Mohon tunggu...
ᶜᵒᶜᵒмеo
ᶜᵒᶜᵒмеo Mohon Tunggu... Freelancer - Cogito ergo scribe

More Coffee More Beer

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menganalisa Motif Kehadiran Setya Novanto serta Fadli Zon dalam Kampanye Donald Trump

6 September 2015   06:50 Diperbarui: 9 September 2015   08:07 4631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

"Ketika itu menuju ke ranah politik, hanya ada satu kepentingan, yakni Politik"– Andreas

 

Politik dapat membingungkan, dalam politik tidak ada satu hal pun yang pasti bahkan tidak ada kawan maupun lawan yang abadi. Tapi satu yang pasti, untuk menyimpulkan benang merah dari semua kegiatan politik yang terjadi kita bisa menguraikannya dengan menelaah dari sudut pandang komunikasi politik.

Apakah salah jika Setya Novanto serta Fadli Zon menghadiri kampanye Donald Trump sebagai kandidat presiden Amerika Serikat? Apakah mereka telah melampaui batas etika dalam berpolitik?

Pertanyaan tersebut jelas menjadi trending topic bagi publik yang di masa kekinian sangat kritis terhadap dinamika politik di Indonesia.

Kampanye merupakan produk dari komunikasi politik itu sendiri dan komunikasi politik merupakan turunan dari bidang ilmu politik. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kegiatan menghadiri sebuah kampanye—siapa pun anda, apa pun jabatan anda, dari mana anda berasal—maka itu merupakan kegiatan politik.

Tidak sulit walaupun membutuhkan waktu agak lama untuk menganalisa motif yang dimiliki Novanto serta Zon dalam rangka kehadiran mereka di dalam kampanye Donald Trump sebagai kandidat presiden Amerika Serikat.

Boleh saja Fitra mempertanyakan kehadiran mereka dalam kampanye Donald Trump, apalagi keduanya melakukan kunjungan kerja ke Amerika Serikat dengan menggunakan uang negara atau bahkan beberapa anggota DPR yang pro pemerintah terkesan uring-uringan atas sikap dari pimpinan lembaganya itu. Semua media mengabarkan demikian, semua media mencoba membangun opini publik agar publik bisa menilai kejadian yang telah berlangsung.

Publik jelas setuju bahwa kegiatan politik tersebut telah memalukan bangsa Indonesia karena dilakukan oleh pejabat negara. Untuk menetralisir keadaan bahkan Staf Khusus Ketua DPR Bidang Komunikasi Politik, Nurul Arifin mengatakan, kehadiran pimpinan DPR ke dalam kampanye kandidat presiden Amerika Serikat Donald Trump bukan merupakan bentuk dukungan politik. Kunjungan tersebut, kata dia, semata dalam rangka silaturahim (dengan penekanan bahwa sebagai orang timur yang memiliki kesantunan) dan memperkuat investasi Trump di Indonesia.

Terlepas dari itu semua mungkin terdapat fakta menarik yang bisa saya paparkan atas kejadian yang telah berlangsung.

Tidak menarik untuk menyalahkan integritas maupun etika yang mereka miliki. Membicarakan uang negara yang mereka pakai saat melakukan kunjungan kerja ke Amerika Serikat? Biarlah, semua pejabat negara pun akan berlaku demikian di sela-sela kunjungan mereka yang berlabel “kunjungan kerja”. Lebih menarik untuk menganalisa motif yang telah mereka lakukan. Jika kita masuk lebih dalam terhadap substansi permasalahan tersebut maka akan tersaji beberapa nama yang satu tahun lalu familiar di telinga publik. Namun, salah satu nama menjadi ketertarikan saya untuk menganalisa permasalahan ini. Ya, dia adalah Rob Allyn.

***

Episentrum Politik Amerika Serikat

Sekedar menyegarkan memori kita, Rob Allyn merupakan konsultan politik ternama yang pernah berperan di belakang kesuksesan George W. Bush (George Bush senior) ketika terpilih menjadi presiden Amerika Serikat di tahun 1994 dan dia juga memiliki peran khusus dalam kampanye Prabowo Subianto saat pemilu presiden di Indonesia setahun lalu—walaupun berbuah kegagalan. Di samping itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa Allyn merupakan rekan bisnis dari adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo.

Nama lain yang saya temukan adalah, James Riady. Di mata publik, Riady merupakan sosok pengusaha Indonesia yang terkenal di samping Hashim, tentunya. Sama-sama seorang hartawan (tycoon), namun antara Riady maupun Hashim memiliki sikap politik yang berseberangan di pemilu lampau. Jika Hashim mendukung Prabowo maka Riady memilih berdiri di sisi Joko Widodo. Memunculkan nama Riady bagi saya di sini merupakan cameo untuk menyatukan kepingan-kepingan analisa saya.

Per Peter Alford di The Australian tertanggal. 12 July 2014, Riady dideskripsikan sebagai rekan lama dari mantan presiden Amerika Serikat, Bill Clinton.

Mengacu pada munculnya nama Clinton dan seperti yang sudah saya sebut di awal, nama George Bush senior, maka analisa yang dapat disajikan adalah dua poros partai di Amerika Serikat, yakni Partai Demokrat dan Partai Republican (GOP).

Clinton merupakan trademark tersendiri bagi partai Demokrat sedangkan dinasti Bush senior sangat dihormati di kalangan Republican.

Tidak seperti di Indonesia, di Amerika Serikat episentrum politiknya hanya antara Partai Demokrat dan Partai Republik. Sedangkan di Indonesia (sejauh pengamatan), baru-baru ini saja memunculkan dua koalisi seimbang di parlemen sebagai perwujudan kekuatan pro pemerintahan dan oposisi.

Dengan hanya terdapat dua kekuatan dalam satu episentrum, maka mudah bagi saya untuk menganalisa maupun mendeskripsikan apa motif dari kehadiran Novanto serta Zon.

Trump merupakan salah satu kandidat presiden yang mewakili partai Republican. Per Real Clear Politics, polling untuk kandidat presiden 2016 dari partai Republican yang dilakukan oleh beberapa survey seperti Fox News, CNN, dan sebagainya, tampak jelas Trump melenggang mulus tak tertandingi dengan rata-rata perbedaan hingga +14.0 atas kandidat lainnya (mengingatkan apa yang terjadi pada Barack Obama, bukan?)—setidaknya untuk saat ini.

Polling untuk Kandidat Presiden 2016 dari Partai Republican

Terlepas dari polling yang juga diadakan untuk kandidat presiden 2016 dari partai Demokrat, saya melihat kecenderungan warga Amerika Serikat di tahun 2016 akan memilih kandidat dari  partai Republican—siapapun kandidatnya— untuk menjadi presiden berikutnya dikarenakan berbagai masalah terkini yang mereka hadapi.

Hasil polling serta hitung-hitungan tersebut jelas sudah dipelajari oleh partai Gerindra maupun Golkar—partai Zon serta Novanto berasal. Adalah bohong (akal-akalan semata) jika mereka menyangkalnya.

Tidak bisa dipungkiri, pemilu presiden di Indonesia mendapat pengaruh dari kekuatan politik di Amerika Serikat. Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, hanya ada dua kekuatan politik dalam satu episentrum di Amerika Serikat, maka jika di era itu presiden Amerika Serikat berasal dari Demokrat maka siapapun calon presiden Indonesia yang memiliki koneksi dengan partai Demokrat akan mudah melenggang menjadi RI-1, hal yang sama berlaku sebaliknya. Jika di era itu presiden Amerika Serikat berasal dari Republican maka siapapun calon presiden Indonesia yang memiliki koneksi dengan partai Republican akan mudah melenggang menjadi RI-1 —jika anda memahami konsep yang saya sajikan, maka anda akan mendapat sebuah kesimpulan.

