Lagu “Tangise Sarangan” yang ditembangkan oleh Mbak Saraswati itu terdengar kencang di dalam bus. Suara penyanyinya yang merdu dengan iringan musiknya yang aduhai, menjadikan lagu ini terasa sangat pas untuk menemani perjalananku bersama teman-teman menuju ke Telaga Sarangan, pertengahan Desember lalu. Kami sendiri, tanpa diberi komando, sesekali ikut menirukan suara penyanyi asal Magetan itu.
“Sarangan kang dadi saksi, nalikane jaman semono.. Ning kono, sliramu medhot janji. Ono pinggir telogo aku biso opo, kejobo ngronto ning dodo..,”begitulah penggalan lirik lagunya.
Mencermati lirik-liriknya, “Tangise Sarangan” itu sebenarnya termasuk lagu sedih. Konon, lagu ini menceritakan tentang hubungan percintaan sepasang kekasih yang harus putus di tengah jalan. Ironisnya, perjalanan cinta mereka berdua itu harus kandas di tepi Telaga Sarangan. Hmm, sangat menyedihkan ya?
Namun, isi lagu “Tangise Sarangan” itu sudah tentu berbanding terbalik dengan suasana hatiku saat itu. Ya, aku dan teman-teman ketika itu sedang merasa sangat bahagia, karena akan menjelajah destinasi wisata yang sudah masyhur akan keindahannya, yaitu Telaga Sarangan.
Telaga Sarangan merupakan salah satu objek wisata alam yang terletak di sekitar kaki gunung Lawu. Tepatnya, di Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Meski secara administratif terletak di Kabupaten Magetan, namun lokasi wisata yang berada pada ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut ini lebih dekat dengan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Dari Tawangmangu jaraknya hanya sekitar 5 kilometer, sedangkan dari Kota Magetan jaraknya sekitar 16 kilometer.
Menjelajah Telaga Sarangan yang Menawan
Sang Surya sudah tergelincir jauh meninggalkan waktu Dzuhur, ketika kami tiba di Telaga Sarangan. Usai membayar biaya tiket masuk, kami check in di sebuah hotel yang jaraknya sekitar 300 meter dari telaga. Sejak awal, kami memang berencana menghabiskan waktu dua hari satu malam di sana. Pasalnya, sebenarnya perjalanan ke Sarangan ini bukan untuk piknik semata, melainkan kegiatan IHT (In House Training) yang diselenggarakan oleh kantor tempat kerjaku.
Lazimnya di daerah pegunungan, di kawasan wisata Telaga Sarangan ini, hawa dingin sangat terasa. Untuk mengusirnya, begitu masuk kamar hotel, aku pun segera menyeduh kopi. Sensasi hangatnya kopi saat bertemu dengan dinginnya udara pegunungan yang berkisar di angka 18 hingga 20 derajat Celcius itu terasa susah untuk diungkapkan dengan kata-kata. Anggap saja, ibarat seorang jomblo yang dipertemukan dengan pujaan hatinya. Begitulah kura-kura. Eh, maksudnya begitulah kira-kira.
Malam harinya, setelah IHT selesai, aku kembali tertantang untuk pergi ke tepi telaga. Pemandangan malam hari di sana ternyata juga tak kalah menarik. Bahkan, sensasinya terasa sungguh sangat berbeda. Udara yang super dingin ternyata juga tak menyurutkan langkah para wisatawan yang datang ke telaga. Entah untuk sekadar melihat keadaan Telaga Sarangan di malam hari, ataupun untuk menikmati santapan malam yang disediakan oleh warung-warung kecil di tepi telaga. Aku sendiri, memilih menyantap sate kelinci sambil menikmati keheningan malam, sebelum akhirnya kembali ke kamar hotel untuk beristirahat.
Seolah tak ada puasnya, keesokan harinya aku kembali lagi ke tepi telaga. Pagi itu, aku tidak ingin hanya sekadar duduk-duduk saja di tepi telaga, melainkan melakukan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Jika sebagian wisatawan memilih naik perahu mengelilingi telaga, aku dan beberapa teman lebih memilih untuk mengelilingi Telaga Sarangan. Ya, kami akan menjajal sensasi mengelilingi telaga yang terletak di kota mungil yang memiliki slogan “The Beauty of Java“ itu.
Sebenarnya ada banyak cara untuk mengelilingi Telaga Sarangan yang memiliki luas sekitar 30 hektar ini. Bisa dengan naik ojek, menunggang kuda yang disewakan oleh masyarakat setempat, ataupun dengan berjalan kaki. Akan tetapi, kami sendiri memilih untuk berjalan kaki, agar lebih leluasa menikmati keindahan panorama alam Telaga Sarangan di tiap sudutnya.
Bagi sebagian besar orang, berjalan kaki sejauh beberapa kilometer mungkin terasa melelahkan. Kaki akan terasa pegal dan njarem-njarem. Terlebih bagi orang yang jarang berjalan kaki seperti saya ini. Beruntung, sebelum berangkat ke Sarangan di hari sebelumnya, istriku memberikan satu bekal agar saat jalan-jalan di Sarangan tidak terasa pegal, yaitu Geliga Krim.
“Nanti kalau mau jalan-jalan, oleskan ini dulu di kedua kaki, Mas. Biar nggak pegal-pegal,” pesannya saat aku pamit mau berangkat ke Sarangan.
Beberapa temanku yang mencoba mengoleskan Geliga Krim di kaki dan tangannya pun mengaku, jika Geliga Krim ini sangat membantu meredakan sakit dan nyeri pada persendian serta otot-otot akibat kelelahan karena berjalan kaki mengelilingi telaga seluas 30 hektar. Temanku yang lain juga mengatakan, bahwa Geliga Krim ini hangatnya pas, tidak terlalu panas.
“Enak, Kang. Hangatnya pas, nggak terlalu panas..,” katanya.
“Geliga Krim ini bisa membantu meredakan nyeri punggung dan pundak loh. Bisa juga untuk nyeri pada persendian, keseleo, kram dan masalah otot lainnya,” kata istriku menjelaskan.
***
Facebook: Kang Masroer
Twitter: @kangmasroer
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H