Diary Tahun  1997.
"Ibu, dengan  sangat , sebagai ketua PKK RW, saya meminta ibu untuk segera aktif di PKK RT, sebagai pengurus dan Ketua PKK RT..., tidak ada lagi kandidat yang  cocok selain ibu. " ibu Ketua RW  dengan  santun namun  setengah memaksa,  menyampaikan permintaannya.
Saat itu  arisan RT di gedung pertemuan RT. Di Kompleks Perumahan KPR bersubsidi, lokasinya  masih dikelilingi sawah, butuh setengah jam dari jalan raya utama.
"Begini Bu, alasan saya memilih ibu," sambil  membenarkan letak kacamatanya. Ibu istri Ketua RW yang  juga istri pensiunan itu  menjelaskan, ketika  saya menolak halus.
"Pertama , ibu tidak punya kesibukan, pasti santai, karena ibu  hanya ibu rumah tangga, bukan ibu bekerja. Contohnya nih, Ibu Entin sebelah rumah ibu, beliau kan bekerja.  kasir di Apotek. Lalu Ibu Enden, dia  pelayan  di restoran  ....., bu Tuti, jualan gorengan...." tuturnya.
"Ke dua, usia ibu masih muda, masih gesit ke sana kemari. Masih enerjik..... Ke tiga,  ibu punya potensi. Kami lihat-lihat , ibu kok pintar  komputer ya, kabarnya ibu di rumah suka bantu-bantu suami di depan komputer. Bisa dong nanti bantu-bantu ketik laporan RT  ya, bikin Laporan Pos KB ,Posyandu, Posbindu.... Ya , jadi ketua merangkap rangkap sekretaris PKK RW lah..... Kalau Ketua PKK RT  mengerahkan dan mengarahkan ibu-ibu  .... ," tambahnya.
"Betul bu, kami mendukung ,"timpal Ibu Kokom yang ikut hadir. " Lagian ibu satu-satunya di  RT rumah kita yang punya mobil, ternyata ibu pandai menyetir sendiri ya , kemarin saya lihat lho waktu ibu bawa bayi ibu ke dokter... Kita perlu kendaraan  juga bu, kalau harus hadir ke kantor kelurahan, kan lumayan jauh. Apalagi kantor kecamatan....,"
"Iya, jadi warga itu harus ada kontribusinya ke lingkungan....Silaturahmi, dan ikut mendukung berbagai kegiatan warga dan kelurahan," timpal ibu sepuh lainnya.
Aku masih diam.Setelah tadi menolak halus , malah semakin dicecar.
Tiba-tiba samar dari kejauhan  terdengar tangisan bayi, anakku. Semakin lama semakin dekat dan jelas. Aaah, itu pak suami menggendong Dedek. Usianya masih 6 bulan dan  tangisannya sangat keras makin keras.
Ya ampun, pak suami tergopoh gopoh dengan wajah bingung, menggendong Dedek,  tangan satunya menuntun Kakak, yang usianya  3 tahun. Hari itu hari Minggu, jadi  pak Suami memang sedang di rumah.
Suara Dedek menggema di ruang pertemuan. Aku segera bangkit.
"Maaf bu RW, ini dari tadi sejak bangun tidur  tidak berhenti menangis. Dedek masih menyusui, biasanya minta ASI.... Mohon ijin istri saya pulang dulu," pak suami  memohon-mohon.
Kakak, anak yang besar tiba-tiba saja lepas dari pegangan tangan suami, menghampiri meja  di ruangan. Mengambil kue-kue yang disajikan, tak sengaja menumpahkan minuman.
"Ibu-ibu, kami mohon maaf atas kekacauan ini,  ijin pulang dulu. Dedek  harus saya  susui dulu,"  dengan  santun  saya  mohon ijin.
Kami meninggalkan ruangan,  sekilas  tampak  ibu-ibu saling berpandangan satu sama lain.
Malamnya, Pak RW dan bu RW datang lagi ke rumah kami. Dengan misi yang sama seperti sebelumnya. Disambut oleh suara tangis Kakak yang sedang rewel.
"Maaf ibu dan bapak. Anak saya sedang kurang sehat, jadi minta dikeloni terus."kakak duduk di atas pangkuan suami.
"Jadi begini pak, tadi pagi  sudah  kami sampaikan  permohonan kami agar istri bapak berkenan menjadi Ketua PKK," mereka mengulang kembali  permintaan dan alasannya.
"Baik terimakasih atas kepercayaan bapak dan Bu RW kepada istri saya. Namun bagaimanapun, semua  terserah keputusan istri saya," suami  akhirnya  menggendong kakak  yang rewel karena badannya panas.
Saya diam sejenak , menghela nafas.
"Seperti bapak ibu lihat, saya memang tidak bekerja. Saya memilih berhenti bekerja di bidang keuangan dan administrasi, karena saya ingin sepenuhnya mengurus anak, rumah dan suami. Â Saya memilih tidak punya asisten rumah tangga, karena rumah kami sangat mungil, tidak ada ruangan.kami tidak membayar pembantu rumah tangga, sebagai penghematan. "
"Bapak  ibu gaji suami saya  sebagian besar untuk membayar cicilan KPR rumah ini. Maka kami tak  membayar asisten rumah tangga.  Maafkan kami, jujur saja, dulu saya kerja kantoran, sekarang jadi full time mom, semua dikerjakan sendiri. Ternyata kerja di rumah tangga itu jauh lebih sibuk dan repot bu. Kerja saya 24 jam, nyaris kurang tidur.  Mau  belanja ke warung saja repotnya, sambil gendong Dedek dan menuntun Kakak........ Nanti di warung, menjaga kakak supaya tidak mengacak acak atau mengoprek dagangan Butet warung lumayan jugalah.  Kenapa  semua ibu yang tidak bekerja mencari uang dianggap santai menganggur? "
"Oalah, maaf yah... Iya betul juga. Kirain punya pembantu rumah tangga. ... Memang kerja ibu rumah tangga itu  24 jam, betul. Iya, malah nanti keteteran  , tidak sempat hadir di acara Kelurahan dan Kecamatan...," timpal bu RW
"Betul bu , terimakasih untuk pengertiannya....," pungkas kami.
Hari itu, satu babak  masalah terselesaikan.
Bukan tidak mau bersosialisasi, apalagi bersilturahmi dan peduli lingkungan. Kami juga care jika kegiatan sosial dan  silaturahmi, ikut menyumbang materi dan  tenaga. Tapi  kalau  yang harus menyita waktu begini, maaf, kami saat itu, pasangan muda yang masih belajar hidup.
Apalagi kami merintis semua dari nol  di atas kaki dan perjuangan sendiri, tanpa melibatkan  orang tua.
Selanjutnya,  hanya ingin menegaskan, kalau ibu rumah tangga yang mundur dari pekerjaannya, berarti ia memilih prioritasnya sendiri. Bukan berarti santai dan pengangguran, sehingga siapapun boleh meminta  waktu dan tenaganya .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H