Partai Gerindra maupun Golkar (selama Aburizal Bakrie tetap memegang kendali), masih akan melanjutkan romantisme politik mereka hingga tahun 2019 nanti—walaupun menurut saya platform mereka tidak terlalu sejenis. Koalisi Merah Putih (KMP) tetap akan eksis hingga 2019 dengan Gerindra-Golkar sebagai patron KMP walaupun salah satu partai baru saja pindah haluan koalisi, setidaknya Gerindra-Golkar hngga kini masih memiliki kemesraan semu dengan PKS.

***

Bekal Pemilu 2019

Membicarakan pemilu 2019 apalagi menghadapi persaingan tersebut bisa jadi masih terlalu dini untuk dilakukan. Namun, tidak jika anda menginginkan sebuah kesuksesan terhadap keinginan—bisa ditanyakan pada Perindo.

Di dalam politik Indonesia segalanya serba instan, mudah dipengaruhi dan lekas berubah. Dalam keadaan instan tersebut, merupakan hal cerdas jika mempersiapkan strategi jitu dari jauh-jauh hari. Itulah yang berlaku atas motif hadirnya Novanto dan Zon di kampanye Trump.

 

“Ya enggak. Apa urusannya kita dengan Pilpres AS, punya suara juga tidak.”Fadli Zon, Wakil Ketua DPR

 

Fadli Zon Selfie dengan Pendukung Donald Trump, ©Reuters/Lucas Jackson

Dengan menunjukkan dukungan sebatas formalitas kehadiran mereka di kampanye Trump, itu bukan merupakan hal sepele yang bisa dianggap kebetulan semata atau bahkan dalam rangka silaturahim. Novanto dan Zon merupakan politisi handal. Mereka tidak bodoh dan mereka jelas tahu bahwa kehadiran mereka tersorot kamera dan akan menjadi konsumsi publik. Seperti yang saya katakan di awal, ketika itu menuju ke ranah politik, hanya ada satu kepentingan, yakni Politik. Jadi, berdasar yang Zon ungkapkan bahwa dukungan terhadap Trump tidak ada urgensinya karena mereka tidak memiliki suara, bagi saya, itu hanya sebagai retorika politik saja.

Berhubung popularitas Trump di Indonesia cukup besar, maka merupakan nilai tawar tersendiri bagi Zon dan Novanto maupun Gerindra-Golkar sebagai bekal pemilu 2019 walaupun Zon dan Novanto maupun Gerindra-Golkar tidak memiliki suara untuk memilih Trump. Semacam Déjà vu “Obama fever” di Indonesia tahun 2008.

Berharap nantinya Trump atau siapapun presiden Amerika Serikat selanjutnya—selama itu mewakili Republican—maka sebagian dari strategi Hashim untuk menghadapi tahun 2019 akan berfungsi dengan baik. Prabowo akan bertarung lagi sebagai calon presiden dan mungkin saja telinga kita akan familiar kembali dengan nama Rob Allyn lagi di tahun 2019.

Jika penguasa sekarang kembali mencoba peruntungannya di tahun 2019, besar kemungkinan masih akan terdapat pola yang sama seperti tahun 2014 lampau. Di satu pihak memiliki koneksi dengan partai Demokrat—salah satu kandidat presidennya adalah Hillary Clinton, istri dari Bill Clinton—sementara pihak lainnya memiliki koneksi dengan partai Republican.

Namun, pikiran saya sangat tergelitik jika saja PKS maupun PPP masih bertahan untuk melanjutkan romantisme semu mereka di KMP karena Republican (GOP) merupakan partai konservatif dengan platform ideologi mereka seperti Economic Liberalism, Fiscal Conservatism, dan Social Conservatism, jelas bertentangan dengan ideologi PKS maupun PPP.

Terlepas dari itu semua, biarkan waktu yang akan menjawabnya di tahun 2016 dan 2019.(ard)

 

nb: Artikel ini juga diposting di sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun