh Raja Nagur, pertama bernama Silaon yang menjadi lokasi pemujaan kepada para luluhur, kedua Sigundaba menjadi tempat pemujaan bagi para panglima (puanglima) dan hulubalang (parsaholat), dan ketiga dinamakan Sigintora, lokasi ini dijadikan tempat pemujaan para panglima dan hulubalang untuk menghalangi datangnya penyakit dan menghalau musuh. Lokasi untuk balai pertemuan dengan para raja dipusatkan di Talun Parhuppuyan (Dolog Tinggi Raja).

Pada seminar sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara yang diadakan di Perlak Aceh Timur tahun 1980, sejarawan Anas Macmud menyampaikan makalahnya di hadapan para tokoh ulama dan sejarawan lainnya seperti Prof. Dr. Hamka, Prof. Ali Hasjmy, Dr. Ruslan Abdul Gani, Tengku Luckman Sinar, SH (budayawan Melayu), Muhammad Said (pendiri Harian Waspada), Dr. Lance Castles, Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA, Prof. Dr. K. Das Gupta, Prof. Dr. Wan Hussein Azmy, Prof. A. Madjid Ibrahim, Abu Hassan Sham, MA, Drs. UU Hamidy, Drs. Zainuddin Mard, Timur Jailani, MA, Tengku Abdullah Ujung Rimba, Zainal Arifin Sregar, BSc, dan Prof. Ismail Hussein. Dia menceritakan secara singkat tentang Nagur sebuah kerajaan pedalaman yang wilayahnya sangat luas dan selalu bergandengan dengan Haru dan Pasai. Untuk membuktikan keberadaan Nagur, dia menyebutkan nama-nama tempat di Simalungun seperti Nagur Usang, Nagur Bayu, Parhutaan Nagur di Tiga Dolog dan Tiga Runggu. Dia juga menyinggung tentang Panai, sebuah kerajaan tua yang tercatat dalam "Tanjore Inscription" yang dibuat pada masa Raja Rajendra Chola I dan berangka tahun 1030 M. Dalam hubungannya dengan Panai, dia juga menyebutkan tentang banyaknya nama Panai di Simalungun.

Pada masa kejayaannya, selain dengan Tiongkok, Nagur juga pernah menjalin interaksi perdagangan dengan Kerajaan Persia memperdagangkan komoditi ular tikar (balun bigou/bidei) untuk dijadikan permadani yang dilatih agar bisa terbang dan  membawa dua orang di punggungnya. Ukuran ular ini 7 meter dan lebarnya 1,5 x 3 meter. Bukti adanya pengaruh budaya Persia ke tanah Simalungun, diantaranya banyaknya ditemukan terminologi "bandar", terminologi Persia ini kemudian diabadikan menjadi nama pemukiman di Simalungun seperti Mariah Bandar, Marihat Bandar, Bandar Masilam, Pamatang Bandar, Nagori Bandar, Bandar Huluan, Bandar Kaheian, Bandar Buntu, Bandar Silou, Bandar Jawa, Bandar Tongah, Bandar Tinggi, Bandar Siantar, Bandar Hataran, Bandar Manik, Bandar Hinalang, Bandar Tongging, Bandar Maruhur, Bandar Nagori, dan Bangun Bandar. Dalam Pustaha Parpadanan Na Bolag, Kerajaan Nagur digambarkan sebagai suatu kerajaan yang kaya dan jaya, di mana ibu negerinya (pamatang) memiliki benteng yang kuat, berpagar besi, pintu gerbangnya disebut "layar-layar" terbuat dari "Tumbaga Holing" dan gemboknya terbuat dari perak. Sementara Pustaha Parmongmong Bandar Syahkuda seperti yang dituturkan Tuan Alep Damanik menyatakan bahwa istana Raja Nagur berada di Tolbak Pargambirian.

Pada zamannya, daerah Nagur terkenal dengan kekayaan sumber daya alamnya dan menjadi komoditi yang sering diperdagangkan kepada kerajaan dan bangsa lain dari luar Sumatera, seperti rotan, damar, sena, gaharu, nibung, jelutung, merbau, rambung merah (balata), dan juga produsen madu yang berlimpah yang dibudidayakan dengan memanfaatkan pohon rambung merah dan kayu raja (tualang) sebagai sarang lebah madu (huramah). Madu yang diperdagangkan Nagur terbagi dua, ada madu lebah yang terasa manis dan ada juga madu lalat (bonbon) yang terasa asam manis. Sarang madu yang disebut hotihoti juga turut diperdagangkan, sarang madu ini digunakan untuk pembungkus obat, logam berharga, dan untuk bahan baku lilin. Tempat penyimpanan obat dan barang berharga biasanya ditaruh dalam lubang tanduk atau lubang tulang hewan dan bambu (abalabal), setelah di tutup rapat bagian luar ditempeli sarang madu. Adapun getah rambung merah biasanya digunakan untuk merekatkan kulit kayu gaharu untuk membuat kain, getah yang akan diperdagangkan diolah dengan cara batang-batang rambung merah dibelah berkeping-keping getahnya dibiarkan mengalir. Tiga minggu kemudian karet tersebut dikelupas lalu ditaruh dalam peti, di atas getah tersebut diletakkan kayu besar untuk menekannya dan dibiarkan selama tiga minggu agar semuanya merekat menjadi satu. Getah rambung merah juga diolah untuk jadi minyak tanah dengan cara dicairkan, getah damar dimasak dicampur dengan air perasan serai (sanggesangge) dan air perasan buah jarak (dulang) yang sebelumnya ditumbuk halus. Setelah getah cair dapat digunakan sebagai minyak tanah. Pihak Nagur juga menjual getah dari kayu damar yang dibungkus dengan pelepah pinang dan juga sihat (lempengan seperti damar yang berasal dari semut biasanya digunakan untuk perekat gagang pisau dan obat muntaber). Komoditi alam ini kemudian diangkut melalui sungai dan sering memanfaatkan goa yang ada di pinggir sungai sebagai gudang dan transit sementara sebelum sampai ke laut. Setelah sampai di laut, para saudagar Nagur juga memanfaatkan pulau-pulau kecil seperti pulau Batu Beranak dan pulau Pandan sebagai gudang dan juga  pelabuhan.

