Mohon tunggu...
Masri Topoyo
Masri Topoyo Mohon Tunggu... Buruh - Manusia biasa

Agama adalah cinta dan tiada beragama bagi mereka yang tidak memiliki rasa cinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

R.A. Kartini: "Fungsi Pers bagi Perjuangan"

23 Juni 2020   16:59 Diperbarui: 23 Juni 2020   18:19 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kartini, nama yang selalu disenandungkan waktu kita masih sekolah dasar ini sudah menjadi nyanyian yang merdu pada ruang-ruang kelas. "Harum namanya.." disebutkan pada salah satu lirik lagu ciptaan Supratman ini mengantarkan kita pada berpuluh tahun silam, bahwasanya ada wanita yang bernama Kartini pernah membawa nama Indonesia ini ke kancah dunia dalam peradabannya. 

Lalu benarkah demikian? Tulisan ini ingin sekali memberitahukan kepada para pembaca, sekali lagi mengingat pada para pendahulu kita yang memiliki pikiran-pikiran brilian, yang mungkin saja sebagian besar kita tidak mengetahuinya.

Ternyata wanita hebat ini banyak sekali memiliki ide-ide yang layak untuk diketahui khalayak umum. Salah satunya ialah pendapatnya mengenai fungsi pers yang berperan dalam perjuangan. 

Tentu saja perjuangan yang dimaksud Kartini pada saat itu ialah perjuangan untuk bersuara yang mengantarkan kepada perbaikan-perbaikan yang diharapkan. 

Perbaikan-perbaikan pers baginya merupakan sebuah alat untuk memberitahukan kepada dunia bahwa ada bagian dari dunia ini memiliki pesan-pesan sakral yang mungkin tidak dimiliki oleh bagian dunia lain. Terlihat dalam suratnya kepada Nyonya Nelly van Kol pada tanggal 21 Juli 1902 yang tertulis;

"Dan selalu menjadi maksudku, untuk mengangkat suara keras-keras, karena hanya publikasi (pers) saja dapat membawa perbaikan yang kita harapkan atas keadaan yang begitu membutuhkan perbaikan itu.."

Tentu akan muncul pertanyaan, apakah pada waktu itu sudah ada lembaga pers? Jawabanya tentu saja; Iya! 

Pasalnya waktu itu pers belum terlalu menyadari akan fungsinya secara maksimal, awalnya pers menggunakan bahasa Melayu dan Jawa saja lalu bertambah ke dalam bahasa Belanda dan Inggris. Berita-beritanya sebagian besar ialah tentang isu dalam dan luar negeri, sensasi-sensasi murahan, dan fitnah-fitnah terhadap oknum tertentu yang tidak disukai. 

Di sinilah menjadi penyadar untuk Kartini bahwasanya peran pers bukan hanya untuk kepentingan yang kurang penting, dan ia menunjukan kepeduliannya dengan menulis karangan-karangan maupun tulisan-tulisan berbahasa Belanda yang dimuat dalam majalah Belanda maupun Hindia Belanda (Indonesia).

Kartini merupakan sosok wanita yang berbeda dengan wanita-wanita lain pada masanya. Ia memiliki semangat yang tinggi untuk mengenal lingkungannya dan haus akan pengetahuan. hanya saja ia masih terkekang dalam adat pingitan yang dikehendaki oleh ayahnya sendiri. Tetapi semangat Kartini tidaklah pudar begitu saja, kegiatannya terus memancar, seperti; membaca, menulis, dan berdialog (melalui surat-menyurat dengan orang-orang yang dipercayainya). 

Kegiatan surat-menyurat inilah yang membawanya pada kemasyhuran di dunia jurnalistik. Nyonya Abendanon pada waktu itu bekas Direktur Departemen Pengajaran & Ibadat Hindia menjadi salah-satu teman surat-menyuratnya. 

Pada atahun 1920 Surat-surat Kartini kemudian dihimpun dan diterbitkan dengan judul Door Duisternist tot Licht atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai "Habis Gelap terbitlah Terang".

Tulisannya nampak gilang-gemilang sampai-sampai bila dibandingkan dengan tulisan sastra yang ada pada zaman feodal dulu nampak jauh tertinggal. 

Penguasaan atau bahasa, nilai ilmu pengetahuan, perikemanusiaan, dan patriotisme yang cukup tinggi telah mewarnai semua karangan-karangan yang dibuat pada tangannya sendiri. Walau bagaimana pun juga tulisannya termaksud bagian dari sejarah dan dapat membangunkan semangat muda untuk lebih meningkatkan kreativitasnya.

Di sini telah jelas bahwa peranan pers sangat berarti bagi Kartini melihat kondisi pada masyarakatnya yang dibungkam untuk kehilangan mulut dan lebih banyak mendengarkan. 

Kartini menentang semua itu karena menurutnya salah-satu peran pers untuk menarik perhatian dan menyadarkan kepada semua orang untuk merdeka menyampaikan pendapat atau mempublikasikan berita-berita yang mengarah kepada perbaikan. Terlihat dari kutipan suratnya kepada Estelle Zeehandelaar:

"Kukatakan itu untuk menyatakan kepadamu, untuk menunjukkan, betapa nilai pena itu meningkat, kalau orang mempergunakan tinta daripada darah jantungnya sendiri.."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun