Problematika guru adalah masalah-masalah yang dihadapi guru dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai guru. Permasalahan atau kendala yang dihadapi guru juga bermacam-macam. Mulai permasalahan kemampuan mengajar, kedispilinan, akhlak, dan masalah hubungan sosial. Permasalahan guru tersebut tidak jauh dari empat kompetensi guru. Yaitu kompetensi pedagogis, professional, kepribadian, dan komptensi sosial. Keempat kompetensi ini pula yang harus dimiliki oleh guru. Jika keempat kompetensi tersebut belum terpenuhi, maka akan muncul masalah dalam menjalankan profesinya sebagai guru.
Jauh sebelum pandemi Covid 19, problematika yang dihadapi guru sudah ada dan beraneka ragam. Misalnya lagi dalam kompetensi pedagogis, masih ada guru yang belum faham menyusun dan mempraktikkan rencana pelaksanaan pembelajaran, belum faham bagaimana membuka kelas, melakukan kegiatan inti, dan melakukan penilaian. Belum lagi keterbatasan-keterbatasan lain dari siswa maupun dari sekolah itu sendiri. Problematikanya bermacam-macam.
Bagaimana problematika guru dalam pembelajaran daring?
Pembelajaran jarak jauh atau daring adalah pembelajaran yang dilakukan secara virtual dengan menggunakan perangkat komunikasi dan jaringan internet. Guru dan siswa tidak lagi bertemu dan bertatap muka di dalam kelas melainkan hanya berkomunikasi melalui panggilan suara, panggilan video, atau melalui pesan singkat dari aplikasi media sosial atau dari telepon langsung.
Belum usai masalah yang dihadapi guru ketika pembelajaran tatap muka, guru harus dihadapkan pada masalah baru. Masalah-masalah yang timbul dari pemberlakuan pembelajaran secara daring karena pandemi Covid19. Tantangannya bertambah banyak. Bukan hanya sekadar penggunaan perangkat IT. Tetapi juga persoalan mental pembelajar. Karena bagi guru yang lahir pada tahun 80-an atau 90-an, akan lebih siap dan terampil IT dibanding guru-guru yang mendekati purna tugas. Sekali lagi masalahnya bukan hanya masalah ketrampilan IT.
Terkait problematika guru dalam pembelajaran daring, saya akan mengelompokkan beberapa poin.
Pertama, keterampilan guru dalam penguasaan IT
Dalam pembelajaran daring guru dituntut untuk menguasai berbagai teknologi informasi. Pada umumnya, rata-rata guru hanya menguasai dua aplikasi seperti Ms. Word  dan Ms. Excel, tapi dalam pembelajaran daring, guru harus menguasai beberapa aplikasi baru. Seperti aplikasi zoom, google meet, google classroom, telegram, youtube, editing video, power point, dan lain sebagainya. Bagi guru yang adaptif dan agile, keterampilan IT guru akan semakin bertambah. Apakah kondisi ini sebagai berkah atau musibah? Yang pasti, sebagian guru mengalami kegagapan teknologi. Kemampuan guru dalam penguasaan IT belum merata. Butuh kemauan dan waktu untuk belajar.
Kedua, lambat beradaptasi dalam pembelajaran.
Dalam waktu yang sama guru juga mengalami kendala dalam proses belajar mengajar. Terbatasnya ruang komunikasi menjadikan guru mengalami kebingungan. Guru tiba-tiba menjadi gagap dan gugup meskipun sudah terbiasa mengajar. Menjadi salah tingkah ketika berada di depan kamera. Bingung bagaimana cara memulai dan mengakhiri pelajaran dalam kelas virtual.
Guru juga mengalami keputusasaan dan juga kejenuhan. Apakah siswa di rumah sedang menyimak pembelajaran atau tidak, apakah siswa di rumah memahami materi atau siswa malah asyik main sendiri. Belum lagi, guru juga dituntut untuk membuat RPP daring yang attractive dan menyenangkan. Yaitu rangkaian administrasi pembelajaran yang juga harus dibuat dan dilaporkan. Mengajar dari rumah bukannya beban guru menjadi ringan, tetapi beban guru justeru semakin berat. Termasuk beban moral.
Ketiga, ketuntasan belajar menurun
Ketika pembelajaran diberlakukan secara daring, hampir semua system pembelajaran berubah. Struktur kurikulum berubah, kompetensi pembelajaran dirampingkan, jam belajar dikurangi, materi pembelajaran dipangkas, dan system penilaian sekadarnya. Akibatnya kemampuan kognitif siswa menjadi rendah, keterampialan siswa kurang terukur, dan sikap siswa semakin tidak terkontrol.
Keempat, pengelolaan kelas kurang terkendali
Pembelajaran jarak jauh memang sangat butuh dukungan dari semua pihak. Guru, siswa, dan orang tua harus saling mendukung. Khususnya pada jenjang sekolah dasar dan paud. Peran orang tua dalam pembelajaran daring sangat dominan. Saking dominannya, guru tidak dapat membedakan yang sekolah anaknya atau ibunya.
Sedangkan untuk jenjang menengah, orang tua umumnya kurang dalam pengawasan pada saat pembelajaran. Akibatnya pembelajaran menjadi timpang. Pengelolaan kelas secara virtual tidak maksimal. Siswa hanya absen lalu main sendiri, keluar masuk zoom, video dinonaktifkan lalu ditinggal pergi, tidak mengumpulkan tugas alasan kuota habis, dikirimi pesan melalui Whatsapp, nomer whatsapp guru di blokir. Inilah yang dialami guru. Â
Kelima, hasil belajar siswa kurang terukur.
Pembelajaran yang tidak maksimal mengakibatkan siswa kurang menguasai materi. Hasil belajar siswa menjadi rendah. Standart penilaian sudah diturunkan, tetapi masih ada yang tidak tuntas. Jika ada siswa yang tuntas dalam mengerjakan soal, guru harus percaya bahwa itu hasil kerja mandiri. Karena guru tidak dapat mengawasi secara langsung. Bahkan sebagian guru harus memberikan pemakluman, yang penting siswa mau mengerjakan dan mengumpulkan tugas. Pengetahuan siswa belum dapat diukur secara obyektif.
Keenam, terbatasnya perangkat pembelajaran daring
Yang terakhir, terbatasnya perangkat pembelajaran daring. Dalam pembelajaran daring yang utama dibutuhkan adalah gadget atau handphone, laptop atau PC, dan adanya jaringan internet. Perangakt yang ada juga harus support dengan aplikasi-aplikasi pembelajaran. Â Jika spesifikasi dari perngkat tersebut kurang support, perangkat akan menjadi lambat atau rusak.
Perangkat seperti ini tidak semua guru memilikinya. Belum lagi, jika ada guru yang jauh ‘peradaban,’ bisa jadi sinyal juga tidak ada. Selain itu, kebutuhan kuota juga menjadi ‘dilema.’ Kuota 12 Giga tidak akan cukup untuk menciptakan pembelajaran menarik dan menyenangkan. 24 jam pelajaran perminggu untuk menyapa dan melihat wajah siswa. Tidak cukup kuota belajar dari Kemendikbud. Akhirnya guru harus menghemat kuota. Ini pula yang dirasakan oleh semua orang. Termasuk guru, siswa, dan orang tua.
Kesimpulannya, pembelajaran daring belum menjadi solusi dari persoalan pendidikan. Bahkan, sekalipun di beberapa sekolah sudah menerapkan blended learning (campuran antara luring dan daring) tetap saja masih ada kendala. Jika problematika di atas belum bisa diatasi dengan baik, yang terjadi adalah input siswa rendah, proses belajar tidak maksimal, penilaian tidak standar. Bila ini berlangsung lama, dikhawatirkan kualitas SDM menjadi rendah. Dan bisa jadi apa yang kita khawatirkan selama ini akan benar-benar terjadi yaitu  lost generation.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H