Kerajaan Nagur pada zaman dahulu terkenal sebagai tempat mencari penghidupan (pangaldungan) bagi para penduduk baik di lingkungan Nagur maupun dari luar Nagur. Raja Nagur sangat peduli terhadap kesejahteraan rakyatnya, tidak ada penindasan dan kesewenangan dari keluarga bangsawan terhadap golongan yang lemah, meski sistem pemerintahan yang dijalankan bersifat feodal, namun kebenaran sebagai falsafah hidup tetap menjadi pedoman dalam menjalankan pemerintahan. Falsafah hidup "Habonaron Do Bona Hajungkaton Sapata" sudah mengejewantah dalam kehidupan orang Simalungun sejak lama. Keselarasan hubungan yang diwujudkan dalam penerapan falsafah adat "Tolu Sahundulan Lima Saodoran Waluh Sabanjaran" menjadi pilar perekat antara rakyat dengan para pemimpinnya. Di bawah kekuasaan Raja Nagur, rakyatnya hidup aman, damai, dan sentosa, keselamatan mereka terjamin, kekayaan alam melimpah, dan ketersediaan bahan pangan memadai, semua inilah yang mendasari rakyat Nagur hidup sejahtera. Raja Nagur juga menjalin persahabatan dengan kerajaan-kerajaan tetangga seperti Sriwijaya dan Panai, ketika Panglima Indrawarman bersama pasukannya datang ke Simalungun dalam rangka misi ekspedisi Pamalayu, Raja Nagur memanfaatkan jasa para pasukannya dari kalangan suku Jawa berjumlah 1.000 orang untuk ditugaskan memindahkan bagian hulu sungai Bah Humpawan ke sungai Bah Ambalotu. Sebelum melakukan pengerjaan, mereka mengadakan perundingan di Talun Parhuppuyan (Dolog Tinggi Raja). Sungai Bah Ambalotu diperbesar bertujuan agar dapat mengairi persawahan di sekitar aliran sungai tersebut sampai ke Dolog Masihol. Mereka menamakan sungai tersebut dengan Ambalotu mengikuti nama sungai Ambalotu di Asahan, anak sungai Silou yang menjadi basis seluruh bala tentara Jawa. Peristiwa ini juga mengawali munculnya nama kampung Saribu Jawa di Simanabun, Silou Kahean.

Dalam pustaha Nagur tercatat sejumlah nama tokoh yang menjadi ingatan di kalangan keturunan Nagur, seperti Sang Majadi Damanik, Saduk Dihataran Damanik, Sang Mahiou Damanik, Jigou Dihataran Damanik, Sangma Doriangin Damanik, dan puteri Anggaraini boru Damanik. Dalam Pustaha Parmongmong Bandar Sahkuda dikisahkan bahwa Sang Ni Alam disebut Raja Pasir Samidora (Samudera Pasai) menikah dengan puteri Raja Nagur, Sang Majadi Damanik yang bernama Sang Mainim, karena isterinya enggan memeluk Islam lalu memutuskan pergi meninggalkan Pasai dan kembali ke Kerajaan Nagur. Akibatnya meletus perang tanding antara Raja Pasir Samidora dengan Raja Nagur. Adapun cabang-cabang marga Damanik yang hidup di zaman Nagur adalah Damanik Nagur, Rampogos, Sola, Malayu, Sarasan, Rih, Hajangan, Simaringga, Usang, dan Bayu. Kemudian keturunan Damanik yang mendiami pulau Samosir kembali hijrah ke tanah Simalungun, seperti Limbong, Sagala, Malau, Manik, Ambarita, dan Gurning. Pada masa terjadinya pergolakan di lingkungan Kerajaan Nagur, rakyatnya banyak mengungsi ke Pulau Samosir untuk menyelamatkan diri, proses migrasi ini terjadi sekitar tahun 1200 Masehi. Pendapat ini didukung oleh hasil penggalian arkeologi yang diadakan oleh Badan Arkeologi Medan beberapa tahun lalu di Sianjur Mulamula, tempat ini oleh orang Toba diyakini sebagai asal mula leluhur mereka Si Raja Batak. Dari hasil ekskavasi dan penggalian tersebut diketahui ternyata Sianjur Mulamula baru dihuni manusia sekitar 600 (/+-200) tahun yang lalu. Kepala Balai Arkeologi Medan Ir. Ketut Wiradyana, M.Si menegaskan bahwa Pusuk Buhit tidak pernah menjadi tempat hunian karena wilayah tersebut dianggap sakral. Hasil temuan ini sudah diseminarkan di Universitas Negeri Medan (UNIMED) tanggal 9 Januari 2015 lalu dengan tema "Telaah Mitos dan Sejarah Asal Usul Orang Batak", tampil sebagai pembicara Prof. Dr. Uli Kozok dari University of Hawai, Kepala Balai Arkeologi Medan Ir. Ketut Wiradyana, M.Si, dan Guru Besar Antropologi UNIMED Prof. Dr. Bungaran Antonius Simanjuntak.

Bangun dan Runtuhnya Nagur

Pada abad 13, kerajaan ini mulai mengalami kemunduran pasca berkembangnya Kerajaan Haru, Perlak, dan Pasai, persaingan kekuasaan semakin sengit dan peperangan juga kian marak. Para penguasa-penguasa baru ini sangat berperan dalam merongrongkan Nagur, akibatnya Nagur semakin terpuruk. Nagur yang sebelumnya sempat mengalami kelumpuhan akibat serbuan Kerajaan Chola dari India Selatan yang datang menyerang ke pulau Sumatera selama 2 kali yaitu tahun 1017 dan 1025 Masehi. Seperti yang direkam oleh penjelajah asal Maroko, Abu Abdullah Muhammad bin Batuthah (1304-1368) yang berkunjung ke Samudera Pasai tahun 1345 Masehi, kemudian meneruskan perjalanannya ke Kanton Cina lewat jalur Malaysia dan Kamboja. Dia mengisahkan akibat dari agresi Chola terhadap Nagur, kerajaan ini menjadi porakporanda yang mengakibatkan daerah taklukannya banyak yang memerdekakan diri. Pihak Chola mengetahui bahwa Kerajaan Panai yang berpusat di Padang Lawas dan Nagur di Simalungun merupakan kerajaan yang kuat dan cukup berpengaruh di pulau Sumatera dan menjadi sekutu dari Sriwijaya yang sama-sama penganut agama Buddha. Pada prasasti Tanjore, Nagur disebut dengan Nakkawaram, kerajaan yang memiliki kebun madu berlimpah. Keturunan Damanik Sola yang berdiam di Pulau Batu Beranak saat diserang pasukan Chola, Raja Nagur lalu memerintahkan agar membalas serangan itu dengan senjata panah beracun (sior ipuh). Pasukan Nagur mengejar bala tentara Chola sampai ke Pulau Pandan, mereka yang terjebak di pulau itu tiada seorang pun yang selamat, seluruhnya gugur akibat keganasan panah beracun dari pasukan Nagur. Keturunan Damanik yang selamat dari serangan Chola ini kemudian dikenal dengan Damanik Sola. Pulau Batu Beranak yang menjadi kediaman golongan Damanik Sola ini berada di seberang Pagurawan Kabupaten Batubara, dapat ditempuh dengan menggunakan kapal ferry. Sekarang pulau ini sudah tidak lagi berpenghuni hanya sejumlah pekuburan tua yang bisa kita saksikan di tempat ini. Pada masa itu wilayah penyebaran keturunan Nagur sampai ke Pulau Berhala yang kini masuk Kabupaten Serdang Bedagai dan juga Pulau Pandan yang berada di sebelah utara Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batubara, kurang lebih 3 jam dari dermaga Tanjung Tiram. Demikian juga Pulau Sembilan yang kini masuk daerah Perak Malaysia (Pulau Sembilan terdiri dari Pulau Rumbia, Lalang, Saga, Buluh, Samak, Nipis, Agas, Miskin dan Nyamuk), hingga Pulau Sarasan dekat Kalimantan yang kini masuk Kecamatan Natuna Kepulauan Riau. Pulau Sarasan inilah menjadi tempat pelarian golongan Damanik Sarasan sewaktu mereka diburu oleh para musuh Nagur.

Untuk menstabilkan kedudukannya, wilayah kekuasaan Nagur di sebelah hilir hingga Asahan diserahkan kepada panglimanya marga Saragih yang kemudian mendirikan Kerajaan Batangiou, peristiwa ini terjadi sekitar abad 12. Raja Batangiou ini menikah dengan puteri Nagur dari keturunan Damanik Simargolang yang berkuasa di Tanjung Balai (Urung Balei) hingga Pulau Raja Asahan. Wilayah kekuasaan Batangiou ke barat berbatasan dengan Nagur, ke utara mulai dari Pamatang Tanoh Jawa sampai daerah Batu Bara dan ke timur berbatasan dengan Kerajaan Simargolang hingga ke Pantai, kerajaan ini memerintah selama sebelas generasi. (Tideman, 1922: 12). Wilayah Nagur kian menyusut hanya mencakup Dolog Silou, Raya, Panei, Purba, dan Silima Huta (Moolenburg, 1909: 555) terus ke tanah Karo, sebagian tanah Pakpak, dan pesisir timur dari Tebing Tinggi sampai Langkat. Brahma Putro dalam bukunya Karo Dari Jaman Ke Jaman mengemukakan, pada zaman dahulu di tanah Karo terdapat Kerajaan Nagur yang diperintah oleh marga Ginting Pase, yang berpusat di Kuta Pase dekat Sari Nembah Kecamatan Munte sekarang. Kerajaan ini tunduk dibawah kekuasaan Nagur yang berpusat di Tiga Runggu, wilayah kekuasaannya meliputi sebelah selatan Lau Biang, dari Tongging sampai Kuta Bangun dan pegunungan Sampe Raya. Di daerah pusatnya di Simalungun, muncul penguasa baru yang melepaskan diri dari Nagur seperti Kerajaan Manik Hasian yang berpusat di Simanjoloi, Kerajaan Jumorlang di Jorlang Huluan, dan Kerajaan Riou (Amin Damanik & Jaramen Damanik, 1976 : 11).

Gambar 13: Situs Nagur berupa nisan, tampak pada foto Hendry Damanik dan Franswell Fabo Sumbayak sebagai tim penjelajah. Situs Nagur banyak yang hilang akibat penggusuran yang dilakukan oleh pihak perkebunan pada zaman Belanda.

Pada tahun 1275-1295, ekspansi politik Kerajaan Singosari melalui gerakan ekspedisi Pamalayu juga turut meluas ke kerajaan Nagur, namun tidak diketahui dengan pasti apakah pada masa itu sempat terjadi konflik antara bala tentara Singosari dengan rakyat Nagur. Para pasukan Jawa berkoalisi dengan pasukan Dharmasraya Jambi yang dikomandoi Panglima Kebo Anabrang dan pembantunya Panglima Indrawarman seorang keturunan Melayu-Minangkabau, mereka memusatkan kedudukan di sekitar muara Sungai Asahan (Wibawa, 2001:14-15). Sebelum bergerak ke Nagur, pasukan Indrawarman awalnya menaklukkan daerah Siak, Rokan, dan Kandis di Riau. Kemudian pada tahun 1289 baru perhatian mereka mengarah ke wilayah Andalas (Sumatera Barat), terus Mandailing, Panai, hingga sampai ke Asahan. Pasukan mereka dibagi ke dalam beberapa divisi atau batalyon, sebagian tetap bertahan di Asahan, selebihnya menuju Haru, Kampai, Tamiang, Perlak, Samudera Pasai, dan Lamuri. Jejak-jejak daerah yang dilintasi oleh ekspedisi Pamalayu ini dicatat dengan lengkap pada kitab Negarakertagama (Desawarnana). Di tengah mengemban tugas, di luar dugaan mereka di Singosari terjadi pemberontakan yang dilancarkan oleh Jayaktawang Raja Kediri dibantu puteranya Ardharaja yang menjadi menantu Kertanegara. Peluang ini dimanfaatkan Jayakatwang untuk menggulingkan kedudukan Kertanegara karena pada saat itu sebagian besar senopati (panglima) dan pasukan-pasukan Singosari terlibat dalam ekspedisi Pamalayu, sehingga benteng pertahanan di lingkungan istana Singosari sangat lemah. Mendengar pemberontakan yang terjadi, Kebo Anabrang lalu mengimbau sebagian besar pasukannya agar kembali ke pulau Jawa, Panglima Indrawarman diperintahkan agar tetap bertahan di Sumatera Timur guna menjaga stabilitas daerah-daerah koloni yang berhasil mereka taklukkan.

Kerajaan Pasai turut mengembangkan pengaruhnya ke Sumatera Timur, kelemahan Nagur dijadikan peluang untuk menyerang Nagur, menghadapi invasi Pasai ini Nagur benar-benar kewalahan, sejumlah wilayah kekuasaan Nagur di bagian pesisir berhasil direbut. Pada pertempuran ini panglima Nagur dengan keberaniannya terlebih dahulu memasuki wilayah Pasai, pasukannya tertinggal di belakang, akibatnya pasukan Pasai dengan mudah mengalahkan panglima Nagur, dia kemudian terdesak sampai ke jurang di tepi laut dan terjerumus ke dalamnya. Pasukan Pasai mengira dia sudah mati, namun ternyata dia masih hidup, mereka lalu pergi meninggalkannya. Untuk menyelamatkan dirinya panglima ini kemudian meniup Salohap untuk mengundang sekelompok hewan agar datang membantunya, tidak lama kemudian datanglah seekor penyu yang membawanya ke tepi pantai, kambing hutan membawanya dengan mendekapkan tubuh sang panglima pada perutnya, dan ular sawa melilitnya lalu membawanya ke atas bukit. Sesampainya di bukit, seekor biawak juga datang membantu untuk menunjukkan jalan, kemudian disusul seekor harimau membawanya melewati para musuh, dan terakhir seekor burung tuldik yang bertugas mengacaukan perhatian para musuh agar jejak panglima tersebut tidak diketahui. Berkat jasa besar yang diberikan sekelompok hewan ini sehingga mendasari keturunan Nagur dari golongan Damanik Malayu dipantangkan memakan penyu, kambing hutan, ular sawa, biawak, harimau, dan burung tuldik.

Gambar 14-15: Penulis bersama Kepala Museum Simalungun Bapak Drs. Jomen Purba berdiri dekat batu catur peninggalan Raja Nagur di Museum Simalungun, Kota Pamatang Siantar

Setelah berhasil selamat, perang kembali meletus namun tidak berselang lama, pihak Nagur dan Pasai memutuskan berdamai, pada masa inilah salah seorang keturunan Nagur ikut serta ke Pasai mendampingi perjalanan mereka. Panglima Nagur ini kemudian menikah dengan puteri Pasai dan membentuk pemerintahan baru di sekitar Bireuen meluas hingga ke Pidie yang tunduk pada Pasai. Panglima Nagur yang berangkat ke Aceh ini adalah keturunan dari panglima Nagur yang berperang melawan pasukan Raja Chola tahun 1025 di Pulau Batu Beranak. Keluarganya menitipkannya di Sokkur dan lahir di sana, akhirnya dia juga tumbuh menjadi seorang panglima menghadapi pasukan Pasai. Berbeda dengan penjelasan Nurdin Damanik dan Kadim Morgan Damanik, keduanya mengatakan di tengah pergolakan antara Nagur dan Pasai, salah seorang keturunan Nagur yang dikenal dengan Marah Silou pergi mengundurkan diri ke arah selatan Nagur yaitu Tapanuli Selatan menunggu keadaan aman. Dia berencana ingin mendirikan Kerajaan Nagur kembali, tetapi tidak berhasil karena keadaan di Selat Malaka tidak stabil, di mana terjadi perebutan kekuasaan antara Sriwijaya dan Haru sehingga tidak memungkinkan beroperasinya pelabuhan Sang Pang To di Perdagangan. Dia lalu pergi melanglangbuana ke Aceh, di hulu sungai Pasai daerah Pidie dia membentuk pemerintahan baru yang tetap berinduk pada Kerajaan Nagur yang ada di Simalungun (1200-1285). Dalam buku Tarich Aceh dan Nusantara karangan HM Zainuddin (1961) disebutkan pada tahun 1394 M Laksama Pasai yaitu Rabath Abdul Kadir Syah dari Nagur di Pedir (Pidie) melakukan kudeta dan menyerang Pasai, dia berhasil membunuh Sultan Zainal Abidin Malik Az-Zahir. Laksamana Nagur ini kemudian menggantikan kedudukan sebagai penguasa Samudera Pasai bergelar Maharaja Nagur Rabath Abdul Kadir Syah, dia memerintah selama enam tahun (1394-1400). Raja inilah yang berjasa mempertahankan Samudera Pasai ketika diserang oleh Majapahit tahun 1377-1378. Akibat gejolak ini, sejumlah keturunan bangsawan Pasai yang enggan tunduk dibawah kekuasaannya kemudian pergi meninggalkan Pasai menuju pesisir barat Aceh, di tempat ini mereka mendirikan sebuah pemukiman bernama Kuala Daya. Ali Hasjmy dalam bukunya berjudul "Wanita Aceh" selanjutnya mengisahkan, sang laksamana Nagur ini kemudian dibunuh oleh perwira bawahannya, Syahbandar Pasai bernama Arya Bakoy. Setelah membunuh Laksamana Nagur, dia lalu meminang janda Sultan Zainal Abidin Malik-Az-Zahir dan menjadi ayah tiri Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu. Keberadaan Nagur di Aceh ini pertama kali diteliti oleh Gerrit Pieter Rouffaer (1860-1920), menurutnya Nagur di Aceh termasuk bagian dari Nagur di Simalungun.

Pasca runtuhnya Pasai tahun 1521 Masehi oleh serangan Portugis, Kesultanan Aceh bangkit dan berniat menguasai wilayah Sumatera Timur. Bangsa Portugis datang pertama kalinya ke nusantara dan berhasil menaklukkan Malaka tahun 1511, kejatuhan Malaka ini menjadi pintu masuknya kolonialisasi Eropa di kawasan nusantara. Pada masa inilah, Kerajaan Nagur melakukan kontak perdagangan dengan Portugis. Pada tahun 1539 untuk pertama kalinya Aceh melancarkan gerakan reunifikasi ke seluruh Sumatera Timur, sasaran ekspansinya di antaranya Nagur. Pada peperangan ini, Portugis turut mengerahkan bala tentaranya membantu Nagur dan juga menyediakan persenjataan dan amunisi. Sebagaimana hasil dokumentasi Ferdinand Mendez Pinto yang sudah diuraikan di atas, pihak Aceh sempat mengalami kekakalahan menghadapi kekuatan pasukan Nagur yang bersenjatakan panah beracun. Namun kemenangan ini tidak berlangsung lama, karena bala bantuan dari Turki dan Minangkabau datang membantu memperkuat pasukan  Aceh. Wilayah Nagur yang berada di Aceh berhasil diduduki, yaitu Jakur dan Lingua. Akibat mengalami kekalahan yang sangat berat, Nagur kemudian menyerah dan dengan resmi mengaku tunduk pada Aceh. Sejak itu Aceh sepenuhnya menguasai wilayah Sumatera Timur.

J. Tideman dalam bukunya "Simeloengoen: het land der Timoer-Bataks in zijn vroegere isolatie en zijn ontwikkeling tot een deel van het cultuurgebied van de Oostkust van Sumatra" hal. 52-53, dia mengisahkan tentang salah seorang raja Nagur yang sangat gemar bermain catur. Di mana ketika dia terjebak dalam peperangan dan musuh sudah mendekat, bahkan sudah diperingatkan akan ancaman musuh tetapi dia tetap memperhatikan permainan caturnya. Hanya ungkapan “syah...syah” yang keluar dari mulutnya. Ketika musuh menyerbu bentengnya, dia akan dibunuh apabila tidak menyerahkan batangan emas hasil judinya. Demi keselamatannya, hasil judi tersebut kemudian dia serahkan kepada pihak musuh sehingga mereka saling berebut untuk mendapatkannya, di tengah kondisi ini dia pergi meloloskan diri. Dari sini diketahui bahwa permainan catur sudah lama dikenal orang Simalungun, pada zaman dahulu untuk memindahkan potongan-potongan buah catur diserahkan kepada para budak. Di seberang Bah Sawa menjulang Gunung Datas, sekelompok bukit dengan puncak daratan, gunung ini menjadi saksi bisu kisah permainan catur antara Tuan Batangio dan Tuan Silo Malaha dari Nagur. Keduanya sepakat bermain catur di Buntu Parsaturan dekat Gunung Datas. Pada hari yang disepakati mereka bertemu, masing-masing disertai anak buah yang berjumlah cukup banyak. Dalam permainan ini, keduanya mempertaruhkan 12 orang budak, dalam sehari hanya tiga atau empat kali mereka melakukan permainan bahkan pernah juga hanya dua atau tiga kali. Tanpa disadari, permainan ini berlangsung satu tahun lamanya dan Tuan Silou Malaha akhirnya kalah dibuat Tuan Batangiou. Tetapi Tuan Silou Malaha tidak terima atas kekalahan itu, dia tidak mau membayar taruhan kepada Tuan Batangiou justru dia kembali ke Silou Malaha di dusun Bahal Gajah dekat Siantar.

Tuan Batangiou kemudian berusaha meminta ganti rugi lewat sejumlah warga Silou Malaha dan membawa mereka ke Batangiou. Karena tidak menemukan penyelesaian, akibatnya meletuslah perang. Tuan Batangiou memiliki Bodil Pamuras (sejenis senjata api dengan Tunam, bahan pembuat mesiu yang banyak ditemukan di makam kaum bangsawan Simalungun). Peperangan ini berlangsung selama setahun, kuda Tuan Batangiou terluka parah dan menjadi pincang. Karena itu tempat ini disebut Huda Sitajur, ketika musuh mendekati benteng Tuan Batangiou, Huda Sitajur sudah tidak bisa lagi berfungsi seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, seorang budak bernama Si Jalak Lenteng membawa kuda buruan bernama “Huda Bunga-Bunga”. Bersama kuda ini dia membawa lari Tuan Batangiou ke Siantar, namun keberuntungan tidak berpihak pada mereka, mereka berhasil tertangkap dan terbunuh. Sebelum kematiannya, Si Jalak Lenteng terus berusaha menembaki musuh dengan Bodil Pamuras, meskipun senjata itu tidak berisi peluru maupun mesiu, namun dengan penuh keberanian dia berteriak “Dengar kami, kami masih memiliki sedikit mesiu dan juga peluru. Apabila ada yang maju, mereka akan tertembak; dia tidak akan bersuara kecuali bumi yang memiliki tubuhku dan angin memiliki jiwaku, hanya nyamuk yang datang dan rayap yang merayapiku, saya akan mati bila waktunya tiba”. Di tengah kericuhan itu, warga Batangiou lantas memilih meninggalkan kampung mereka termasuk penduduk yang mendiami Gunung Datas menuju Onggo Sipoldas Panei.

Bukti Arkeologis Tentang Nagur

Pada saat penggalian dan penjelajahan yang dilakukan Tim Komunitas Jejak Simalungun yang diketuai Sultan Saragih bersama Hendry Damanik dan Franswell Fabo Sumbayak terhadap situs Nagur di desa Sokkur Raya Kahean, Simalungun. Didampingi Tuan Subirman Damanik, mereka berhasil mendokumentasikan sejumlah situs Nagur seperti Liang Bokkou yang pada zaman dahulu menjadi tempat hunian penduduk Nagur sebelum mengenal pembuatan rumah, mereka belum mengenal sistem pertanian hanya memakan tumbuh-tumbuhan dan berburu binatang dan ikan di sekitar Unong Sidamanik jaraknya 20 meter dari lokasi goa. Ada juga Liang Sigundaba atau Liang Hamateian, tempat penyimpanan abu jenazah 46 keturunan Raja Nagur. Jalan masuk dari mulut gua sekitar 90 x 90 centimeter. Lorong ini sepanjang 5 meter, setelah itu ditemukan ruang gua berukuran lebih kurang 4 x 3 meter dengan ketinggian ke langit-langit sekitar 2 meter, tidak jauh dari situ mereka kembali menemukan lorong sebesar 1 x 90 centimeter sepanjang 6 meter. Di kebun Parbatu (dekat Tebing Tinggi) terdapat dua gua peninggalan Nagur yang bernama Liang Tanggiripan Tunggal dan Liang Tanggiripan Boruboru. Selain itu ada juga situs batu nisan peninggalan Nagur, situs Nagur banyak yang hilang akibat penggusuran yang dilakukan oleh pendirian perkebunan dan pabrik-pabrik.

Gambar 16: Liang Bokkou, merupakan tempat tinggal dari penduduk Nagur sebelum mengenal pembuatan rumah, mereka belum mengenal sistem pertanian hanya memakan tumbuh-tumbuhan dan berburu binatang dan ikan di sekitar Unong Sidamanik jaraknya 20 meter dari lokasi goa.

Jasad para penguasa Nagur, mulai dari Darayad Damanik hingga 45 keturunan sesudahnya ditempatkan dalam peti kayu bernama Batang Tahuran. Peti jenazah ini terbuat dari kayu gelondongan berbentuk bulat yang dilubangi dengan pahat, usai jenazah dimasukkan ke dalam peti lalu diletakkan dalam posisi miring di sebuah gubuk yang telah dipersiapkan. Posisi sebelah kaki lebih rendah dan di bagian ujung terdapat lobang yang dihubungkan dengan sebilah bambu sebagai selang, bagian bawah dihubungkan dengan lobang ke tanah. Posisi kepala diletakkan lebih tinggi, pada lobang yang dihubungkan dengan bambu lalu dihubungkan ke ruang perapian di bagian bawah agar asap dapat masuk ke dalam peti jenazah. Sesuai kesepakatan jenazah itu kemudian dibiarkan dalam peti hingga beberapa waktu, setelah jasadnya menjadi kerangka lalu dipindahkan ke dalam Batang Tahuran berukuran + 2 hasta lalu ditempatkan di bagian depan rumah dekat pintu masuk (luluan). Pihak keluarga kembali berembug untuk memindahkan kerangka tersebut ke dalam Batang Tahuran Batu (peti batu yang telah dilubangi dengan pahat) untuk ditempatkan di dalam Liang Silaon yang berada di Sokkur. Prosesi terakhir, setelah seluruh tulang belulangnya remuk menjadi abu, abu tersebut lalu dibungkus dengan kulit kayu gaharu (alim) oleh saudari ayahnya (amboru) untuk dimasukkan ke dalam goa kering (Liang Nakorah) di Liang Sigundaba. Gua ini merupakan tempat pemujaan bagi leluhur  Nagur generasi awal. Selain ini ada lagi sebuah gua bernama Liang Sigundaba Parpogeian yang menjadi lokasi pemujaan para panglima dan hulubalang. Wafatnya Raja Nagur generasi ke 46 menjadi akhir dari kejayaan Nagur, seiring dengan itu runtuhlah bilik-bilik tempat penyimpanan kerangka dalam goa kering di Liang Silaon, maka kerangka tujuh generasi sesudahnya tidak lagi ditempatkan dalam goa kering melainkan hanya ditaruh dalam Batang Tahuran Batu. Upacara adat (horja bolon) yang diselenggarakan sekali dalam 7 tahun, terakhir diadakan di penghujung abad 19.

Gambar 17: Liang Sigundaba atau Liang Hamateian, tempat penyimpanan abu jenazah 46 keturunan Raja Nagur. Jalan masuk dari mulut gua sekitar 90x90 centimeter. Lorong ini sepanjang 5 meter. Setelah itu akan ditemukan ruang gua berukuran lebih kurang 4x3 meter dengan ketinggian ke langit-langit sekitar 2 meter, setelah itu kembali menemui lorong sebesar 1x 90 centimeter sepanjang 6 meter.

Di Sorba Jahei ditemukan kepingan batu nisan berbentuk trisula dekat sebuah makam di kawasan perkebunan P.T. Good Year, terdapat ukiran pinarmombang pada trisula ini yang melambangkan mahaguru perwujudan dari Dewa Ganesha yang mampu mengatasi berbagai masalah di tengah masyarakat. Ukiran bagian bawah adalah jombut uwou melambangkan burung merak yang mewakili Dewa Kumara (dewa perang dan penolak bala) yang berarti bentuk penghormatan dan penghargaan. Bila dilihat dari bentuknya, patung ini sepertinya lebih tua dari situs peninggalan Buddha yang ada di Portibi Padang Lawas Utara. Di wilayah ini pada zaman dahulu menjadi benteng pertahanan (hubuan) Kerajaan Nagur, benteng pertahanan ini dikelilingi oleh parit yang dibentuk dengan cara menaburkan serbuk racun Sibiangsa, tanah akan longsor dengan sendirinya bila ditaburi serbuk ini hanya pintu gerbang (horbangan) yang tidak ditaburi serbuk sibiangsa. Di kawasan ini ditemukan banyak kuburan batu berusia tua dan juga ukiran aksara kuno, aksara ini berbeda dengan aksara Simalungun yang kita kenal sekarang ini dan kemungkinan usia aksara ini lebih tua. Selain itu di sekitar patung dan kuburan batu tersebut terdapat sejumlah peluru umbalang (sejenis alat pelontar yang diayun).

Kemudian kompleks megalithik batu gajah peninggalan agama Buddha yang telah diteliti oleh tim arkeologi Medan yang diperkirakan berasal dari abad 5 Masehi. Situs ini berada di dusun Pamatang desa Nagori Dolog Kecamatan Dolog Panribuan Kabupaten Simalungun yang diapit dua aliran sungai, Bah Kisat dan Bah Sipinggan. Pada masa Kerajaan Nagur, kompleks ini menjadi tempat pelaksanaan upacara pemujaan roh leluhur. Untuk mempermudah menuju setiap undakan maka dibuatlah tangga, bentuk-bentuk binatang tertentu memiliki makna simbolik masing-masing. Sedangkan ceruk-ceruk di dinding dan sekitar batu agasan diperkirakan merupakan tempat peletakan sesaji atau persembahan. Jenis-jenis binatang yang dipahatkan adalah binatang yang hidup di daerah sekitar situs, yaitu gajah, harimau, dan ular. Bangunan berundak terdiri dari unsur pahatan di atas permukaan batu berupa relief, patung, dan kubur. Di lokasi yang sama terdapat juga situs Batu katak, Batu Ulog, Batu Losung, dan Batu Karang yang seluruhnya berjumlah 1 buah. Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda ditetapkan sebagai daerah larangan atau Natuurmonument pada tahun 1924, surat bersertifikat Zelfbestuur Besluit 1924 No. 24 tanggal 16 April 1924. Pada sertifikat diterangkan luas area 0,80 ha, pihak pemerintah telah menetapkan daerah tersebut menjadi pusat Cagar Alam dan saat ini menjadi wilayah kerja Seksi Wilayah Konservasi II Rantau Prapat, Balai KSDA Sumatera Utara II.

Relik-relik peninggalan Nagur lainnya, masih dapat dijumpai berupa konstruksi tua bekas kerajaan Nagur di Pamatang Kerasaan, yang telah dilakukan ekskavasi oleh para arkeolog (Holt 1967:26; Tideman, 1922:51). Hasil ekskavasi yang dilakukan Asisten Residen Simalungun J. Tideman di sekitar Buntu Parsaturan di aliran kanan sungai Bah Sawa (daerah Panei) arah hulu dari Panei, dia menemukan sebuah patung batu dalam sikap duduk (patung itu kini berada di Balai Pengadilan Pematang Siantar). Demikian juga di desa Bah Bolak juga ditemukan bidak batu kembar yang merupakan istri dan anak raja Nagur (Holt 1967:26;Tideman 1922:51). Kedua Artefak ini masih tersimpan rapi di Museum Simalungun di Pematang Siantar. Keberadaan patung batu catur ini mengingatkan permainan catur yang pernah dilakukan oleh Tuan Sahkuda Bolag dengan Tuan Batangiou dan juga antara Tuan Silou Malaha dengan Tuan Batangiou. Adapun Tuan Sahkuda Bolag dan Tuan Silou Malaha adalah para pembesar Kerajaan Nagur.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Kerajaan Nagur adalah salah satu kerajaan kuno yang pernah berjaya di Aceh dan Sumatra Utara yang diperintah secara dinasti oleh golongan marga Damanik dari suku Simalungun. Hingga hari ini belum diketahui secara pasti kapan berdirinya kerajaan ini, namun yang pasti pada abad 6 kerajaan ini sudah mengadakan kontak perdagangan dengan Tiongkok. Eksistensi Nagur selalu mengemuka dari zaman ke zaman hingga masuknya era kolonialisme Belanda, perjalanan sejarahnya secara apik direkam oleh para penjelajah dan pengelana asing sehingga pemberitaan mengenai Nagur hingga hari ini dapat kita ketahui. Ditambah adanya tradisi lisan mengenai Nagur yang berkembang di kalangan masyarakat Simalungun semakin memperkokoh keyakinan kita akan eksistensi kerajaan ini. Penulis berkeyakinan kerajaan ini merupakan kerajaan tertua di pulau Sumatera yang berdiri jauh sebelum lahirnya Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan. Namun, sayangnya selama ini eksistensinya kurang begitu terekspos akibat kurangnya penggalian arkeologis dan juga ekskavasi ke lokasi peninggalan kerajaan tersebut. Penulis berharap tulisan ini dapat menambah pengetahuan baru bagi mereka yang ingin mengetahui tentang Nagur dan juga menjadi perhatian bagi para sejarawan dan arkeolog untuk menelusuri lebih mendalam mengenai keberadaan kerajaan Nagur. Dan kiranya tulisan ini dapat semakin membangkitkan kesadaran warga Simalungun akan ketinggian peradaban leluhurnya. Khusus kepada pemerintah Kabupaten Simalungun, penulis berharap dengan tulisan ini mereka semakin peduli terhadap situs-situs Nagur yang saat ini banyak terbengkalai dan menyadari bahwa Nagurlah yang menjadi tonggak awal terbentuknya Kabupaten Simalungun.

Daftar Pustaka:

1.Battuta, Ibnu. Travels in Asia and Africa, 1325-1354. Translated by H.A.R. Gibb. London: Routledge & Kegan Paul Ltd. 1957

2. Damanik, Amin dan Damanik, Jaramen. Sidamanik (Turiturianni Oppung Nai Horsik). Pamatang Siantar: 1976

3. Damanik, Jahutar. Jalannya Hukum Adat Simalungun. Pematang Siantar: PD Aslan. 1977

4. Dunn, Rose E. Petualangan Ibnu Battuta, Seorang Musafir Muslim Abad ke-14. Edisi 1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1995

5. Groeneveldt, W.P. Nusantara Dalam Catatan Tionghoa. Jakarta: Komunitas Bambu. 2009

6. Mills, J.V.G. Ying-yai Sheng-lan: The Overall Survey of the Ocean's Shores 1433. Cambridge: Cambridge University Press. 1970

7. Muljana, Slamet. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS. 2006

8. Parlindungan, M.O. Tuanku Rao. Yogyakarta: LKIS. 2007

9. Pinto, F.M. The Voyages and Adventures of Ferdinand Mendez Pinto, (English translation by Henry Cogen). London: J. Macook. 1692

10 Purba, M.D, Letkol. Lintasan Sejarah Kebudayaan Simalungun. Medan: 1986

11. Purba Tambak, T.B.A. Sejarah Simalungun. Pematang Siantar: HKBP. 1984

12. Putro, Brahma. Karo Dari Jaman Ke Jaman, Jilid I. Medan: Yayasan Massa. 1981

13. Tideman, J. Simeloengoen: het land der Timoer-Bataks in zijn vroegere isolatie en zijn ontwikkeling tot een deel van het cultuurgebied van de Oostkust van Sumatra. Leiden: van Doesburg. 1922

15. Vlekke, Bernard H. M. Nusantara a History of the East Indian Archipelago. Cambridge: Harvard University Press. 1943.

16. Zainuddin, H.M. Tarich Aceh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda. 1961

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun